"Kami hanya membawa buku bacaan biasa," ucap Arkan cepat.
"Oh, begitu. Kalau boleh tahu, di mana letak perpustakaan kalian?"
"Di pinggir kota. Kalau kau ada waktu, datanglah. Nama perpustakaannya adalah Happy Reading. Jadi, di sana orang-orang bebas untuk membaca. Jika mereka ingin membeli juga bisa." Jevon mengatakan semuanya dengan jelas, tidak tahu jika perasaan Arkan sudah mulai tidak enak.
"Baik, nanti jika pekerjaannku telah selesai, aku akan pergi ke sana dan melihat seperti apa perpustakaan yang kalian dirikan."
"Hm. Kalau begitu, kami pergi dulu." Arkan pergi begitu saja, meninggalkan Lusi dan Keke yang masih berdiri di tempatnya.
"Lusi, tidakkah kau melihat sesuatu yang aneh dari Arkan?"
"Sedikit. Mengapa Arkan seperti orang ketakutan? Apa pria itu tidak ingin, aku mengunjungi perpustakaannya?"
Keke hanya mengangkat kedua bahu tidak tahu, dan masuk ke dalam gedung apartemen.
Suara gemuruh sudah mulai terdengar, sepertinya tidak lama lagi hujan akan turun. Lusi dan Keke sudah berada di dalam lift.
Seperti apa yang telah mereka katakan sebelumnya, siang ini Keke akan tidur untuk menikmati hujan yang dikirim Tuhan. Sudah lama wanita itu tidak sesantai ini.
Setibanya di dalam rumah, Keke segera melepas sepatu dan mengambil segelas air di meja pantri.
"Lusi, jangan ganggu aku siang ini. Biarkan aku tertidur dengan tenang, dan kau juga harus cepat istirahat."
"Baik, Keke. Aku akan menghubungi orang ilustrator lebih dulu, baru aku menyusulmu di alam mimpi."
"Baik, aku pergi." Keke menutup pintu kamar dan tidak terdengar apa pun lagi dari dalam sana.
Lusi membuka laptopnya kembali. Wanita itu ingin memastikan sekali lagi, apa ilustrator yang ia pilih sudah sesuai dengan kriteria gambarnya.
"Apa model seperti ini yang aku butuhkan? Kenapa mendadak aku jadi ragu," gumam Lusi. Wanita itu kembali mencari ilustrator lain yang lebih cocok.
Di dunia ini, tidak banyak orang yang tahu dan mau bekerja di bidang ilustrator seperti ini. Bahkan yang Lusi tahu, mereka orang luar banyak yang menganggap gambar seperti ini tidak ada harganya.
Padahal jika mereka terjun ke dalam dunia literasi, pasti mereka akan terkejut karena melihat beberapa gambar yang dibanderol dengan harga jutaan rupiah.
Sama halnya dengan para penulis, tidak banyak orang yang tahu tentang kami. Mungkin bagi sebagian orang yang tidak mengerti, kami hanyalah manusia yang aktif menuangkan hasil imajinasi tanpa menghasilkan apa-apa.
Namun sebenarnya tidak begitu. Para penulis adalah orang yang pemberani. Mereka berani terjun ke dalam dunia literasi dan menuangkan ide-ide yang keluar dari dalam pikirannya sendiri.
Bagi mereka, menulis adalah sebuah kesenangan. Bahkan ada beberapa orang yang akan mengeluh sakit kepala, jika tidak menuangkan seluruh ide di dalam kepalanya ke dalam tulisan.
"Apa seperti ini cocok?" gumam Lusi, lagi. Wanita itu akhirnya memutuskan untuk menghubungi ilustrator yang menjadi pilihannya.
Selesai dengan urusan sampul, wanita itu mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan meregangkan otot-otot tubuhnya. Hari ini memang tidak begitu lelah, tapi Lusi merasa sangat mengantuk dan akhirnya tertidur di atas sofa.
***
"Arkan, mengapa kau sangat dingin sekali pada Lusi? Bukankah kau menyukainya?"
Arkan dan Jevon tengah berada di dalam bus. Kedua pria tampan itu memang tidak memiliki kendaraan pribadi. Mereka hanya mahasiswa dengan seluruh biayanya ditanggung oleh beasiswa.
"Kapan aku mengatakan, kalau aku menyukainya?"
