Chereads / Loucy Looking For Love / Chapter 12 - Perjamuan Literasi

Chapter 12 - Perjamuan Literasi

Sebuah gedung mewah di tengah kota, telah dipadati oleh para pengunjung yang akan mengikuti perjamuan pertemuan orang-orang yang bekerja dalam dunia literasi.

Keke masih berdiri di depan gedung tersebut. Kedua kakinya seolah enggan untuk masuk dan bertemu dengan banyak orang.

Jika bukan karena menghormati dan menjaga nama baik Lusi, mungkin ia tengah berada di kafe dan menikmati secangkir kopi latte hari ini.

Keke menghela napas berat. "Baiklah, Keke. Temui saja mereka. Setelah itu kau pulang."

Setelah mempertimbangkan semuanya, Keke akhirnya memutuskan untuk memasuki gedung tersebut.

Suasana terlihat ramai. Tentu saja yang hadir adalah orang-orang yang bekerja di bidang kepenulisan. Namun Keke sedikit bingung, karena ia tidak terlalu mengenal semuanya.

Wanita itu berjalan ke tengah dan mengambil minuman yang sudah disediakan oleh si pemilik acara. Dengan alunan musik klasik yang mengalun, Keke mulai merasa sedikit tenang dan nyaman.

"Hai, Keke!"

Keke menoleh ke samping. Seorang wanita dengan dress berwarna hitam sudah berdiri di sampingnya. Wanita terlihat sangat mencolok di antara yang lain.

Oh, tidak. Bukan karena wajahnya yang cantik. Namun taburan bedak di wajahnya sudah melebihi kapasitas yang seharusnya.

"Hai, Belania," sahut Keke kembali menyapa.

"Mana, Lusi?" wanita bernama Belania itu mengedarkan pandangan, mencari sosok Lusi yang selalu ia anggap sebagai pesaing.

"Lusi tidak datang. Aku yang mewakilkannya."

Bela berdecih pelan. "Mengapa dia tidak datang, huh? Apa dia takut bertemu denganku? Karena ternyata akulah yang mendapat kontrak dengan Eco Publisher?"

Keke tertawa pelan sembari menutup mulutnya. "Kau jangan salah paham, Bela. Lusi bukan orang pendendam sepertimu. Dia sedang sibuk saat ini."

"Sibuk? Apa yang ia kerjakan? Oh, aku tahu. Lusi pasti sedang bekerja keras, agar bukunya mendapat penerbit, kan?"

Bela kembali tersenyum sinis. Entah sudah berapa kali wanita itu meremehkan Lusi.

"Tidak. Lusi tengah sibuk dengan revisi. Oh, iya, bukunya akan terbit beberapa bulan lagi. Jika kau ingin, kami bisa memberinya secara gratis."

Keke pergi meninggalkan Bela yang terlihat marah. Wanita itu memang sangat tidak menyukai Lusi. Selain karena wajah Lusi yang cantik, karyanya juga selalu mendapat pujian dari banyak orang.

Eco Publisher. Bulan lalu karya Lusi ditolak mentah-mentah oleh pihak penerbit, dan Bela berada di barisan pertama orang yang menertawai Lusi.

Itu karena, Eco Publisher terkenal sebagai penerbit yang kompeten. Sangat tidak mudah untuk mendapat kontrak dengan mereka.

Namun posisinya masih di bawah Creatif Publisher. Penerbit nomor satu yang menjadi incaran semua penulis. Jika diurutkan, Eco Publisher berada di posisi kedua setelahnya.

Keke menggeleng heran, di saat seperti ini ia harus bertemu dengan Bela. Untung saja Lusi memilih tidak ikut. Jika wanita itu berada di sini, pasti amarahnya akan meledak.

"Keke!"

Wanita itu kembali menoleh ke belakang. Kedua matanya memicing ketika melihat seorang pria datang menghampirinya.

"Kau siapa?" tanya Keke, bingung.

"Aku Arman. Editor Creatif Publisher."

Astaga! Keke menepuk dahinya pelan. Ia sampai lupa, jika pria itu adalah Arman.

"Mas, Arman. Maaf, sepertinya saya sedikit lupa," ucap Keke sembari menundukkan setengah badannya.

"Tidak apa-apa, Keke. Kau jangan terlalu formal, ini adalah acara perjamuan, bukan sedang bekerja."

"Oke, baiklah. Aku setuju denganmu." Keke tertawa pelan. Akhirnya ia menemukan orang yang tidak menyebalkan seperti Bela.

"Lusi? Dia tidak datang?"

