Arkan buru-buru keluar dari kafe. Bahkan pria itu mengabaikan Jevon yang masih nyerocos. Ia yakin, Jevon pasti saat ini sedang mencebik dan menghina dirinya.
Tapi Arkan tidak peduli. Lagi pula, sejak kapan dirinya takut pada Jevon?
Pria itu berjalan pelan. Tidak terburu-buru seperti tadi. Orang yang yang ia kejar berada di depannya. Meski tidak terlalu dekat, tapi Arkan masih bisa melihatnya.
Ia tersenyum kecil melihat postur tubuh Lusi yang pendek. Terlihat lucu dan imut. Apakah ia sudah benar-benar jatuh cinta? Tapi apa mungkin bisa, jatuh cinta dengan sembarang orang? Padahal mereka belum pernah mengobrol panjang lebar.
Ketika memasuki gedung apartemen, Arkan berpura-pura memainkan ponsel dan masuk ke dalam lift bersama mereka.
"Arkan?"
Pria itu menoleh. "Hai, Lusi. Aku kira bukan kau," sahut Arkan berpura-pura. Padahal sejak tadi ia mengikuti wanita itu. Dasar pembohong.
"Kenapa kau ada di sini? Tadi aku melihatmu ada di Evening Cafe."
Arkan mengangguk pelan. "Aku ada beberapa urusan yang harus diselesaikan."
"Yang tadi itu... apakah itu temanmu?"
"Ya. Kau tertarik padanya? Biar kuberitahu, Jevon adalah playboy kelas atas. Ia selalu tidak puas dengan satu wanita. Jadi, kau jangan pernah menyukainya."
Lusi justru terkekeh mendengar ucapan Arkan, membuat pria itu sedikit mengerutkan kening.
"Mengapa kau tertawa? Semua yang aku katakan itu benar."
"Aku tidak menyangka, kau akan berkata buruk tentang temanmu seperti ini."
"Aku tidak dengan sengaja mengumbar keburukannya. Hanya saja, kita adalah tetangga. Aku tidak ingin dia selalu datang ke rumahku hanya untuk mendekatimu. Sudahlah, kau tidak akan mengerti."
Mereka berdua asyik mengobrol sepanjang waktu. Sedangkan Keke, wanita itu sudah mengembuskan napas berat berkali-kali. Kini ia tahu bagaimana rasanya menjadi nyamuk di tengah orang yang sedang berpacaran. Pacaran?
"Aku tidak menyukainya, Arkan. Aku hanya bertanya, karena kalian terlihat begitu dekat. Aku pikir kalian...."
"Gay?"
Lusi menggigit bibir bawahnya dan mengangguk sangat pelan.
"Astaga! Meskipun aku seorang gay, aku tidak akan mau pada Jevon!"
Lusi tertawa hingga kedua matanya menyipit. Sangat lucu, pikir Arkan.
Wanita itu kini merasa bahwa Arkan adalah pria yang asyik untuk diajak berbincang. Awalnya memang terlihat sangat pendiam, namun melihat dirinya yang sekarang membuat Lusi mengubah pikirannya sendiri.
Pintu lift terbuka. Kini mereka bertiga sudah berada di depan pintu rumah masing-masing.
"Em, Lusi, jika ada waktu, bisakah kita mengobrol berdua?"
Lusi melirik Keke dan mengangguk beberapa kali. "Tentu saja. Tapi untuk beberapa hari ini aku akan disibukkan oleh pekerjaan."
"Tidak masalah. Beritahu aku jika pekerjaanmu telah selesai."
Lusi mengangguk sambil tersenyum. Ia melambaikan tangan pada Arkan dan masuk ke apartemennya bersama Keke.
"Sepertinya pria itu tertarik padamu," ucap Keke setelah pintu tertutup.
"Tidak mungkin. Dia hanya seorang mahasiswa. Usia kami terpaut tiga tahun, Keke. Mana mungkin dia tertarik padaku?"
Keke duduk di sofa sembari menyandarkan punggungnya. "Tetapi jika melihat dari cara ia menatapmu, mungkin saja dia tertarik. Jika tidak, untuk apa Arkan mengajakmu untuk mengobrol banyak hal?"
Lusi hanya tersenyum kecil. "Kami adalah tetangga, Keke. Arkan hanya ingin menjalin hubungan baik dengan tetangganya sendiri. Apa itu salah?"
"Terlalu polos," cibir Keke pelan. "Sudahlah, berhenti membicarakan bocah tengik itu. Bukankah besok ada pertemuan dengan Mas Arman?"
