"Aku tidak membeli bunga," ucap Lea, seperti menyesal.
"Doa adalah yang terbaik. Kapan-kapan kita datang lagi dan membawa bunga yang harum untuk ayahmu, ya," balas Radi, tidak ingin Lea menyesal.
"Terima kasih Radi," ucap Lea, memberikan senyum terbaiknya untuk Radi. "Ayo kita pulang!"
***
Motor Ben menepi di depan rumah Lea. Ben bukan hanya sekadar mengantar Lea saja, namun ia juga ingin menemani Lea dan ibunya untuk bertemu dengan keluarga dari calon suami Lea. Andra yang telah pergi beberapa tahun silam, membuat Lesta memercayakan Ben menjadi pria pengganti di rumahnya, yakni sebagai kakak dari Lea. Apalagi rumah mereka yang berdekatan, membuat keduanya dapat saling berkunjung dengan mudah.
"Lea, Ben, ayo masuk!" panggil Lesta meminta Lea dan Ben untuk masuk ke dalam rumah dan duduk bersebelahan dengannya. Selain Lesta, Rudolf dan Vina, Lea tidak menemukan ada orang lain lagi di rumahnya. "Paman Rudolf ingin mengajakmu pergi untuk melihat gedung dan gaun pernikahan," ujar Lesta kemudian.
"Lea sendiri?" tanya Lea, ia tidak melihat adanya si calon suami.
"Iya, Lea. Vino sedang sibuk dengan perkuliahannya. Mahasiswa teknik sepertinya sangat sibuk dengan praktek, hampir sama sibuknya dengan mahasiswa kedokteran," balas Rudulf.
"Oh begitu … hmmm, perkenalkan Paman, Tante, ini Kak Ben. Temanku sejak kecil. Kak Ben ini mahasiswa kedokteran," tutur Lea memperkenalkan Ben yang nyatanya adalah seorang mahasiswa kedokteran. Bukan hanya ingin memperkenalkan Ben kepada Rudolf dan Vina, Lea juga ingin memberitahu kalau sibuknya mahasiswa kedokteran masih dapat memberikan waktu luang untuknya, tidak seperti anak mereka.
"O—ouh … mahasiswa muda, ya? Vino sudah ada di semester enam dan sebentar lagi akan mengurus magang juga skripsi. Jadi pasti lebih sibuk dari mahasiswa kedokteran tingkat kedua. Tahun depan juga kamu sudah berada di tingkat akhir sekolah menengah atas, ya? Pasti kalian berdua akan sama-sama sibuk dengan dunia sendiri," balas Rudolf, tidak mau anaknya dijadikan sasaran, ia pandai berdalih dengan mengalihkan pembicaraan.
Lea hanya tersenyum, ia tahu kalau kelicikan Rudolf tidak dapat ia sandingkan apalagi dikalahkan olehnya.
"Baiklah kalau begitu, kita pergi saja, yuk. Lesta dan Lea bisa ikut bersama kami dengan mobil. Jika Nak Ben juga ingin ikut, bisa ikuti mobil kami dengan sepeda motor, ya," ujar Vina.
Ben tersenyum dan mengangguk. Ia akan ikut hanya karena ingin memastikan kalau Lea baik-baik saja dengan ini.
'Dengan ketidakhadiran Vino hari ini, bukan membuatku merasa lega. Tapi justru semakin cemas. Sepertinya ia juga tidak menginginkan pernikahan ini,' batin Lea cemas.
***
Ninda
[Semangat, Lea!]
[Besok aku kembali sekolah dan kamu wajib menceritakan semua yang terjadi selama aku tidak masuk]
[Aku akan berterima kasih kepada Radi, yang telah menggantikanku selama aku tidak masuk]
[Perihal calon suamimu, positif thinking saja]
[Mungkin benar dia sedang sibuk atau malah cemas juga karena malu bertemu dengan calon istrinya]
[Hahaha]
"Jangan main handphone terus," bisik Lesta menegur Lea.
Sejak tadi Lea memang tidak pernah melepaskan tangan dan pandangannya dari ponsel. Ia berbalas pesan dengan Ninda karena kecemasannya yang hampir tidak dapat dikendalikan. Lea benar-benar cemas.
Mobil mewah Rudolf menepi di sebuah gedung yang menjulang tinggi. Itu adalah hotel bintang lima yang memiliki lahan sangat luas dengan bangunan yang megah. Mobilnya diparkirkan di area parkir tamu dan mereka semua segera keluar dari dalam mobil.
