Lusi menggeliatkan tubuhnya. Wanita itu membuka mata dan mengerjapkannya beberapa kali. Suara hujan sudah tidak lagi terdengar, ia melirik jam dinding yang berada tidak jauh darinya.
"Sudah jam enam sore. Berapa lama aku tertidur?"
Bersamaan dengan itu, suara pintu kamar Keke terbuka. Lusi mengalihkan perhatiannya dan melihat Keke keluar sembari meregangkan otot-otot tubuhnya.
"Eh, kau juga baru bangun?"
Keke mengangguk pelan dan duduk di dekat Lusi. "Sudah lama aku tidak menikmati tidur siang hingga berjam-jam seperti sekarang, Lusi."
"Aku juga. Setelah mencari orang ilustrator, aku tertidur di atas sofa ini."
Hening. Tidak ada yang membuka suara sedikit pun di antara mereka. Sepertinya kesadaran mereka belum benar-benar terkumpul.
Hingga suara perut Lusi membuat Keke menoleh. "Kau lapar?"
Dengan bibir yang sudah maju beberapa mili meter, Lusi mengangguk. "Kita bahkan melewatkan makan siang. Bagaimana mungkin aku tidak kelaparan?"
Keke terkekeh sambil berdiri. "Segera mandi. Kita makan di luar saja. Tiba-tiba aku ingin memakan beberapa tusuk usus goreng."
Dengan sigap dan cepat Lusi berdiri. "Aku juga ingin!" ia berlari memasuki kamar untuk bersiap.
"Sejak kapan aku tinggal bersama anak kecil?"
***
"Permisi."
Arkan dan Jevon yang tengah berbincang pun menoleh.
"Ada apa?" tanya Jevon sedikit sinis.
"Tidak. Aku hanya memastikan bahwa tempat ini benar-benar sebuah perpustakaan."
Jevon berdecih pelan. Pria itu menghampiri wanita yang datang ke tempat mereka.
"Untuk apa kau memastikan tempat kami, huh? Bukankah sudah jelas, di depan tertulis toko buku dan perpustakaan umum?"
Wanita itu menatap Jevon datar. "Tuan, toko kita bahkan bersebelahan. Tidak bisakah kau sedikit ramah padaku? Aku datang untuk menjalin hubungan antar tetangga. Tidak ada salahnya, bukan?"
"Memang tidak ada. Tapi aku tidak suka dengan caramu menatap tempatku ini. Kau ada masalah dengan perpustakaan?"
Wanita itu tertawa pelan dan melangkah lebih jauh. "Sama sekali tidak ada masalah. Hanya saja aku berpikir, di zaman serba modern seperti sekarang, apa masih ada orang yang membaca buku seperti ini?" tanyanya sembari memegang sebuah novel berjudul Cinta Yang Hilang.
"Ada," jawab Arkan cepat. Ia beranjak dari duduknya, mengambil buku dari tangan wanita yang tidak ia kenali dan kembali menyimpannya. "Jika tidak ada niat untuk membaca, jangan pernah menyentuh barangku," lanjut Arkan dengan tatapan dingin.
Wanita itu tersenyum miring. "Kalian berdua memang sama. Sama-sama tidak menghormati kedatanganku."
Jevon menatap kepergian wanita itu hingga kembali ke bangunan ruko yang ada di samping toko buku mereka.
"Arkan, apa menurutmu wanita itu sedikit tidak waras?"
"Aku tidak tahu. Cepat rapikan semua ini, sudah hampir malam."
***
Setelah menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit di dalam kamar mandi, Lusi kini tengah menyisir rambutnya yang sedikit berantakan.
Ia mengikat rambut panjangnya dengan gaya cepol, sehingga membuat wajahnya terlihat jauh lebih bulat dari biasanya.
"Lusi, ayo!"
Suara teriakan Keke membuat Lusi bergegas. Ia mengoleskan lip tint dengan warna wortel kesukaannya. Setelah dirasa cukup, wanita itu keluar dari kamar dan langsung berhadapan dengan Keke.
"Ayo!"
Kedua wanita lajang itu keluar dari rumah mereka. Lusi memperhatikan pintu rumah Arkan yang tertutup sangat rapat.
"Keke, apa Arkan belum kembali?"
"Sejak kapan kau peduli padanya?"
"Aku tidak peduli. Hanya saja, rumahnya terlihat sepi."
Pintu lift terbuka. Keke menarik tangan Lusi untuk segera masuk. "Lelaki aneh itu, meskipun ia tidak pergi ke mana-mana, rumahnya akan selalu terlihat sepi. Apalagi ia hanya tinggal sendiri."
