Chereads / Janji Masa Lalu / Chapter 14 - Bab 14 || Tumben

Chapter 14 - Bab 14 || Tumben

"Cie, pengantin baru. Baru bangun tidur," ledek Bagas saat Ben dan Lexi turun bersama dari kamar milik Lexi yang berada di lantai atas.

Lexi merasa malu sekali dengan candaan yang di lontarkan oleh Bagas pada dirinya dan Ben. Menyesal karena harus bangun siang, rasa lelah dan letih selama pernikahan kemarin membuat tubuhnya merasa sangat sakit di beberapa tempat.

Terutama bagian kaki, karena Lexi harus berdiri dalam waktu beberapa jam untuk menyapa para tamu-tamu yang datang ke pernikahannya. Membayangkan bagaimana rasanya perasaan letih yang Lexi rasakan kemarin, dia tidak ingin kembali mengulang acara seperti itu dalam hidupnya.

Cukup satu kali saja.

"Kaki Kak Lexi kenapa tuh jalannya sampai kayak begitu, abis olahraga ya semalam," lanjut Bagas.

Melihat cara jalan Lexi yang berbeda, Bagas kembali meledek kakak sepupu nya tersebut hingga membuat Lexi merasa malu. Padahal kaki Lexi sakit bukan karena hal itu, tetapi karena perasaan lelah setelah berdiri selama hampir seharian kemarin.

"Sakit karena lelah berdiri di pelaminan kemarin, Bagas," ucap Ben membantu Lexi membalas perkataan Bagas.

"Oh, sakit karena itu," balas Bagas masih dengan senyum menyebalkan nya.

Membuat Lexi ingin sekali melemparkan sandal yang sedang di gunakan nya kepada pria itu sekarang juga, tapi mengingat bagaimana ramai nya ruang makan kali ini. Lexi tentu harus mengurungkan niatnya.

"Iya!" ujar Lexi ketus.

Ben dan Lexi mengambil kursi kosong duduk bersebelahan di sana, lalu ikut makan bersama. Perasaan Lexi menjadi buruk karena ucapan Bagas yang meledek nya, membuatnya merasa malu dan tidak ingin melihat wajah keluarganya yang menatapnya dengan wajah menggoda Lexi.

Melihatnya secara sekilas saja Lexi seperti dapat menebak isi pikiran mereka. Seperti 'Lexi apakah malam pertama mu menyenangkan' atau 'Lexi, apakah kamu akan segera memberikan kami bayi yang lucu dan menggemaskan dalam waktu dekat'.

Lexi dapat menebak isi pikiran keluarga besarnya yang sedang duduk bersama di meja makan, hanya dengan satu kali lihat.

"Tante harap kalian berdua tidak menunda momongan, ya. Di usia kalian yang sudah sangat matang, sudah sepantasnya menimang anak di usia sekarang," ujar Tante Rossa.

"Kita memang tidak berniat menunda mempunyai anak sama sekali kok, Tante."

Lagi-lagi Ibu dari Bagas yang bertanya tentang hal seperti ini kepada Lexi, dia ingin sekali menjawab ucapannya dengan nada ketus. Siapa juga yang ingin menunda mendapatkan momongan, Lexi dan Ben juga cukup sadar diri jika mereka sudah berada di usia yang sangat matang.

Memang sudah seharusnya bagi keduanya untuk segera mendapatkan momongan.

"Usaha yang keras, agar Mamah kamu segera dapat cucu."

"Itu pasti Tante," potong Ben dengan senyum sumringah.

Reaksi dan tingkah Ben memotong ucapan Lexi yang akan menjawab pertanyaan dari Tante Rose. Membuat semua orang yang berada di meja makan tertawa geli, tidak terkecuali kedua orang tua Lexi sendiri.

Lagi-lagi hanya Lexi yang merasa malu di sana, sedangkan Ben malah ikut tertawa bersama dengan yang lainnya. Bagas adalah orang yang paling merasa bahagia di atas derita malu yang Lexi rasakan saat ini, seolah pria itu mendapatkan hal yang dia mau pagi ini dari ucapan Ben.

"—Aw Lexi sakit, kenapa kamu mencubit pinggang aku," bisik Ben kesakitan ketika tangan Lexi dengan enteng nya mencubit pinggang Ben yang keras.

