Tidak mudah menjadi seorang pendatang yang hidup di kota besar dan hanya mengandalkan uang yang dikirim dari orangtua.
Arkan mendapat telepon malam ini, bahwa kedua orangtuanya akan libur mengiriminya uang bulanan. Atau lebih tepatnya akan ada sedikit keterlambatan.
Namun pria itu sebenarnya tidak masalah. Lagi pula selama ini ia hidup dari uang hasil lomba yang beberapa kali ia ikuti.
"Lalu, bagaimana dengan kehidupanmu selanjutnya?"
"Bagaimana seperti apa yang kau maksud?"
Jevon mengubah posisi duduknya dan menopang kaki kiri di atas kaki kanannya. "Kau benar-benar tidak ingin membutuhkan bantuanku?"
"Tidak. Aku masih memiliki sedikit tabungan. Apa kau lupa, jika aku sering mengikuti lomba yang diadakan kampus?"
Jevon berdeham sembari sedikit menipiskan bibir. Ia terlalu lupa, bahwa pria yang ada di hadapannya saat ini adalah maskot, atau mahasiswa yang selalu diandalkan oleh kampus.
"Memangnya, ada apa dengan orangtuamu?"
"Bisnis mereka sedang dilanda beberapa masalah. Aku sebenarnya sangat ingin membantu, tapi orang sepertiku bisa apa?"
"Sudahlah Arkan, kau jangan berpikir berlebihan. Cukup memaklumi keadaan orangtuamu untuk saat ini."
Arkan mengangguk pelan. Meskipun Jevon terkadang bersikap menyebalkan, namun harus ia akui bahwa pria itu memiliki rasa empati yang tinggi.
Pertama kali Arkan datang di Kota Bandung memang terasa berat. Ia yang tidak terbiasa berbaur dengan orang, harus tinggal di asrama yang diisi oleh empat orang lebih.
Namun Arkan hanya bisa bertahan dalam satu tahun dan ia membeli apartemen untuk tempat tinggal pribadinya. Sedangkan Jevon, pria itu lebih memilih untuk tetap tinggal di asrama bersama dengan dua teman lainnya.
"Bagaimana tentang hubunganmu dengan Lusi?"
Alis mata bagian kanan Arkan terangkat sebelah. "Memangnya ada hubungan apa di antara kami?"
"Bukankah kau menyukainya?"
Arkan tersenyum kecil dan beranjak dari duduknya. Pria itu melangkah ke arah rak buku dan mengambil sebuah benda yang paling ia sukai.
"Aku hanya menyukai Loucy," ucap Arkan. Kedua matanya menatap buku Cinta Yang Hilang dengan sorot mata yang tulus dan seperti tengah merasakan sebuah kerinduan.
"Untuk apa kau menyukai gadis, yang bahkan wajahnya sendiri belum pernah kau lihat?"
"Aku pernah melihatnya."
Jevon terperangah. Ia segera beranjak dan berdiri di hadapan Arkan agar bisa mendengar ucapan pria itu dengan lebih seksama.
"Kau pernah bertemu dengan Loucy? Penulis yang kau kagumi itu?"
"Hm. Bagaimana? Apa aku sudah bisa dikatakan pria terhebat?"
Jevon menggeleng tidak percaya. "Aku masih tidak percaya. Mungkin saja kau tengah bermimpi dan semua itu terasa nyata di matamu."
"Sudahlah. Percuma aku mengatakan yang sebenarnya padamu, jika kau sendiri tidak pernah memercayaiku."
"Bukan aku tidak memercayaimu, Arkan. Hanya saja, kau sedikit kurang meyakinkan. Dan mengapa aku tidak tahu, jika kau pernah menemui Loucy?"
Arkan hanya tersenyum tipis, sangat tipis. Pertemuannya dengan Loucy memang sangat tidak terduga. Siapa sangka, jika takdir mempertemukan mereka dengan cara yang diluar batas nalar.
Sampai detik ini pun, Arkan masih belum percaya jika Loucy adalah Lusi. Semuanya terasa seperti ketidakmungkinan. Jarak mereka ternyata sangat begitu dekat, hanya membutuhkan waktu beberapa detik agar bisa bertemu.
"Kau tidak ingin menunjukkan padaku, seperti apa wajah Loucy yang asli?"
Arkan menggelengkan kepala perlahan. "Nanti kau akan tahu sendiri, siapa dia. Aku hanya tidak ingin menyebarkan informasi pribadinya kepada siapa pun."