Lusi mengangguk pelan dan berjalan ke tempat kerjanya. "Kau tenang saja, seluruh pekerjaan sudah terselesaikan. Aku yakin, Mas Arman pasti tidak akan marah padaku."
Wanita itu membuka laptopnya dan menekan tombol power. Namun setelah menunggu, layar laptopnya tak kunjung menyala. Lusi panik, ia meletakkan gelas yang ia pegang dengan kasar.
"Ada apa?" tanya Keke, dan langsung menghampiri Lusi.
"Laptopku mati, Keke. Padahal tadi masih baik-baik saja."
Keke membantu mengecek dan menekan tombol power sekali lagi. Namun tidak ada yang berubah.
Lusi beranjak dari duduknya. Ia menggigiti kuku jarinya dan mulai panik. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Semua pekerjaannya ada di dalam sana.
"Keke, bagaimana ini? Aku tidak memiliki laptop lain."
"Kau bisa pakai milikku, Lusi. Untuk apa cemas seperti itu?"
Lusi berdecak kesal dan mengacak rambutnya. "Aku belum sempat memindahkan datanya!"
Kedua mata Keke terbelalak. "Apa?" pekiknya kencang. Kini bukan hanya Lusi yang diserang kepanikan.
Kedua wanita itu sedang berpikir keras. Jika seperti ini, bagaimana dengan pertemuannya dengan Arman esok?
Tiba-tiba Keke menjentikkan jarinya sehingga menimbulkan suara yang lumayan keras.
"Ada apa, Keke? Kau memiliki jalan keluar?"
"Tidak. Tapi aku memilik saran." Keke menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. "Bagaimana kalau kau pergi ke rumah Arkan dan meminta bantuannya?"
"Apa?" pekik Lusi. "Tidak. Itu tidak mungkin, Keke. Aku pasti akan merasa malu. Bagaimana jika Arkan menolak? Bagaimana jika pria itu mengabaikanku?"
Keke memegang kedua bahu Lusi dan menatapnya serius. "Tidak ada cara lain. Besok Mas Arman akan menemuimu. Jika tidak segera diselesaikan, bagaimana dengan nasib naskahmu?"
Lusi terdiam dengan bibir bergetar. Apa ia harus mengambil langkah seperti ini?
"Keke... jika aku ditolak olah Arkan, kau harus berada di sampingku."
"Aku janji! Sekarang pergilah."
Lusi mengambil laptop dan memeluknya erat. Ia melangkah dengan sangat berat dan tanpa niat. Wanita itu kembali menoleh pada Keke, yang tengah memberinya semangat.
Ia membuka pintu dan berdiri di depannya sembari mengumpulakan keberanian. Rumah Arkan berada lima langkah di depannya. Sangat dekat, tapi Lusi tiba-tiba merasa kalau mereka berjauhan.
Wanita itu mulai melangkah pelan, bahkan hampir tidak menimbulkan suara. Ia menekan tombol bel dan menunggu hingga Arkan keluar.
"Lusi?"
Lusi terkesiap dan tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan bersih.
"Apakah aku mengganggumu?"
"Oh, tidak. Pekerjaanku sudah selesai. Ada apa?"
"Emm... sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu," cicit Lusi, sembari mengusap lengannya.
"Bantuan?"
"Laptopku mati, Arkan. Aku tidak tahu cara mengembalikannya. Semua pekerjaanku ada di dalam sini, dan besok aku harus bertemu dengan klien."
Tanpa sadar Lusi tengah merengek di depan Arkan. Biasanya ia akan menjaga citra dan selalu ingin terlihat kuat di depan orang lain.
"Oh, begitu. Ayo masuk dulu, izinkan aku melihat laptopmu."
Lusi sedikit terkejut. Apa katanya? Masuk? Lusi masih bertanya dengan pikirannya sendiri. Selama ini ia belum pernah masuk ke dalam rumah seorang pria yang hanya tinggal sendiri. Apa Arkan bisa dipercaya?
"Lusi?" Arkan menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Lusi yang tengah melamun.
"Ah, iya, tentu saja."
Arkan tersenyum dan mempersilakan Lusi untuk masuk. Wanita itu memandang kagum isi rumah Arkan yang terlihat sangat rapi dan bersih.
"Arkan, mengapa rumahmu jauh lebih rapi dibanding rumahku?" tanya Lusi, yang sebenernya tengah memuji.
"Kau berlebihan. Memangya di dalam laptop ini ada berkas penting?"