Terlihat Ben yang sudah menghampiri mereka dengan jas almamaternya yang memperlihatkan dengan jelas kalau ia adalah seorang mahasiswa.
"Kak," panggil Lea, berbisik.
"Semua akan baik-baik saja. Aku akan memastikannya," ucap Ben, ingin Lea percaya diri.
Lea dan Ben berjalan di belakang, mengikuti Lesta bersama dengan Rudolf dan Vina. Mereka berjalan menuju ke meja receptionist, untuk meminta dipandu menuju ke ruangan yang akan menjadi acara pernikahan Lea.
Sebuah ruangan di lantai paling atas, dengan atap transparan yang memperlihatkan isi langit sesungguhnya. Lea diam, sangat kagum melihatnya. Itu adalah ruangan yang sangat persis seperti dalam anime, dimana ruangan dalam hotel yang juga memiliki atap transparan, memperlihatkan isi langit yang sesungguhnya.
"Seperti dalam anime itu, ya kak," ucap Lea, mengingatkan Ben pada sebuah anime yang baru saja mereka tonton bersama di rumah beberapa waktu lalu.
"Kamu sangat menginginkan dekorasi pernikahan yang seperti ini, bukan? Jangan cemas lagi, ya. Tuhan sudah mempersiapkan kejutan yang terbaik untukmu," ujar Ben, selalu membuat Lea menghilangkan rasa cemasnya.
Selesai dengan gedung dan dekorasi pernikahan yang sudah sangat sesuai dengan harapan Lea, kini mereka pergi menuju ke sebuah rumah designer untuk memilih gaun pernikahan. Lea juga memiliki rancangan sendiri untuk gaun pernikahannya, dengan harapan gaun pernikahannya juga dapat sesuai dengan harapan.
"Kamu ingin gaun yang seperti apa, Lea?" tanya Vina, memberikan kebebasan untuk Lea merancang desain gaun pernikahannya sendiri.
Lea tersenyum, ia mengambil kertas dan pensil yang ada di dalam tasnya, menggambar sebuah sketsa dengan hasil akhir sebuah gaun yang terlihat sangat sederhana namun terlihat begitu elegan.
"Lea suka menggambar," ucap Lesta, memberitahu kalau anaknya memang hobi menggambar, khususnya fashion. Apalagi Lesta juga berprofesi sebagai tukang jahit, sangat mendukung Lea untuk melakukan praktek dengan membuat desain untuk baju boneka barbie nya.
"Saya suka desain ini. Bisa diukur saja?" Vina langsung setuju dengan desain yang baru saja dirancang oleh Lea.
Lagi-lagi keinginannya dapat terealisasikan. Semua harapannya akan segera terwujud di hari pernikahannya nanti.
'Lea, aku harap setelah ini tidak ada lagi ragu dan cemas yang melanda. Kamu harus bahagia dengan pernikahan terpaksa ini,' batik Ben, berharap Lea baik-baik saja.
Usai melihat gedung dan dekorasi pernikahannya, gaun pernikahan, mereka memilih untuk pergi makan siang. Mereka melewatkan tentang undangan pernikahan karena memang tidak ingin mengundang banyak tamu yang tidak penting. Hanya kerabat terdekat saja yang akan diundang melalui undangan digital yang telah dipesan oleh Vino sendiri melalui teman kuliahnya.
"Lea, bagaimana hari ini?" tanya Rudolf, ingin memastikan kalau calon menantunya bahagia dengan semua persiapan pernikahan yang tidak sederhana.
"Baik, Paman," jawab Lea.
"Apa kamu bahagia?"
"I—ya."
"Kalau begitu, usai makan siang ini kita ke rumah, ya. Vino memberi kabar kalau ia sudah pulang dan berada di rumah."
"Hmm, maaf. Apa saya bisa pulang lebih dulu? Karena ada pelanggan yang ingin mengambil pakaian," ucap Lesta menyela. "Saya akan pulang dengan taksi."
"Ibu …."
"Kamu bisa pulang bersama Ben," ucap Lesta.
"Hmmm, baiklah."
"Oh, baik Lesta. Jangan kecewakan pelangganmu hanya karena ingin bertemu dengan calon menantumu yang super sibuk itu," balas Rudolf.
Lea menggigit bibir bawahnya, ia mengepalkan kuat tangannya.
'Setelah ini … aku akan bertemu dengan Vino?'