***
Jarum jam bergerak dengan sangat cepat. Hari semakin berganti dan kini Arkan sudah bersiap untuk memenuhi kewajibannya sebagai mahasiswa.
Dengan hoodie berwarna hitam dan celana jeans abu, Arkan membuka pintu rumahnya. Penampilan Arkan terlihat sangat kasual namun tetap maskulin, seperti para pria tampan pada umumnya.
Wajahnya yang tampan sangat nyaman untuk dilihat. Bahkan kulit tubuh Arkan sangat berbeda dengan pria lainnya. Arkan memiliki bibir yang sangat tipis dengan warna kemerahan, itu semua karena ia rajin merawat bibir dan menggunakan perawatan wajah.
Dengan ketampanannya yang hampir paripurna, Arkan banyak dikagumi oleh banyak wanita. Apalagi di kampus, pria itu hampir tidak bisa belajar dengan nyaman jika ada banyak wanita yang menghampiri dan memberinya beberapa cokelat dan bunga.
Pria itu menoleh ke samping, ketika mendengar suara pintu rumah terbuka. Dua orang wanita keluar dari rumah yang berada di depan Arkan. Mereka adalah Lusi dan Keke. Gadis yang beberapa hari ini membuat pikirannya sedikit membuncah.
"Pagi," ucap Keke ramah, tidak seperti biasanya.
Arkan hanya mengangguk dengan sopan. "Pagi-pagi sekali, ada pekerjaan?"
"Iya. Ada beberapa pekerjaan yang harus kami selesaikan."
Arkan melirik ke samping Keke. Seorang wanita dengan rambut terurai itu hanya terdiam. Jika biasanya Lusi lah yang lebih akrab dengannya, kini justru Keke yang menjadi juru bicara.
Pintu lift terbuka, mereka bertiga masuk dan Arkan mewakilkan menekan tombol yang akan membawa mereka ke lantai dasar.
Suasana di dalam lift terasa hening. Tidak ada satu pun yang mengeluarkan suara atau memulai percakapan.
Keke mengusap tengkuknya. Wanita itu merasa ada yang salah dengan dua orang di sampingnya. Arkan dan Lusi saling terdiam, padahal setengah jam yang lalu Lusi sangat berharap bisa bertemu dengan Arkan.
"Em... kau pergi ke kampus sepagi ini?" tanya Keke, berusaha memecah keheningan.
"Aku harus mengejar bus. Jika tidak, maka akan sedikit terlambat sampai di kampus."
"Arkan, apa kau tidak memiliki kekasih?"
"Hah?"
Lusi menarik ujung baju Keke beberapa kali. Memberinya sebuah isyarat agar tidak bertindak secara impulsif.
"Oh, maksudku... apa kau tidak memiliki orang yang disuka?"
"Ada," jawab Arkan dengan begitu mudah.
"Siapa?"
Arkan terdiam beberapa saat hingga pintu lift terbuka. Pria itu melihat Lusi yang tengah menarik lengan Keke dan membawanya jauh dari sana.
Diam-diam ia tersenyum. Kelakuan Lusi sangat persis seperti bocah yang sedang tertangkap basah setelah mengungkapkan isi hatinya.
Melihat Lusi dan Keke yang sudah semakin menjauh dan berjalan ke arah yang berbeda dengannya, Arkan juga berjalan ke arah halte tempat biasa ia menunggu bus yang akan membawanya ke kampus.
Hanya membutuhkan waktu lima menit, bus tersebut sudah berhenti di depan wajahnya. Pria itu menaiki kendaraan umum tersebut dan duduk sambil membaca buku karya Loucy yang sangat ia kagumi.
Jika sebuah cinta terasa menyakitkan untukmu, maka kau tidak harus menjadi orang bodoh yang harus mengejarnya.
Namun, jika kau merasa bahwa cinta itu sangat indah, maka kejarlah orang yang dapat memberimu rasa cinta seperti itu.
Arkan membaca beberapa kutipan yang ada di dalam novel tersebut. Perasaannya selalu menghangat ketika berada di dekat Lusi. Bahkan wajah wanita itu kini memenuhi sebagian dari isi kepalanya.
Memang terdengar sangat konyol, tapi Arkan bisa apa? Seolah hati dan pikirannya bergerak tanpa interupsi.
Arkan kembali memandangi buku tersebut. Ia mengusap sampul buku berwarna putih dengan gambar seorang wanita yang tengah menggenggam tangan seseorang yang tidak terlihat.
"Apa tidak sedikit mustahil, jika aku mencintaimu?"