"Sudahlah, Arkan... aku mengenalmu lebih dari satu tahun. Aku tahu seperti apa kau menatap Lusi dan seperti apa kau menatap Eflin."
Arkan menaikkan sebelah alisnya sambil melirik Jevon. "Kenapa kau sebut nama Eflin? Apa urusannya dengan kita?"
"Eflin adalah gadis yang sangat menyukaimu. Dia mengejar dirimu setiap hari, dan mencari cara untuk mencuri perhatian darimu. Apa itu masih belum cukup?"
"Memang seperti apa jika aku menatap Eflin?"
Jevon berdeham dan mengubah posisi duduknya. "Tatapan matamu selalu terlihat tajam. Kau juga tidak pernah menatapnya dengan lembut, persis seperti apa yang kau lakukan padahal Lusi."
Arkan hanya tersenyum kecil. Kini ia mulai menyadari, bahwa Jevon adalah teman terdekatnya.
Bus berhenti di sebuah halte di pinggir kota. Kedua pria itu turun dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk berjalan kaki.
"Percepat langkahmu, sebentar lagi akan hujan," ucap Arkan. Langkah pria itu sangat lebar, itu di karenakan kedua kakinya yang panjang mampu menjangkau jarak yang tidak masuk akal.
"Huh, akhirnya sampai juga," ucap Jevon, sembari menghela napas lega. "Eh, toko apa di sebelah perpustakaan kita, Arkan?" Jevon berjalan ke sebuah ruko yang terletak di samping ruko mereka. Pria itu menempelkan wajahnya di jendela untuk melihat apa yang ada di dalam ruko tersebut.
"Menyingkir dari tempatku!"
Tubuh Jevon langsung terperanjat dan berbalik. "Maaf, aku hanya ingin tahu ruko ini akan dijadikan tempat apa."
"Aku akan membuka sebuah kafe di sini. Mengapa? Ada masalah denganmu?"
Jevon menggeleng cepat, "Tentu saja tidak! Kami akan mengucapkan selamat datang padamu. Aku dan temanku adalah pemiliki perpustakaan di samping kafe milikmu."
Wanita yang masih berdiri di hadapan Jevon itu menoleh ke samping. "Sejak kapan ada toko buku di sini?"
"Sudah satu bulan, sebelum kafe mu dibuka," jawab Arkan dan masuk ke dalam toko buku miliknya.
"Eh, kalau begitu aku pergi." Jevon melambaikan tangan dan berlari menyusul Arkan.
"Dua lelaki aneh."
***
"Arkan, kau tahu kalau ruko akan ditempati sebelumnya?"
"Tidak."
Jevon mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. "Sebuah kafe dan perpustakaan. Apa tidak akan berpengaruh kepada para pembaca?"
"Seharusnya tidak. Kecuali jika di kafe itu memiliki sebuah band yang akan bernyanyi sepanjang hari."
"Kau benar, Arkan. Jika terjadi hal seperti itu, pasti para pembaca kami tidak akan betah."
Arkan memberikan satu kardus buku pada Jevon. "Jangan banyak melamun, cepat kerjakan tugasmu."
Jevon mendengkus kesal. Ia segera membawa kardus tersebut dan menatap buku-bukunya ke dalam rak yang sudah disediakan.
"Kau ingin meletakkan semua karya Loucy ini, di tempat yang sama?"
"Ya. Agar menjadi lebih rapi dan tidak berceceran."
"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Arkan. Biasanya kau hanya akan membeli dua puluh buku dengan judul yang sama, namun buku karya Loucy ini, kau bahkan membelinya hingga dua ratus," ucap Jevon sembari menggeleng heran.
"Karena aku yakin, akan ada banyak orang yang tertarik dengan buku itu."
"Seyakin itu? Bukankah buku milik Belania jauh lebih bagus?"
Arkan menyunggingkan senyum miring, membuat Jevon sedikit curiga.
"Kita berbeda gaya, Jevon. Aku lebih senang dengan kisah percintaan yang berakhir bahagia, daripada membaca cerita tentang cara memuaskan seseorang."
Jevon berdiri dan berkacak pinggang. "Kau tidak boleh berkata seperti itu, Arkan. Bagaimana pun juga aku adalah pria normal, aku juga belum memiliki pasangan. Jika membaca buku milik Belania, aku bisa memuaskan diri dengan caraku sendiri."
"Permisi."