Chereads / Loucy Looking For Love / Chapter 16 - Bentuk Cinta

Chapter 16 - Bentuk Cinta

"Itu bukannya Arkan?" Keke menoleh pada Lusi, hingga wanita itu mengangguk.

"Dia memang Arkan. Keke, menurutmu apa mereka memiliki hubungan?"

"Aku tidak tahu. Tapi, mereka sepertinya berteman."

Lusi masih terus memperhatikan Arkan yang tengah berbincang dengan temannya. Jika melihat dari ekspresi wajah Arkan, sepertinya mereka hanya sekadar teman biasa. Lagi pula Arkan terlihat seperti laki-laki normal.

"Lho, Dave, ada barang yang tertinggal?" tanya Lusi, ketika melihat Dave duduk di sampingnya.

"Sepertinya aku tidak akan pergi. Tiba-tiba saja orang tersebut membatalkan pertemuan kami."

"Dave, selain membuka kafe ini, apa kau memiliki usaha lain?"

"Tidak. Membuka kafe kopi adalah impianku. Setelah kafe ini sukses, aku akan membuka cabang di tempat lain."

"Kau memang memiliki jiwa bisnis yang besar, Dave," puji Keke. Wanita itu menemukan sosok lelaki sempurna di dalam diri Dave. Sudah tampan, pintar berbisnis.

"Kau terlalu berlebihan, Keke. Aku hanya melakukan apa yang aku suka. Tidak peduli seberapa banyak orang yang menentang."

"Kau benar, Dave. Aku juga memiliki kisah yang sama denganmu. Sampai saat ini, orangtuaku tidak pernah setuju dengan pekerjaan yang aku miliki saat ini."

"Orangtuamu tidak setuju, dengan pekerjaan asisten akuntan?"

Wajah Lusi sedikit berubah. Ia lupa, kalau Dave tidak mengetahui pekerjaannya. Ia melirik Keke, wanita itu sudah menaikkan sebelah alisnya sembari menatap Lusi seolah bertanya.

"E-eh, iya. Orangtuaku tidak suka jika aku bekerja di bidang ini."

Dave menganggukkan kepala berkali-kali. Sepertinya pria itu percaya dengan kebohongan yang Lusi ciptakan.

"Kukira, hanya aku yang berani mengambil jalan sendiri tanpa memedulikan orang lain di sekitar, termasuk orangtua."

"Di dalam hidup ini, selalu ada dua pilihan. Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk menyakiti kedua orangtuaku, hanya saja aku tidak ingin diatur. Mereka sangat menginginkan aku bekerja di sebuah pabrik, tapi aku tidak menyukai pekerjaan itu."

"Lalu, kau kuliah dan pergi ke sini?"

Lusi mengangguk. Tapi tidak membenarkan keduanya. Wanita itu hanya membenarkan tebakan Dave tentang ia pergi ke Bandung dan memulai kehidupan baru.

"Kalian berdua lanjut mengobrol, aku ingin ke kamar mandi." Lusi beranjak dari duduknya. Setelah menghabiskan secangkir kopi vanila, tiba-tiba kandung kemihnya memberontak dan merasa tidak nyaman.

Wanita itu meninggalkan meja dan pergi ke arah belakang, mencari kamar mandi khusus wanita.

"Apa ini jalannya?" gumam Lusi. Ia berbelok ke arah kanan. Namun tubuhnya seketika terperanjat, ketika mendapati seseorang yang sangat ia kenal.

"Arkan? Sedang apa kau di sini?"

***

"Arkan, sepertinya wanita yang kau sukai itu memiliki selera yang bagus pada kopi. Lihat saja, ia memesan kopi vanila yang rasanya manis dan sangat cocok untuk dinikmati para gadis."

Arkan tidak menggubris ucapan Jevon sedikit pun. Pria itu masih memperhatikan Lusi yang tengah berbincang dengan pria si pemilik kafe.

Obrolan mereka sepertinya sangat asyik untuk disimak. Terlihat dari raut wajah Lusi yang sering berubah-ubah.

"Arkan!"

Arkan berdecak kesal. Jevon memukul bahunya sangat keras. "Kau!" pekik Arkan tertahan.

"Huh, syukurlah. Kukira kau kerasukan hantu kampus yang beredar luas di seluruh mahasiswa."

"Sudah berapa usiamu, huh? Ini sudah tahun berapa, Jevon? Kau masih saja percaya dengan hal seperti itu," ucap Arkan terkekeh pelan.

"Aku bukannya percaya. Hanya saja, yang dikatakan oleh beberapa mahasiswa teknik sepertinya benar. Mereka sering melihat sosok wanita berambut panjang di dalam gedung praktik. Siapa lagi kalau bukan...."

