Chereads / Loucy Looking For Love / Chapter 13 - Pandangan Terhadap Penulis

Chapter 13 - Pandangan Terhadap Penulis

Keke keluar dari lift dengan terburu-buru. Berada di dalam satu ruangan dengan Arkan, membuat jantungnya sedikit tidak tenang.

Bukan karena ketampanan wajah Arkan. Melainkan, pria itu terus mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai Lusi.

"Lusi!" Keke memekik dan berlari menghampiri Lusi yang masih sibuk dengan tulisannya.

"Ada apa, Keke? Bagaimana? Apakah perjamuannya ramai? Makanannya enak?"

Keke menghela napas berat dan duduk di hadapan Lusi. Jika tidak bertemu dengan Bela, mungkin ia akan sedikit menikmati perjamuan tersebut.

"Seharusnya menyenangkan. Hanya saja, aku bertemu Bela di sana."

Lusi menghentikan aktivitasnya dan melirik Keke. "Belania?"

Keke mangangguk pelan, ia sedikit memajukan tubuhnya agar lebih dekat dengan Lusi. "Bela menanyakan keberadaanmu. Dan sempat pamer karena berhasil menandatangani kontrak dengan Eco Publisher."

Lusi tersenyum singkat. Ia pikir akan ada hal menarik yang dibawa oleh musuh bebuyutannya itu. Ternyata masih sama saja.

"Sudahlah, Keke. Kita tidak perlu memikirkan tentang Bela. Wanita itu memang selalu iri dengan apa yang aku miliki. Padahal, aku tidak pernah mengusik hidupnya."

"Untung saja aku bertemu dengan Mas Arman, dan kami bisa menyanjungmu di hadapan Bela."

"Apa? Mas Arman?" tanya Lusi penasaran. Siapa Mas Arman yang dimaksud oleh Keke?

"Iya. Mas Arman yang membantu naskahmu."

Benar dugaannya. Lusi mengusap wajah kasar. Bisa-bisanya pria itu menghadiri acara perjamuan, sedangkan dirinya sibuk mengurusi naskah seharian.

"Aku pikir Mas Arman adalah orang baik, sehingga aku mampu meninggalkan kesan baik juga untuknya. Tapi lihat sekarang, di saat aku sibuk mengurusi naskah seharian, pria itu malah pergi ke acara perjamuan mewah. Keke, aku tidak bisa terima!"

Keke beranjak dan memeluk tubuh Lusi dari belakang. Ia tahu, kalau Lusi sangat membutuhkan waktu untuk bersantai.

"Sudahlah, Lusi... kau sudah bekerja sangat keras hari ini. Istirahatlah sejenak, tenangkan pikiran dan mentalmu."

Lusi mengembuskan napas berat dan menyandarkan punggung. Ia masih menatap lurus ke arah laptop yang tengah menampilkan tulisannya sendiri.

"Aku memang sedikit stres, Keke. Mungkin karena akan kedatangan tamu bulanan. Emosiku juga menjadi tidak stabil."

Keke melepas pelukannya dan memutar kursi kerja Lusi. Wanita itu berjongkok di hadapan Lusi sambil tersenyum.

"Bersihkan dirimu. Malam ini kita minum kopi di kafe bawah."

"Tidak." Lusi menolak dan kembali memutar kursinya. Ia tidak boleh terlalu banyak bersantai. "Aku harus menyelesaikan pekerjaanku, Keke. Jika tidak, maka Mas Arman akan memarahiku."

"Hanya malam ini saja. Aku janji, setelah malam ini, tidak akan ada lagi menikmati kopi di tengah pekerjaan."

Lusi terdiam. Hatinya sedikit tergerak. Sebenarnya ia juga sangat menginginkan sedikit refreshing. Perutnya sudah mual terus bergelut dengan naskah setengah jadi tersebut.

"Oke. Aku akan bersiap-siap."

Keke memekik pelan sambil tersenyum lebar. Seperti seorang anak kecil yang berhasil membujuk temannya.

Selama menunggu, Keke juga pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian. Tidak mungkin ia pergi ke kafe dengan penampilan formal seperti itu.

Setelah hampir dua puluh menit, kedua wanita itu keluar dari kamarnya masing-masing. Ternyata mereka sama-sama mengenakan hoodie dan celana jeans pendek di atas lutut.

Lusi menata rambutnya agar sedikit terlihat lebih imut. Sedangkan Keke, seperti biasa. Ia akan mengikat rambut dengan model kuncir kuda.

"Oh iya, aku akan membawamu ke sebuah kafe yang memiliki cita rasa yang sangat nikmat," ucap Lusi.

"Di mana?"

