Arkan menatap curiga pada wanita di sampingnya. Pasalnya, ketika ia bertanya tentang Lusi, wajah wanita itu berubah sedikit panik. Bukankah ia hanya bertanya tentang pekerjaan Lusi? Untuk apa wanita itu harus terlihat panik?
Pintu lift terbuka, mengalihkan perhatian Arkan. Namun wanita yang ia tahu bernama Keke itu buru-buru keluar dan masuk ke dalam rumah yang ia tempati bersama Lusi dengan tidak memberi jawaban atas pertanyaan Arkan tadi.
Pria itu tersenyum miring dan memencet tombol sandi rumahnya. Ia semakin penasaran, sebenarnya apa pekerjaan kedua wanita itu?
Meskipun Arkan tidak ingin ikut campur dengan urusan orang lain, tapi Lusi dan Keke adalah tetangganya. Tetangga sangat dekat dan hanya lima langkah.
Arkan juga tidak tahu, sejak kapan ia menjadi penasaran dengan pekerjaan Lusi. Ia ingin mengabaikan, namun sepertinya tidak bisa.
Sesampainya di dalam rumah, pria itu meletakkan tas yang ada di punggungnya dan meraih novel bertuliskan Cinta Yang Hilang.
Asal kalian tahu, sebenarnya buku tersebut telah dibaca puluhan kali oleh Arkan. Namun pria itu tidak pernah merasa bosan. Menurutnya, buku karya Loucy tidak pernah gagal dan selalu nyaman untuk dibaca.
Tidak lupa, saat membaca Arkan akan mengenakan kacamata untuk berjaga-jaga. Ia tidak ingin mengalami rabun di usia muda. Arkan memang sangat protektif terhadap kesehatan dan kebersihan. Ia tidak akan membiarkan ada debu sedikit pun yang menempeli rumahnya.
Saat tengah asyik membaca, ia tidak sengaja mendengar suara pintu terbuka dan langkah kaki seseorang. Awalnya Arkan tidak peduli, tapi rasa penasaran yang tinggi membuat tubuhnya beranjak.
Pria itu berjalan ke arah pintu dan mengintip dari lubang kecil yang menempel di pintu tersebut. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat, tatkala melihat Lusi yang tengah memperhatikan rumahnya.
Wanita itu memang sangat cantik. Wajah yang kecil diapit oleh kedua pipi yang mengembung dan bibir yang sangat mungil. Dan yang paling membuat Arkan tertarik, tubuh wanita sangat kecil dan pendek. Jika dibandingkan dengan dirinya, mungkin Lusi hanya sebatas dadanya saja.
Kening Arkan mengerut, ketika melihat Keke menunjuk ke arah rumahnya. Pasti wanita itu sedang memberitahu Lusi, tentang pertemuan mereka tadi. Namun reaksi Lusi hanya tersenyum dan berkata sesuatu, yang tidak bisa Arkan dengar.
Pintu lift terbuka, dan kedua wanita itu telah hilang di dalamnya. Arkan menghela napas ringan dan kembali membaca bukunya dengan santai.
Setelah melihat wajah Lusi, entah mengapa ia menjadi merasa sedikit senang. Usia Lusi tiga tahun lebih tua darinya, tapi mengapa bisa memiliki wajah selucu, itu? Apa ia meminum ramuan awet muda?
Arkan menggeleng pelan. Ia sudah mulai gila dan tidak berpikir logis. Memangnya ini di negeri dongeng? Ada ramuan untuk awet muda.
Ponsel di sampingnya berdering dengan suara keras. Pria itu melirik dan berdecak karena membaca nama Jevon yang tertera di dalamnya.
"Ada apa?" tanya Arkan tanpa basa basi.
"Aku membutuhkan bantuanmu. Sekarang aku ada di Evening Cafe, kau kemarilah sebentar."
"Apa kau tidak bisa meminta bantuan orang lain?"
Jevon terdengar berdecak keras. "Tidak bisa, Arkan. Kafe ini lebih dekat dengan apartemenmu. Cepat turun dan bantu aku!"
Sambungan terputus secara sepihak. Kalau bukan karena ia kasihan pada Jevon, mungkin pria itu akan lebih memilih untuk membaca buku seharian.
Arkan menyimpan kembali buku tersebut dan berjalan ke arah kamar untuk berganti baju. Ia melepas kemeja yang melekat di tubuhnya, berganti dengan hoodie santai berwarna hitam yang sangat cocok dengan warna kulitnya yang cerah.
