"Lea …."
"Aku kecewa, tapi aku bisa apa jika kamu sudah memberitahu alasannya? Lebih baik, kita tidak perlu membahasnya lagi. Aku sudah baik-baik saja."
Vino menarik bahu Lea dan mendekapnya. Lea tersentak, ini adalah kali pertama tubuhnya tidak memiliki jarak sama sekali dengan Vino. Jantungnya berdebar sangat kencang. Ia kembali gugup seperti saat pertama kali bertemu dengannya.
"Terima kasih, Lea. Kamu memang perempuan paling baik yang sangat baik diantara orang baik yang lainnya."
***
Krrriiiiiing!!!
Alarm Lea yang dipasang pada ponselnya berbunyi, menandakan hari sudah pagi dan waktunya Lea harus bangun untuk melanjutkan aktivitasnya. Pagi ini kondisinya sudah jauh lebih baik. Sepertinya Lea sudah benar-benar sembuh, tepat di H-1 pernikahannya.
Lea segera beranjak dari tempat tidurnya dan tidak lupa merapikan ranjang serta seisi kamarnya lebih dulu. Sebelum ia pergi ke kamar mandi, Lea memilih untuk berdiri di hadapan cermin dan melihat dirinya yang terlihat sama sekali tidak cantik saat bangun tidur.
"Sebentar lagi Vino akan melihat wajah jelek ini setiap pagi," gumamnya, kemudian ia terkekeh. "Pasti Vino kalau bangun tidur jauh lebih tampan," lanjutnya, Lea begitu mengagumi calon suaminya.
Lea menyambar handuk yang berada di gantungan kamarnya dan kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Kegiatannya hari ini tidak begitu padat, itu karena ia adalah pengantin wanita yang memang tidak diperkenankan untuk membantu apapun untuk persiapan pernikahannya jika sudah H-1.
Tugasnya hari ini adalah untuk memanjakan tubuhnya dengan mengundang seseorang dari rumah kecantikan, serta Ninda yang akan menemaninya mulai pagi ini hingga besok di hari pernikahannya.
"Ben ada kabar?" tanya Lesta.
"Kak Ben dan Mamanya sudah menunggu Ibu. Katanya kalau Ibu sudah siap, langsung ke rumahnya saja," jawab Lea, yang sedang membalas pesan dari Ben, Ninda dan juga sang calon suami.
Vino
[Sebenarnya aku sangat ingin datang ke rumah mu]
[Tapi kamu sedang dipingit]
[Hmmm]
Lea tidak membalas, karena teralihkan oleh suara klakson yang terdengar dari arah depan rumahnya. Ia meninggalkan ponselnya di atas ranjang dan memilih pergi untuk melihat siapa yang datang.
Kakinya sudah berpijak di depan rumah, ia mengira kalau yang datang adalah Ninda. Namun dugaannya salah, karena itu adalah Radi, yang baru saja keluar dari dalam mobilnya dengan tas ransel yang sepertinya berisi sesuatu yang membuatnya penuh.
"Pagi," sapa Radi, raut dan nadanya begitu datar.
"P—pa—gi … ada apa kamu datang ke rumahku pagi-pagi seperti ini?" tanya Lea heran.
"Menjaga pengantin wanita," jawabnya, kemudian menerobos masuk ke dalam rumah Lea seolah menganggap rumah itu adalah rumahnya sendiri.
"L—loh, Radi ...!" seru Lea memanggil serta mengejarnya. "Kamu tidak membantu keluarga yang lain di lokasi pernikahan?" tanya Lea lagi, ia masih saja merasa ada yang aneh dengan kehadiran Radi di rumahnya.
Bagaimana tidak merasa aneh, Radi adalah anak laki-laki di keluarga Rudolf yang seharusnya membantu persiapan di lokasi seperti yang lainnya. Bukan datang ke rumah Lea seperti orang yang kabur.
"Aku bosan berada di sana sejak tadi malam. Hari ini aku ingin bebas juga. Lagipula Tante Vina mengizinkan aku untuk tidak datang ke lokasi," ujar Radi.
"Apa keluargamu tahu kamu datang ke rumahku?"
"Kak Vino tahu."
