"Kalau begitu, kita pergi saja, yuk. Lesta dan Lea bisa ikut bersama kami dengan mobil. Jika Nak Ben juga ingin ikut, bisa ikuti mobil kami dengan sepeda motor, ya," ujar Vina.
Ben tersenyum dan mengangguk. Ia akan ikut hanya karena ingin memastikan kalau Lea baik-baik saja dengan ini.
'Dengan ketidakhadiran Vino hari ini, bukan membuatku merasa lega. Tapi justru semakin cemas. Sepertinya ia juga tidak menginginkan pernikahan ini.'
***
Lea dan Ben masih bersama mengikuti Rudolf dan Vina. Kali ini mereka telah tiba di sebuah rumah yang hampir menyerupai istana. Itu adalah rumah milik Rudolf. Lea tidak bisa berkomentar apa-apa melihatnya. Ia hanya takjub dengan rumah mewah yang dimiliki oleh keluarga dari calon suaminya. Sementara dirinya bukanlah apa-apa ataupun siapa-siapa yang dapat dibanggakan.
"Lea, sepertinya Vino sudah pergi lagi. Dia tidak ada di kamarnya. Tapi saya tidak ingin membuatmu kecewa lagi, mari kita ke kamarnya bersama dan melihat isi kamarnya. Di sana juga ada foto Vino yang bisa kamu lihat sebelum kamu bertemu langsung dengannya," ujar Rudolf, mengajak Lea beserta Ben untuk menuju ke kamar Vino.
Sebuah kamar yang berada di lantai dua. Kamar yang lebih tepat jika disebuah sebagai lapangan basket. Memang tidak seluas lapangan basket, tetapi dekorasi kamarnya benar-benar menyerupai lapangan basket yang berada dalam ruangan.
"Di sana ada foto Vino saat wisuda sekolah," ujar Rudolf, menunjuk sebuah bingkai yang terpajang di atas sebuah meja belajar.
Lea berjalan menghampiri meja tersebut, melihat bingkai foto yang dimaksud. Sebuah foto yang menarik untum dilihat. Bagaimana tidak, Vino adalah seorang pria yang sangat tampan. Jika dideskripsikan, Vino hampir bisa dikatakan sesuai dengan ekspetasi pangeran yang Lea impikan selama ini.
"Lea," panggil Ben.
"Hm? Ada apa, Kak?" tanya Lea tersentak.
"Bagaimana?"
"Hmmm, sepertinya Vino orang yang baik," ucap Lea, tidak ingin menilai fisik.
Ben tersenyum, mengusap kepala Lea.
"Lea, jika kamu sudah menikah nanti, kamu akan tinggal di kamar ini bersama Vino. Mungkin ada beberapa dekorasi yang dirubah, karena kamar Vino ini terlihat sangat maskulin, tidak cocok untuk pasangan pengantin seperti kalian," tutur Rudolf.
Lea tersenyum dan mengangguk. Sementara ia memilih untuk menurut saja, karena belum tentu juga Vino setuju dengan apa yang dikatana oleh Rudolf.
***
Hari yang melelahkan, namun juga sangat berkesan. Bagaimana tidak, semua persiapan pernikahan Lea sangat sesuai dengan ekspetasinya. Bukan hanya persiapannya saja, bahkan sosok calon suaminya benar-benar seperti pangeran idaman Lea yang selama ini Lea impikan.
Malam ini Lea memilih untuk istirahat lebih awal, agar harinya esok dapat ia sambut dengan suka cita.
"Ayah, selamat malam …," ucap Lea sembari melihat foto ayahnya yang ia pajang di dinding kamarnya.
***
Lea pergi ke sekolah lagi-lagi bersama Ben. Sepanjang dalam perjalanan, Lea tak henti melontarkan senyum. Ia tersenyum sendiri, seperti sedang bahagia.
"Kak Ben, apa Kak Cheryl tidak marah jika Kakak selalu mengantar dan menjemputku sekolah?" tanya Lea, ia penasaran dengan kekasih Ben yang hingga kini belum penah dikenalkan secara langsung oleh Ben.
"Aku memberitahunya tentang pernikahanmu. Ia memaklumi aku yang menghabiskan waktu bersamamu sebelum kamu menikah. Jadi kamu tidak perlu khawatir tentang itu," jawab Ben memberikan alasannya. Cheryl ternyata orang yang cukup baik, karena memahami keadaan Ben dan Lea saat ini. Dimana kebersamaannya hanya tinggal beberapa saat saja.