"Ah, tidak. Lusi masih sibuk dengan revisinya. Lagi pula, ia tidak akan menyukai tempat ramai seperti ini."

"Lusi memang sangat bekerja keras. Gadis kecil itu selalu ingin melakukan yang terbaik," ucap Arman tersenyum singkat.

"Lusi akan marah, jika mendengar kau menyebutnya gadis kecil."

Mereka tergelak dengan sangat akrab. Mengundang Bela yang saat ini sudah berada di hadapan mereka berdua.

"Mas, Arman," sapa Bela sembari mengecup kedua pipi Arman bergantian.

"Hai, Bela. Kau semakin terlihat cantik!"

Keke mencebikkan bibirnya pelan, dan menyesap minuman di tangannya.

"Mas Arman terlalu merayu. Oh iya, kapan kalian akan melirik naskahku? Apa masih kurang memuaskan?"

Sepertinya Bela akan mengeluarkan jurus andalan. Yaitu merayu Arman. Lihat saja saat ini, wanita itu sudah memeluk lengan Arman dan bermanja di bahunya.

Keke hampir saja muntah melihat kelakuan Bela, tidak ada bedanya dengan semua buku yang ia tulis.

Ya. Belania adalah penulis dengan label dua puluh satu plus. Wanita yang belum menikah itu sangat menikmati fantasinya. Keke terkadang merasa bingung, dari mana ia mendapat pengalaman?

Sudahlah. Keke tidak ingin bergosip dengan masalah orang lain. Yang terpenting, Lusi sudah berhasil menggaet Creatif Publisher.

"Maaf, Bela. Aku tidak memegang bagian rekrutmen, aku hanya seorang editor," jawab Arman dengan sopan.

"Baiklah. Sepertinya aku harus mengirimkan kembali semua naskah yang aku miliki. Kau sedang memegang naskah milik siapa, saat ini?"

"Lusi. Aku sedang memegang naskah milik Lusi yang akan segera terbit bulan depan."

Ekspresi wajah Bela berubah terkejut. Keke terkekeh pelan menyaksikan Bela yang terkejut dengan kedua mata terbuka lebar.

"A-apa? Kau tengah mengurusi naskah milik Lusi?"

"Ya. Sudah hampir beberapa minggu."

"Bagaimana bisa, Arman? Karya Lusi bahkan ditolak oleh Eco Publisher." Bela masih menentang dan mengeluarkan semua keburukan Lusi.

"Menurutku naskah milik Lusi tidak buruk, Bela. Wanita itu memiliki potensi yang luar biasa. Dia bisa mengembangkan cerita dengan jelas dan runtut. Semua kepala di perusahaan kami sangat dengan semua tulisan Lusi."

Bela menoleh pada Keke yang tengah menyesap minumannya.

"Kenapa?" tanya Keke. Bela hanya mendengkus kesal dan pergi meninggalkan mereka, membuat Keke berdecih.

"Keke, apa dia selalu seperti itu?"

***

Hari sudah semakin sore. Keke tidak ingin berlama-lama di sana, karena acara semakin tidak karuan.

Apalagi Bela, wanita itu selalu saja mengganggunya. Padahal jelas-jelas Arman sudah mengatakan, bahwa Lusi telah menandatangani kontrak dengan pihak mereka.

"Mas Arman, maaf telah merepotkanmu."

"Tidak apa-apa, Keke. Kau masuklah, dan sampaikan salamku pada Lusi."

Keke mengangguk dan keluar dari mobil mewah milik Arman. Wanita itu melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam gedung apartemen.

Keke baru saja memasuki lift dan menunggu pintunya kembali tertutup. Namun ketika pintu lift hendak tertutup, seorang pria tiba-tiba menghalau pintu tersebut dengan tangannya, membuat Keke sedikit terkejut.

"Kau adalah...."

"Aku Arkan, tetangga kalian," ucap seorang pria yang kini sudah berdiri di samping Keke.

"Aku Keke. Teman satu rumah, sekaligus manager Lusi."

Manager? Arkan terdiam. Apa pekerjaan Lusi, sebenarnya? Kenapa wanita itu membutuhkan seorang manager?

"Manager? Apa pekerjaan Lusi?" tanya Arkan memberanikan diri.

Keke mengatupkan bibirnya. Bodoh sekali! Padahal Lusi sudah mengatakan sebelumnya, bahwa tidak boleh ada orang lain yang tahu kalau ia seorang penulis.

"Eh... Lusi hanyalah seorang pekerja kantoran," jawab Keke sedikit gugup.

"Oh, ya? Tapi mengapa aku tidak pernah melihatnya bekerja?"