"Sudah, kau ikut denganku saja."

Kedua wanita cantik itu keluar dari rumah mereka dan berdiri di depan pintu lift. Lusi menoleh ke samping, menatap pintu rumah Arkan yang tertutup. Di dalam sana terlihat sangat sepi, bahkan Lusi tidak mendengar suara sedikit pun.

"Lusi, tadi pagi hingga sore aku bertemu dengan pria yang tinggal di dalam sana," ucap Keke sembari menunjuk rumah Arkan. Padahal ia akan menceritakannya pada Lusi, tapi memang dasar pelupa, Keke bahkan baru mengingatnya sekarang.

Pintu lift terbuka. Keke dan Lusi segera masuk. Ia langsung menekan tombol dengan angka satu.

"Kau bertemu Arkan di mana?" tanya Lusi, melanjutkan topik yang telah Keke buat.

"Di dalam lift. Saat aku pergi ke perjamuan, pria tampan itu menyapaku. Lalu, ketika aku kembali dari perjamuan, kami kembali bertemu di dalam lift. Dan dia menanyaimu."

Lusi mengerutkan dahi dan menoleh ke samping. "Untuk apa dia menanyaiku?"

"Aku tidak tahu. Hanya saja, dia bertanya tentang pekerjaanmu."

Lusi tersenyum singkat. Ternyata pria itu sudah mulai penasaran dengan pekerjaannya. Mungkin yang ada di dalam pikiran Arkan adalah, mengapa seorang wanita pengangguran bisa menghidupi dirinya sendiri?

Pintu lift terbuka. Mereka keluar dari gedung apartemen dan menyusuri trotoar untuk pergi ke kafe.

"Lusi, kau tidak takut jika pria itu mengetahui identitasmu?"

"Keke, apa yang harus aku takutkan? Dia seorang mahasiswa. Bahkan jika dilihat, Arkan sama sekali tidak senang membaca. Meskipun dia tahu kalau aku penulis, pasti ia tidak akan peduli. Karena, kami hanya akan dihargai oleh orang-orang yang mengerti dengan ruang lingkup seperti ini."

Memang benar. Tidak semua orang tahu siapa itu penulis. Bahkan jika tahu pun, mereka tidak akan mengelu-elukan. Bagi masyarakat biasa, penulis adalah orang yang hidup dengan segudang khayalan mereka. Berfantasi, lalu menuangkannya ke dalam sebuah tulisan.

Bahkan ada beberapa penulis yang bernasib naas. Mereka terlahir dari keluarga sederhana dan menjadikan tulisan sebagai ladang rezeki. Tidak membutuhkan waktu lama, buku-bukunya habis terjual di pasaran.

Setelah kejadian itu, mereka mampu menghidupi keluarganya dengan layak. Seperti merenovasi rumah, membeli kendaraan yang dibutuhkan dan pergi untuk berlibur.

Alhasil, para tetangga menjadi curiga dan menuduh keluarga mereka melakukan pesugihan online. Bahkan sampai ke tahap penggeledahan, akhirnya si penulis tersebut memperlihatkan semua buku dan menghubungi pihak penerbit untuk memberi penjelasan.

Keke tergelak hingga perutnya keram, karena mendengar kisah yang Lusi ceritakan. Wanita itu sampai memegang tiang lampu jalanan karena lemas oleh tawanya sendiri.

"Lusi, apa cerita itu nyata?" tanya Keke disela-sela tawanya. Jika memang nyata, Keke benar-benar tidak habis pikir dengan para tetangga yang selalu ingin tahu dengan urusan orang.

"Aku serius, Keke. Menyeramkan, bukan?" Lusi menggelengkan kepala heran. Ketika ia mendengar cerita tersebut, ekspresinya hampir sama dengan Keke. Tertawa terpingkal-pingkal dan mencaci para tetangga tersebut.

"Berarti kau benar, Lusi. Sepertinya tetanggamu itu penasaran dengan pekerjaanmu selama ini."

"Aku tahu. Sudahlah, jika dijelaskan pun mereka tidak akan mengerti."

Lusi membawa Keke berbelok masuk ke kafe milik Dave. Kedua wanita itu duduk di meja paling depan, dan mulai membuka buku menu.

"Hai, Lusi."

Lusi mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Dave, kau ada di sini?" tanya Lusi basa basi. Padahal ia tahu, kalau Dave akan selalu berada di sana.

"Tentu saja. Aku akan berada di sini setiap hari." Dave duduk di samping Lusi dan menoleh ke arah Keke.

"Perkenalkan, dia Keke. Sahabat terbaikku."

"Tunggu. Sepertinya aku pernah melihatmu."