Radi tidak memedulikan Lea lagi dan segera menuju ke sofa rumah Lea dan merebahkan tubuhnya di sana. Tak lupa ia meletakkan tasnya yang terlihat menggembung di samping sofa tersebut. Rasa penasaran Lea akan tas ransel tersebut, membutnya menarik paksa dan membukanya, untuk melihat apa isi di dalam tas tersebut.
"Camilan?"
"Kenapa?" tanya Radi, melirik pada Lea yang sedang menggeledah isi tasnya.
"Untuk apa membawa camilan sebanyak ini?" Lea balik bertanya.
"Siapa tahu di rumahmu tidak ada yang bisa aku makan. Lagipula aku tidak ingin merepotkan calon pengantin. Tugasku di sini untuk menjaga calon pengantin wanita—"
"Dan juga akuuuu …!"
Lea dan Radi menoleh ke arah sumber suara. Itu Ninda, yang baru saja tiba tanpa mengeluarkan suaranya sama sekali.
"Selamat pagi … aku datang bersama seorang kakak yang akan memanjakan tubuhmu seharian penuh, Lea," ujar Ninda, terlihat membawa sebuah kotak besar milik orang dari rumah kecantikan itu. "Hai, Radi …,"sapa Ninda, ia menghampiri Radi dan duduk di sebelahnya. "Sudah sarapan?" tanya nya kemudian, dengan kerjapan mata seperti sedang menggoda.
"Kamu cacingan?" tanya Radi, ia sama sekali tidak peka.
Ninda merubah raut wajahnya dengan bibir yang mengerucut.
"Duh, sudah-sudah … kalian daripada bertengkar, lebih baik pendekatan saja."
"TEPAT SEKALI! Tuh, Radi … dengar apa yang dikatakan oleh Lea. Daripada bertengkar, lebih baik kita pendekatan—"
"BIG NO!" tandas Radi, menolak mentah-mentah.
Lea tertawa kecil melihat kedua sahabatnya yang memang hampir tidak pernah akur. Ninda memang kerap menggoda Radi dan memintanya untuk melakukan pendekatan, namun sebenarnya itu hanyalah sebuah gurauan saja. Sementara Radi juga terlihat sama sekali tidak menghiraukan godaan dari Ninda dan lebih banyak menaruh perhatian untuk Lea, calon kakak iparnya.
"Kalian tunggu di sini, ya. Aku akan ke kamar untuk memulainya," ucap Lea.
"IKUT!" seru Ninda, segera beranjak dan bersemangat untuk ikut Lea ke kamarnya.
"Hey, lalu aku bagaimana?!" tanya Radi menggerutu.
"Kamu ingin aku temani di sini, ya? Bilang saja tidak perlu malu," goda Ninda, kembali duduk di sebelah Radi.
"Pergi saja kamu bersama Lea," balas Radi, berubah pikiran.
Lea terkekeh melihat betapa jengahnya Radi dengan tingkah Ninda.
"Lagipula kamu yang mengatakannya, ingin menjagaku, bukan? Seharusnya tanpa Ninda yang menemani, kamu tidak masalah," sahut Lea.
"Iya. Aku tidak masalah. Pergilah kalian."
***
Hari sudah hampir sore, Lea dan Ninda masih berada di kamarnya. Lea baru saja selesai pijat dan akan berendam dengan air aroma terapi yang sudah dipersiapkan. Sementara Ninda masih memejamkan matanya di atas karpet yang terbentang di kamar Lea. Sudah hampir dua jam Ninda tertidur karena lelah usai banyak bicara dengan kakak dari rumah kecantikan itu.
"Nin, bangun," ucap Lea, mengguncangkan tubuh Ninda yang seharusnya sudah puas dengan tidur siangnya.
Ninda membuka mata dengan menggerutu. Ia yang semula tidur dengan posisi telungkup, segera membalikkan tubuhnya, melihat Lea yang sedang terbalut oleh handuk.
"Sudah selesai?" tanya Ninda.
"Kamu ingin dipijat, tidak? Aku hanya tinggal berendam lalu mandi saja," ujar Lea menawarkannya kepada Lea.
"Bayar tidak?" tanya Ninda memastikan.
"Kita tangguhkan saja pada Vino," jawab Lea terkekeh.
"Ah, benar juga. Baiklah, aku ingin dipijat. Besok aku akan bertarung seharian penuh di acara pernikahanmu," ucapnya sangat senang. "Terima kasih, calon pengantin …."