"Kalau begitu … aku juga akan membantu ibu dan yang lainnya. Terima kasih karena sudah menjemput dan mengantarku pulang, Vino," ujar Lea, kini sudah memandang calon suaminya lagi.
"Sama-sama. Hmmm, boleh pegang?" tanya Vino, meminta izin sebelum lancang menyentuh Lea.
"S—silakan," balas Lea.
Tangan Vino mengarah pada pipi Lea. Ia mengusapnya dengan lembut serta melontarkan senyuman kagumnya kepada Lea.
"Sampai ketemu nanti malam, ya."
***
Lea baru saja selesai merias dirinya. Tidak terlihat menor ataupun mencolok, hanya membuatnya tidak terlalu pucat.
"Bagaimana hasil tanganku?"
Ninda menunjukkan Lea kepada Ben.
Ben hanya diam, tertegun memandang Lea yang terlihat sangat cantik malam ini. Bahkan Ben sama sekali tidak mengedipkan matanya, membuat Lea dan Ninda heran.
"Kak Ben! Jangan melamun, dong. Ayo beri komentar," pinta Ninda, yang ingin mendapat penilaian atas riasan Lea yang berasal dari tangannya.
"Cantik. Karena Lea memang sudah cantik sedari kecil," balas Ben, ia mengatakan yang sejujurnya.
"Huft … sepertinya wajah cantik seperti Lea memang tidak cocok untuk dirias. Sudah cantik, mau diapakan juga tetap cantik," gerutu Ninda.
"Hahaha … hasil riasannya memang bagus, Ninda. Aku sangat menyukainya," ujar Lea, tidak ingin membuat Ninda kecewa.
"Andai saja Radi datang, dia pasti akan bilang kalau kamu cantik, dari lahir juga sudah cantik," gerutu Ninda, menyamakan Radi dengan Ben.
"Eh, memang Radi tidak bisa datang?" tanya Lea, seperti ada yang kurang jika salah satu sahabatnya tidak datang.
"Radi ada acara keluarga katanya. Kamu tahu kan, kalau keluarganya itu adalah orang penting yang terpandang. Jadi mau tidak mau kalau ada acara keluarga, Radi harus ikut serta," jawab Ninda.
"Hmmm, iya juga. Ya sudah, nanti kirimkan saja fotoku kepadanya. Agar ia melihat kalau temannya ini sudah cantik dan resmi jadi calon istri orang."
***
Radi
[Cantik sekali]
[Mungkin karena Lea sudah cantik aslinya, jadi riasanmu tidak begitu berpengaruh]
Balasan pesan dari Radi saat Ninda mengirimkan foto Lea.
"Benar kan apa aku bilang. Ia juga akan mengatakan hal yang sama seperti Kak Ben," gerutu Ninda.
"Sudah-sudah … ayo kita selesaikan ini. Sebentar lagi keluarga Vino pasti tiba."
Tok tok tok
Pintu kamar Lea diketuk dan lagi-lagi memperlihatkan Ben yang datang.
"Vino dan keluarganya sudah datang. Sepertinya kali ini sedikit ramai," ujar Ben memberitahu.
"Mungkin Vino mengajak seluruh anggota keluarganya, karena ini adalah lamaran anak tunggal Paman Rudolf," balas Lea.
"Oh begitu … ya sudah, segera keluar, ya,"pinta Ben dan kemudian ia berlalu lagi.
Lea dan Ninda segera menyelesaikan persiapannya dan tidak lama kemudian pintu kamar Lea terbuka, kali ini adalah Lesta yang membukanya.
"Cepat keluar! Vino dan keluarganya sudah datang!" perintah Lesta, sedikit geram melihat anak gadisnya yang masih belum juga selesai bersiap-siap.
"Iya-iya, ini sudah selesai kok," balas Lea.
"Lea, aku keluar duluan, ya. Nanti aku kembali lagi setelah melihat bagaimana situasinya."
"Ok!"
Ninda berlalu dari kamar Lea dan segera menuju ke ruang tamu. Ia kembali berpapasan dengan Lesta dan lagi-lagi terlihat kesal karena Ninda keluar dari kamar tanpa Lea.
"Lea mana, Nin?!" tanya Lesta mulai kesal.
"Lea sedang rapikan pakaiannya, Tante. Tunggu saja, ya. Sebentar lagi pasti keluar," jawab Ninda, memberikan alasan terbaik kepada Lesta.