Padahal badang Ben adalah yang terbaik karena Ben sendiri adalah orang yang sangat rajin berolahraga. Jadi, bukan hal yang mudah untuk dapat mencubit pinggang Ben yang keras dan sangat kekar tersebut.

Tapi memang pada dasarnya Lexi memiliki kekuatan tangan yang sangat hebat sebagai seorang Dokter, di mana dengan profesi Lexi tersebut seharusnya wanita itu memiliki tangan yang harus di jaga dengan penuh kehati-hatian.

Karena tangan adalah senjata paling penting yang harus di miliki oleh seorang Dokter. Tapi sepertinya Lexi memiliki pemikiran yang berbeda tentang hal itu, karena selain menggunakan tangannya tersebut untuk menyelamatkan dan menyembuhkan orang lain.

Lexi juga suka membuat tangannya sebagai senjata untuk membuat orang kesakitan, seperti yang baru saja Ben alami barusan.

"Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak seperti itu, aku malu tahu!" tegur Lexi.

"Oh, kamu merasa malu?" tanya Ben menggoda.

"Ben, tolong jangan buat aku marah di hari sepagi ini."

"Baiklah, aku mengerti jangan marah ok. Sekarang habiskan sarapan kamu."

Meski Lexi masih merasa kesal dengan Ben, dia tetap menuruti ucapan Ben dengan kembali memakan sarapannya hingga habis. Sarapan di meja makan tersebut berjalan dengan sangat cepat, setelahnya semua orang yang menginap di rumah Lexi pamit pulang satu persatu.

Merasakan kembali rumahnya yang sepi dan tidak banyak orang seperti sebelumnya, rasanya Lexi dapat bernapas lebih lega kembali. Para saudara Lexi yang datang memenuhi rumah sebelumnya, membuat Lexi tidak bisa leluasa di rumahnya sendiri dan seluruh rumahnya rasanya terasa sesak.

"Akhirnya udara di rumah ini menjadi segar dan tidak terasa sesak lagi," seru Lexi senang.

"Memangnya sedari tadi rumah kita udaranya tidak bagus?" tanya Mamah heran dan bingung sendiri dengan ucapan Lexi yang mengatakan jika udara di rumah mereka terasa berbeda dari biasanya, padahal Mamah Lexi sendiri tidak merasakan perubahan seperti yang Lexi rasakan.

"Ya, udara di rumah kita memang tidak bagus sejak kemarin. Karena terlalu banyak orang sehingga kita harus berbagi udara dengan mereka semua. Mamah tidak menyadarinya."

"Mamah kira kenapa, itu memang pada dasarnya kamu tidak suka saja ada banyak orang di rumah kita."

"Yup, dugaan Mamah benar sekali. Apalagi dengan adanya Tante Rose di rumah kita, rasanya udara yang ada di sekitar membuat aku tidak bisa bernapas dan ingin selalu menjauhinya untuk dapat terus hidup."

"Lexi, jangan berbicara seperti itu," tegur Ben yang berada di sebelahnya.

"Habisnya, Tante Rose terlalu banyak berbicara. Apalagi omongan nya tidak pernah jauh dari mengomentari hidup aku, seolah hidup aku selama ini tidak pernah benar dan selalu salah di matanya."

Mamah menghela napas mendengar keluhan dari Lexi, dia sendiri sebenarnya terkadang tidak suka dengan ucapan adiknya tersebut yang terlalu berlebihan kepada Lexi. Ucapan Lexi memang benar, terkadang dia terlalu mencampuri dan mengomentari hidup anaknya.

"Ya, untuk kali ini Mamah tidak akan membela Rose. Karena yang kamu ucapkan memang benar."

"Mamah gak lagi sakit `kan?" tanya Lexi yang heran dengan reaksi Mamah karena tidak sesuai dengan ekspektasi dan bayangan Lexi. Karena Lexi berpikir mamahnya akan marah karena Lexi menjeleki-jelekkan adiknya tersebut dan mengeluh tentang sikap perempuan paruh baya tersebut.

"Mamah tidak sakit, kamu tidak lihat Mamah sehat walafiat seperti ini. Apa kamu berharap Mamah sakit."