Ketika bercermin di depan lemari pakaiannya yang besar, Arkan tersenyum saat melihat sebuah nama seorang wanita yang tidak pernah ia temui sebelumnya.
"Loucy Aldis Delina."
***
"Tunggu, sepertinya aku pernah melihatmu."
Lusi menoleh ke arah Keke yang tengah mengerutkan keningnya.
"Kau pernah bertemu denganku?"
Dave mengangguk pelan sambil tersenyum. "Beberapa hari yang lalu, kau membeli kopi di sini. Aku hanya melihat sekilas, namun sepertinya bayangan wajahmu masih membekas."
Mereka bertiga tertawa pelan. Dave sepertinya pria yang senang memberi pujian kepada para gadis. Tidak heran, pasti semua gadis akan masuk ke dalam jerat rayuannya.
"Oh, iya! Aku pernah sekali membeli kopi di sini. Tapi aku tidak tahu, kalau kalian berdua saling mengenal," ucap Keke, sembari menatap Dave dan Lusi bergantian.
"Aku dengan Dave baru saja mengenal, Keke. Aku pernah pergi ke kafe ini seorang diri dan tidak sengaja bertemu dengan pemiliknya."
"Oh... jadi kafe ini milkmu?"
"Ya... ini hanyalah usaha kecil-kecilan seorang pria pengangguran sepertiku," jawab Dave, sedikit merendah.
Padahal kafe miliknya itu memiliki desain interior yang mewah. Bahkan jika tidak salah tebak, pasti Dave mengeluarkan dana hingga ratusan juta untuk mendirikan kafe tersebut.
"Kau terlalu merendah, Dave. Kafe ini sangat bagus dan mewah, tidak mungkin kalau kau hanya mengeluarkan sedikit modal," ujar Lusi.
"Memang biayanya sangat tidak murah. Aku bahkan harus merepotkan kedua orangtuaku untuk membangun kafe ini."
Lusi dan Keke hanya tersenyum. "Kau membuat kafe ini, karena memang kau menyukai kopi atau hanya karena murni untuk usaha?," tanya Keke, penasaran. Karena jika dilihat dari wajah, Dave sangat tampan dan menawan. Ia yakin, jika pria itu melamar menjadi model majalah pria, pasti akan lolos dan fotonya terpampang di lembaran paling depan.
"Karena aku menyukai kopi. Aku tidak akan mengerjakan sesuatu yang tidak aku sukai. Meskipun orangtuaku meminta untuk meneruskan perusahaan, aku tetap menolak. Aku hanya menyukai kopi dan ingin membaginya ke semua orang."
Lusi terdiam. Dave adalah dirinya versi laki-laki. Tidak akan melakukan sesuatu jika tidak ia sukai. Kini Lusi semakin berpikir, bahwa ia tidak salah mengambil langkah.
Selain dirinya, Dave juga tidak patuh terhadap permintaan orang tua. Kedua orangtuanya sangat menginginkan Dave menjadi pengusaha, tapi pria itu malah berlari dan membuka kafe yang belum jelas akan memiliki banyak pelanggan atau tidak.
"Sudahlah, kalian sudah berada di sini hampir sepuluh menit dan belum memesan apa pun."
Keke dan Lusi terkekeh pelan. Saking asyiknya mengobrol, mereka sampai lupa untuk memesan.
"Kopi latte dan vanila," ucap Lusi.
"Oke. Silakan ditunggu sebentar. Khusus untuk kalian, aku yang akan meraciknya sendiri."
"Terima kasih, Dave."
Lusi mengedarkan pandangannya, pengunjung di kafe tersebut memang sangat banyak. Tidak salah, karena Dave berhasil mempekerjakan para barista yang ahli di bidangnya.
"Lusi, apa kau tertarik pada Dave?"
Lusi tersenyum singkat dan menggeleng. "Awalnya kupikir akan tertarik dan jatuh cinta pada Dave. Karena selain tampan, ia juga memiliki semangat bekerja yang tinggi."
"Kau benar. Dave memang sangat tampan, andai saja dia menyukaiku."
Lusi menatap Keke dengan dahi mengerut. Tidak biasanya Keke berekspresi manja seperti ini. Karena Keke adalah wanita independen yang hampir tidak pernah membicarakan pria di depan Lusi.
Bel di depan pintu masuk berbunyi dengan nyaring. Membuat Lusi menoleh tanpa alasan, kedua bola matanya berhenti bergerak ketika melihat pengunjung yang baru masuk.
"Arkan?"