"Jemput dia sekarang!" perintah Lesta.
Ninda menurut dan segera kembali ke kamar Lea untuk menjemputnya. Lea yang sudah berada di bibir pintu, masih ragu dan hanya melirik ke arah ruang tamunya, yang sudah terdengar banyak suara orang.
"Ramai, ya?" tanya Lea, gugup.
"Sepertinya iya … aku belum melihat situasinya. Ibumu memintaku kembali menjemputmu, Lea," jawab Ninda.
"Ya sudah, dampingi aku ke ruang tamu, ya … aku benar-benar gugup," pinta Lea.
"Lea! Ayo ke ruang tamu bersamaku," ajak Ben yang sepertinya juga datang untuk menjemput Lea. "Aku akan menggantikan ayahmu sebagai wali," ujar Ben kemudian.
Lea meraih lengan tangan Ben dan berjalan berdampingan menuju ke ruang tamu rumah Lea yang sudah ramai dengan keluarga Vino dan juga kerabat serta tetangga terdekat. Pandangan Lea langsung tertuju pada seorang pria yang terlihat bagai pemeran utama dalam sebuah film layar lebar. Namun sayang, mata Lea beralih pada pria yang berada di sebelah Vino.
"Radi? Bukankah kamu ada acara keluarga?" tanya Lea dan membuat semuanya diam dan menyorotkan pandangannya kepada Lea.
Ninda yang panik segera menghampiri Lea dan menariknya sedikit mundur.
"Radi itu anak tiri Tuan Rudolf. Kenapa kamu tidak bilang kalau calon suamimu adalah Kak Vino?" bisik Ninda.
"Kamu kenal Paman Rudolf?" tanya Lea.
"Aku tahu karena beliau orang yang cukup dipandang dalam politik. Kamu kan tahu aku ini anak anggota dewan," jawab Ninda.
"Kamu juga tahu kalau Radi dan Vino …."
"Kamu lupa acara pernikahan dokter Rahel dua bulan lalu?"
Lea diam, mengingat dirinya dan Ninda yang hadir dalam acara pernikahan dokter Rahel dua bulan lalu. Dimana suami dokter Rahel tidak ikut foto bersama saat Lea dan Ninda meminta untuk berfoto. Namun Lea mengingat dengan jelas nama dalam undangan yang diberikan oleh Dokter Rahel.
"Rudolf dan Rahel," gumam Lea, baru menyadari kalau Rudolf seorang duda beranak satu yakni Vino, yang menikahi dokter Rahel seorang janda beranak satu yakni Radi.
"Lea, bicaranya nanti saja," pinta Ben, mengajaknya untuk segera duduk.
Acara lamaran Lea dan Vino pun segera dilangsungkan, mengingat waktu juga sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Tangan Lea digenggam lembut oleh Vina, yang melingkarkan cincin dijari manis Lea. Lea tak sadar kalau ia menitikkan air mata, mungkin saja ia terharu.
"Kamu terharu?" bisik Ninda bertanya.
"Tidak, sama sekali tidak," jawabnya juga berbisik.
"Lalu mengapa matamu berkaca-kaca seperti itu?"
"Aku kagum pada sosok Kak Ben. Ia mampu menjadi kakak yang baik untukku, mewakili mendiang ayah tanpa menggantikan posisinya. Jika aku menikah dengan Kak Ben, siapa yang akan menjadi waliku?" gumam Lea.
"Calon suamimu itu, Kakakku. Bukan Kak Ben. Sadarlah wahai Lea …."
Lea menoleh ke arah kirinya. Melihat Radi yang sudah duduk tepat di sebelahnya.
"Halo, calon kakak ipar," ucap Radi menggoda Lea.
"Radi … apa kamu tidak berniat ingin menikahiku?" tanya Ninda, tiba-tiba saja mengajukan pertanyaan yang tidak biasa.
"Kenapa aku harus menikahimu?" Radi balik bertanya karena bingung.
"Agar aku dan Lea bisa satu rumah. Kami akan bersama setiap hari, karena suamiku dan suami Lea adalah adik dan kakak," jawab Ninda, memiliki khayalan tingkat tinggi.
"Andai saja lamaran ini bisa digantikan," ujar Radi.
"Kamu yang akan melamarku?" tanya Ninda bersemangat.
"Aku yang melamar Lea dan kamu akan kuserahkan pada Vino."