Chereads / Loucy Looking For Love / Chapter 11 - Back To Work

Chapter 11 - Back To Work

Setelah beristirahat beberapa hari, kini Lusi mulai kembali dengan rutinitasnya. Yaitu duduk di depan laptop. Wanita itu sudah tidak memiliki banyak waktu untuk bersantai.

Arman, selaku editor yang bertanggung jawab dengan naskahnya telah memberi peringatan pada Lusi, agar ia dapat menyelesaikan revisi ketiga secepat mungkin.

"Lusi, kau tidak ingin ikut denganku?" tanya Keke yang sudah siap dengan setelan blazzer berwarna abu dan celana bahan yang senada. Wanita itu terlihat formal, karena ia akan menghadiri satu acara yang sebenarnya ditujukan untuk Lusi.

"Tidak, Keke. Aku sudah tidak memiliki waktu untuk bersantai. Naskah ini harus segera selesai, dan pencarian jodohku harus segera dimulai."

Keke meringis pelan. Ia pikir Lusi sudah tidak ingat dengan niatnya untuk mencari pasangan.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi dan segera kembali, untuk memberitahumu informasi apa yang kudapat."

"Pergilah."

Keke menghampiri Lusi dan menyentuh puncak kepalanya. "Jangan terlalu lelah, Lusi."

"Kau berisik sekali."

Keke memutar bola matanya pelan. Ia akhirnya pergi meninggalkan Lusi yang masih fokus dengan tulisannya sendiri.

Wanita itu tidak lagi mendengar suara Keke. Ia melihat sekeliling, dan Keke sudah tidak ada.

Lusi menghela napas berat sembari meregangkan otot-otot tubuhnya. Sudah hampir tiga jam ia berada di sana, membaca naskah dan memberi sedikit sentuhan agar menjadi lebih sempurna.

Ia beranjak dari duduknya untuk mengambil segelas air. Tenggorokannya sudah mulai kering. Awalnya Lusi mengira, pekerjaan seperti ini tidak membutuhkan beban yang banyak.

Namun setelah bekerja selama tiga tahun, yang Lusi rasakan adalah kurangnya waktu istirahat. Tapi ia senang melakukan semuanya. Memiliki pekerjaan dengan kemampuan yang ia miliki, adalah kebanggaan tersendiri bagi siapa pun.

Ponselnya berdering keras, Lusi segera berlari dan meraih ponsel tersebut.

"Halo."

"Lusi, bagaimana revisi selanjutnya?"

"Sedang saya laksanakan, Mas. Tenang saja, sebelum waktunya tiba saya pastikan naskahnya sudah siap."

"Oke. Kalau begitu, minggu depan kita bertemu di tempat biasa."

"Baik, Mas."

Lusi meletakkan kembali ponselnya. Sebenarnya tidak ada yang sulit, ketika dijalankan dengan sepenuh hati. Hanya saja, Lusi merasa butuh istirahat saat ini.

Tidak. Tidak bisa. Ia kembali duduk di depan komputer kecil yang selalu menjadi teman dalam pekerjaannya. Wanita itu kembali melanjutkan pekerjaan seperti biasa, dan akan memakan waktu berjam-jam.

***

Arkan baru saja selesai membersihkan diri. Lelaki itu kini tengah menatap wajahnya di cermin.

Tubuhnya yang atletis, membuat para gadis yang melihatnya akan memekik tertahan. Arkan adalah idola kampus yang terkenal dengan sikapnya yang dingin.

Aura wajah yang mencekam, membuat orang-orang harus berpikir dua kali untuk menegurnya. Namun dibalik semua itu, ia memiliki sifat baik hati dan tidak pemilih.

Ia akan bergaul dengan siapa saja, selagi orang itu bisa membuatnya nyaman dan tidak menyusahkan.

Lelaki itu meraih tas punggung yang menggantung di balik pintu kamar, ia segera melangkah keluar sebelum Jevon menelepon dan berteriak memintanya agar segera datang.

Ketika pintu terbuka, Arkan menoleh ke arah rumah Lusi yang juga menampilkan seorang wanita. Jika tidak salah ingat, wanita itu adalah teman Lusi yang kemarin melihat drama yang terjadi antara ia dengan Jevon.

Arkan mengangguk pelan, menyapa wanita tersebut yang dibalas dengan anggukkan kepala juga.

Keduanya memasuki lift yang sama. Tidak ada yang mengeluarkan suara satu pun. Apalagi Keke, wanita itu sangat malas berurusan dengan orang asing.

"Kau hanya sendiri?" Arkan akhirnya membuka suara, ketika mereka akan sampai di lantai satu.