"Kau benar. Jika dulu aku tidak bertemu denganmu, mungkin aku juga akan tinggal sendiri dan selalu merasa kesepian setiap hari."
"Jika dulu aku tidak bertemu denganmu, mungkin saat ini aku masih di jalanan dengan jalan kehidupan yang tidak jelas."
Lusi dan Keke tertawa hambar. Banyak cerita tentang pertemuan mereka. Keduanya sama-sama memiliki permasalahan yang ditimbulkan oleh orangtua sendiri. Hingga keduanya memutuskan untuk pergi dan memulai kisah hidup yang baru.
Setelah sampai di lantai dasar, mereka berdua menyusuri lobi yang terlihat cukup ramai. Banyak penghuni apartemen yang baru saja kembali.
"Keke, kita akan makan usus goreng di mana?"
"Di ujung jalan sana. Kita hanya cukup berjalan kaki," jawab Keke sambil menunjuk ke arah yang tidak diketahui oleh Lusi.
Wanita itu hanya menurut. Lagi pula, tidak mungkin Keke membawanya ke tempat yang salah. Jika sudah kelaparan seperti ini, selera makan Keke menjadi lebih baik. Jadi, Lusi tidak perlu cemas tentang itu.
"Lusi, apa kau merasa ada yang aneh?"
"Apa?"
Keke melihat sekitar. Banyak sekali orang yang berlalu lalang di jalanan. Apa malam ini?
"Apa malam ini, malam minggu?"
Lusi mengecek ponselnya dan mengangguk lemah. "Lihat mereka semua, bisa-bisanya mereka bergandengan tangan di depanku," ucap Lusi sembari memperhatikan sepasang sejoli yang melewati mereka.
Keke merangkul kedua bahu Lusi. "Sudahlah. Wanita lajang seperti kita tidak pantas merasakan hal seperti itu."
"Kau benar. Menurutmu, kapan kita akan memiliki pacar?"
Keke hanya tertawa pelan dan menariknya masuk ke sebuah warung tenda. "Sudahlah, jangan berpikir tentang hal yang tidak penting. Lebih baik kita nikmati makan malam yang mewah ini."
Lusi baru pertama kali datang ke warung tenda tersebut. "Keke, kita makan di sini?"
Keke hanya menjawab dengan sebuah anggukan. "Pak, kami ingin dua porsi ayam pecel dan beberapa usus goreng."
"Baik, Neng."
Lusi dan Keke mencari kursi kosong untuk ditempati. Berhubung ini adalah malam minggu, maka kedua wanita itu kesulitan mencari tempat yang kosong.
"Lusi!"
Entah dari mana asal suara itu, namun Lusi menoleh dan melihat Jevon yang tengah melambaikan tangan ke arahnya.
Lusi akhirnya menarik tangan Keke untuk menghampiri pria yang usianya jauh lebih muda daripadanya.
"Huh, beruntung kami bertemu denganmu, Jev," ucap Lusi duduk di hadapan Jevon.
"Malam minggu memang selalu penuh. Beruntung aku dan Arkan bisa mendapatkan tempat kosong."
"Arkan? Kau di sini bersamanya?"
Jevon mengangguk cepat. "Ia sedang menerima telepon."
Beberapa menit kemudian Arkan datang. Pria itu duduk di samping Jevon dan berhadapan dengan Keke.
"Siapa yang menelepon?" tanya Jevon.
"Tuan Ratu."
Tuan ratu? Lusi diam-diam memikirkan siapa tuan ratu yang Arkan maksud. Apa itu adalah kekasihnya?
"Permisi, dua porsi ayam pecel."
Suara seorang bapak tua menyadarkan Lusi. Wanita itu menyingkirkan tangannya yang sedari tadi ia letakkan di atas meja.
"Terima kasih," ucapnya ramah.
"Kalian berdua sering makan di sini?"
"Tidak. Aku dan Lusi hanya bosan memakan makanan pesan antar. Jadi kami keluar, sekalian mencari udara malam," jawab Keke.
"Apa kalian tidak memiliki pasangan?"
Kompak Lusi dan Keke menggeleng pelan. Membuat Arkan sedikit mengangkat sudut bibirnya.
"Kalian berdua, apa tidak memiliki pasangan?"
Belum sempat mereka menjawab, ponsel Arkan berbunyi pertanda sebuah pesan yang masuk. Samar-samar Lusi melihat nama yang tertera di layar ponsel pria itu.
'Tuan Ratu.'