Sepeda motor Ben berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Lea segera turun dan melepas helm nya. Ia memberikan helm itu kepada Ben dan segera merapikan rambutnya.
"Jika nanti aku telat, kamu pulang sendiri tidak apa, kan? Hari ini aku ada kuliah umum, biasanya dokter tamu yang datang selalu berada di kelas melewati jam perkuliahan," ujar Ben.
"Tidak apa, Kak. Aku juga mengerti kalau Kakakku ini adalah mahasiswa kedokteran yang super duper sibuk. Terima kasih, ya Kak … sudah meluangkan waktu untukku, dihari sebelum pernikahanku berlangsung," balas Lea.
"Sama-sama … masuklah! Sebentar lagi bel masuk sekolah akan berbunyi," perintah Ben, sembari melirik ke arlojinya. Kurang 10 menit lagi bel sekolah Lea akan berbunyi, tanda jam pelajaran pertama akan segera berlangsung.
"Kakak hati-hati di jalan, ya … aku masuk dulu. Bye!"
Lea melambaikan tangannya dan kemudian berlalu. Ia melangkahkan kakinya sembari bersenandung menuju ke kelasnya. Ada sapaan dari beberapa temannya yang dibalas dengan senyuman oleh Lea.
Tibalah Lea di dalam kelasnya, melihat adanya Ninda dan Radi yang sedang duduk berhadapan di tempat duduknya.
"Permisi-permisi. Calon pengantin mau lewat," ucapnya menggoda kedua temannya.
"Uuuh, calon pengantin. Sepertinya sudah bisa terima dengan perjodohannya, ya?" cicit Ninda, melihat Lea yang sudah tidak terlihat memiliki beban lagi.
"Hmmm … bagaimana, ya … aku baru tahu kalau calon suamiku itu benar-benar seperti pangeran! Sangat tampan, Ninda!" ujar Lea membala cicitan Ninda.
"Hah? Yang benar? Ada fotonya?" tanya Ninda juga sangat penasaran sosok calon suami Lea.
"Aku tidak mengambil fotonya. Lagipula … aku juga melihatnya melalui foto," jawab Lea, nadanya menjadi lesu.
"Hanya foto? Bisa saja diedit, kan?" timpal Radi menyahutinya.
"Radi, kamu diam saja. Ini urusan perempuan," ucap Ninda tidak ingin Radi ikut campur, yang nantinya hanya akan membuat Lea tidak percaya diri dan kembali cemas.
"Radi, terima kasih, ya," ucap Lea kemudian.
"Lea, untuk apa kamu berterima kasih padanya?" tanya Ninda heran.
"Terima kasih untuk apa?" tanya Radi kemudian.
"Sudah menemaniku beberapa hari ini, selama Ninda yang menyebalkan ini tidak masuk sekolah," jawab Lea.
Radi membulatkan mulutnya dan kemudian mengangguk. Radi memang jarang sekali terlihat tersenyum, namun Lea dan Ninda sudah paham dengannya.
***
Lea, Radi dan Ninda berjalan bersama di trotoar yang berada di sepanjang jalan dengan sisi kanan yang memperlihatkan jejeran toko dan sisi kirinya adalah jalan raya yang luas dan tertib. Hari ini Ninda berencana untuk mengajak Lea dan Radi makan es krim, ia menraktirnya sebagai ganti karena beberapa hari tidak masuk karena sakit.
"Baru juga sembuh, langsung mengajak makan es krim," gerutu Radi, melihat es krim dengan cone yang kini ada ditangannya.
"Kalau tidak mau, untukku saja," ucap Lea kemudian menyuap sedikit es krim milik Radi.
"Lea! Kamu kan sudah memilikinya sendiri. Mengapa bagianku diambil juga?!"
"Kamu banyak bicara dan juga banyak protes. Kalau tidak mau, lebih baik untukku saja. Aku yang lebih membutuhkan es krim untuk menyejukkan hati dan pikiran, seperti apa yang dikatakan olehmu," ujar Lea.
"Hey hey! Kalian pernah makan es krim bersama tanpaku?" tanya Ninda.
Lea dan Radi saling menoleh, kemudian mereka terkekeh bersama.
"Kok ketawa?!"
"Kami bahkan sudah melakukan banyak hal tanpa kamu, Ninda …."