"Ya. Kenapa?"

"Tidak."

Pintu lift terbuka. Bersamaan dengan ponsel Keke yang berdering. "Ya. Lusi tidak hadir hari ini, biar aku saja yang mewakili."

Sayup-sayup Arkan mendengar apa yang dikatakan wanita itu. Lusi tidak bisa hadir? Apa wanita itu bekerja?

Jika dilihat dari penampilan teman Lusi, sepertinya mereka adalah pekerja kantoran. Namun anehnya, Arkan bahkan tidak pernah melihat Lusi mengenakan kemeja seperti wanita yang sudah menghilang di balik pintu.

"Sudahlah. Untuk apa aku memikirkan mereka," gumam Arkan dan kembali pada tujuannya.

Hanya memerlukan waktu dua puluh menit, Arkan telah sampai di depan gedung universitasnya. Lelaki itu memasuki gedung tersebut dan siap untuk mengikuti kelas Sastra.

"Arkan!"

Arkan menghentikan langkahnya dan berbalik. Benar saja, Jevon datang dan menghampirinya.

"Kau terlihat tampan sekali hari ini. Apa terjadi hal yang baik?" tanya Jevon, mulai melayangkan rayuan mautnya.

"Jangan banyak membual. Aku tidak ingin mengurusimu hari ini."

"Kak, Arkan."

Langkah Arkan harus kembali tertahan. Ketika seorang gadis yang merupakan adik tingkat menghampiri mereka.

"Kau memanggilku?" tanya Arkan pada gadis itu.

"Iya. Tidak mungkin aku memanggil Kak Jevon."

Jevon hanya memutar bola matanya jengah. Gadis belia yang ada di depannya saat ini adalah gadis yang sangat menyukai Arkan. Ia tidak pernah lelah dan selalu berusaha untuk mendapatkan hati Arkan.

"Ada apa? Aku harus segera mengikuti kelas."

"Aku ada sesuatu untukmu." Gadis itu memberikan sepucuk surat berwarna biru langit yang tidak terlalu cerah.

Jevon menggeleng takjub. Gadis itu sungguh berani mendekati Arkan bahkan sampai memberinya surat cinta.

"Apa ini?"

"Bacalah. Aku menyiapkan ini semalaman."

"Eflin, untuk apa kau memberi surat pada Arkan?" tanya Jevon menyela.

"Memangnya kenapa? Kau tidak usah ikut campur!"

Gadis bernama Eflin itu pergi begitu saja. Arkan memperhatikan surat yang ada di tangannya, kemudian membuangnya ke tempat sampah.

"Arkan, kau membuangnya?" tanya Jevon histeris. Ia tidak menyangka, jika Arkan sekejam itu.

"Aku tidak membutuhkan surat itu. Lagi pula, untuk apa aku membacanya? Mungkin isinya hanya rangkaian kata yang berusaha menyanjungku."

Jevon menggaruk kepalanya bingung. Padahal Eflin sepertinya berasal dari kalangan orang kaya. Terlihat dari seluruh benda yang melekat di tubuhnya, memiliki merek terkenal.

Andai saja lelaki yang disukai Eflin itu adalah Jevon. Mungkin lelaki itu akan hidup dengan tenang.

Keduanya sudah berada di dalam kelas dan duduk bersampingan. Kelas akan menjadi penuh, jika Arkan duduk di tengah-tengah mereka. Semua gadis di universitas itu sangat memuja Arkan.

Bahkan ada banyak gadis yang mengambil foto Arkan secara terang-terangan. Membuat Jevon menggeleng tidak percaya.

"Arkan, apa kau tidak tertarik dengan semua wanita di kelas ini?"

"Tidak," jawab Arkan singkat.

"Tapi lihatlah, mereka semua sangat mengagumimu. Tatapan mereka seolah ingin segera membuat anak denganmu."

Arkan menoleh ke samping. Menatap Jevon dengan aura membunuh. "Dasar kotor!" cibirnya pelan.

Jevon mencebikkan bibirnya pelan. "Dasar manusia tidak normal."

***

Lusi menutup laptopnya setelah semuanya selesai. Wanita itu menyandarkan punggung hingga kepalanya mendongak.

"Akhirnya selesai juga. Aku akan membuka aplikasi untuk menyapa seluruh pembaca, yang mungkin sudah menantikan buku terbaru."

Lusi membuka aplikasi tempat ia mengunggah seluruh ceritanya. Masih tetap sama, akan ada banyak pemberitahuan di setiap harinya.

Arkhrvy : "Halo, Loucy. Apakah harimu menyenangkan?"