"Sudahlah, aku ingin ke kamar mandi. Terlalu bosan mendengar ucapanmu." Arkan berdiri dan mengibaskan pakaiannya. Pria itu beranjak setelah melihat Lusi yang sepertinya hendak pergi ke toilet.

Sebenarnya Arkan juga tidak tahu, apa yang ia lakukan saat ini. Pria itu hanya ingin sedikit berbincang dan bertanya beberapa hal pada Lusi.

Bentuk kakinya yang panjang, membuat Arkan tiba lebih dulu di lorong kamar mandi. Sembari menunggu kedatangan Lusi, pria itu memainkan ponsel dan memutar lagu dengan sebuah alat pendengar di telinga kanannya.

Sayup-sayup ia mendengar suara langkah kaki seseorang. Arkan tersenyum simpul, ia sudah mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan Lusi.

"Arkan? Sedang apa kau di sini?"

Arkan memasukkan ponselnya ke dalam saku hoodie. Pria itu berdiri di hadapan Lusi dan menatap wanita cantik itu sambil tersenyum.

"Arkan?" tanya Lusi memiringkan wajah.

Oh, Tuhan... wajah Lusi membuat Arkan menggeram gemas. Bentuknya yang bulat, bak bulan yang bersinar dengan bola mata dengan bentuk yang sama.

Arkan berdeham. Ia sedikit memundurkan langkahnya.

"Tidak. Kau hendak pergi ke kamar mandi?"

Lusi mengangguk dan masih menatap Arkan curiga. Mengapa mereka bisa bertemu secara kebetulan seperti ini?

"O-oh, silakan." Arkan melangkah ke samping, memberi jalan pada Lusi yang sudah berlalu melewati tubuhnya.

Pria itu masih menatap punggung Lusi yang hilang di balik pintu kamar mandi wanita. Ia terkekeh pelan dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Oh, tidak. Apa yang terjadi pada Arkan? Pria itu menggeleng pelan dan meninggalkan tempat itu. Ia harus bisa mengontrol diri dan tidak boleh jatuh cinta pada Lusi. Apalagi Arkan tidak tahu, asal usul dan pekerjaan wanita itu seperti apa.

"Huh... aku sudah selesai makan, dan kau baru kembali."

Arkan kembali duduk di kursinya, melirik piring makanan yang sudah bersih dan hanya tinggal dicuci.

"Sudah selesai, bukan? Ayo kembali!"

"Eh, tunggu! Aku masih ada urusan denganmu, Arkan."

"Katakan. Aku hanya memiliki waktu dua puluh menit lagi."

Jevon menarik kursi dan merapatkan tubuhnya dengan meja. Bermaksud agar lebih dekat dengan Arkan.

"Bagaimana dengan pertanyaanku tadi?"

"Pertanyaan yang mana?" tanya Arkan menaikkan sebelah alisnya. Wajahnya masih terlihat datar, tidak menampilkan ekspresi apa-apa.

"Pertanyaanku tentang Fahira, Arkan. Gadis itu mengatur rencana untuk bertemu denganku. Tapi, bagaimana caraku menolaknya?"

"Katakan saja tidak bisa, apa susahnya?"

Jevon mengacak rambutnya sendiri. Terkadang ia malas meminta pendapat pada Arkan. Namun hanya pria itu yang bisa ia andalkan. Meski terkadang menyebalkan, tapi ia harus mengakui kalau Arkan adalah teman terbaik dalam hidupnya.

"Tidak semudah itu, Arkan. Gadis itu pasti akan merajuk dan tidak memberiku kabar selama dua hari dua malam."

Arkan menghela napas lelah. Ia sangat tidak mengerti dengan cara berpikir Jevon. Pria itu memanfaatkan banyak gadis hanya untuk kesenangan dirinya sendiri.

"Kau bilang tidak ingin pergi, harusnya kau senang ketika ia tidak memberimu kabar."

"Ya, aku memang senang. Tapi Fahira adalah gadis yang paling royal membelikanku barang-barang dengan brand internasional."

Perhatian Arkan tercuri pada Lusi dan Keke yang hendak meninggalkan kafe. Pria itu memperhatikan keduanya hingga menghilang di balik pintu utama.

"Arkan, kau mengabaikanku?"

"Tidak," jawab Arkan cepat. "Jika kau tidak ingin kehilangan gadis yang paling berharga, maka temuilah dia. Lagi pula, pertemuan kalian pasti menguntungkan. Kau bisa makan malam gratis."

Jevon menyunggingkan senyum lebar. Apa yang Arkan katakan memang benar. Apalagi Fahira sangat tergila-gila padanya.

"Kau ben----"

Belum sempat Jevon menyelesaikan ucapannya, Arkan sudah beranjak dan meninggalkan dirinya tanpa berniat untuk membayar.

"Oke. Tidak masalah. Hari ini aku akan berbaik hati padamu."