Rian yang sudah bosan terus berada di apartemen, memilih untuk berjalan-jalan ke luar sebentar. Meskipun perasaan takut kalau tiba-tiba bertemu Almira begitu besar di hatinya, tapi Rian juga jengah kalau harus terus mendengar ocehan dari Livia.
Dengan menggunakan taksi, laki-laki itu memutuskan untuk mengunjungi sebuah danau buatan. Di sanalah Rian selalu menyendiri jika sedang banyak masalah seperti saat ini. Keindahan dan hawa yang begitu sejuk, membuat pikiran menjadi lebih tenang. Itu yang membuat Rian betah menghabiskan waktunya di tempat seperti itu.
Sampai di tempat tujuan, Rian memilih duduk di bangku yang berada di bawah sebuah pohon besar.
Pikirannya menerawang jauh, mengingat masa-masa indahnya ketika merajut kasih bersama Almira.
Seandainya saja, dirinya bisa menahan diri dan tidak mencari kepuasan lewat wanita lain, sudah pasti saat ini dia sedang mereguk manisnya madu sebagai pengantin baru.
Namun, kini semua itu hanya hayalan semu. Rian tidak mungkin bisa merengkuh Almira untuk kembali kedalam pelukannya lagi. Sudah ada Daffa, sang kakak, yang menggantikan posisinya. Gadis yang dia perjuangkan selama bertahun-tahun, kini berakhir dengan menajdi kakak iparnya.
"ARGHHH …."
Teriak Rian meluapkan rasa sesak di dadanya. Sungguh, sampai kapanpun dia tidak akan terima jika Almira dimiliki oleh orang lain. Hanya dia, yang harus menjadi pemilik dari wanita cantik itu, bukannya laki-laki lain.
"Almira, sampai kapan pun aku hanya akan mencintai kamu. Hanya kamu yang akan selalu bertahta di hatiku. Aku mohon jangan pernah berpaling dengan menerima Kak Daffa sebagai suami kamu. Dia hanya pengganti diriku untuk sementara saja, Almira, hanya sementara!" racau Rian menatap nanar hamparan danau di hadapannya.
"Tunggulah aku sebentar lagi Almira. Aku harus membuktikan jika anak yang sedang dikandung oleh Livia itu bukanlah anakku. Aku berjanji itu tidak akan lama lagi. Kita akan secepatnya kembali bersatu dan merajut mimpi yang sempat tertunda," lanjutnya dengan suara tercekat.
Tidak akan ada yang bisa mengerti seperti apa gila-nya Rian mencintai wanita bernama Almira itu. Demi mendapatkan gadis itu, Rian mampu melakukan apapun. Jangankan hanya menyingkirkan Livia dan juga Daffa saja, bahkan jika harus melawan seluruh dunia pun, akan laki-laki itu lakukan.
Saat sedang asik melamun, deringan panggilan masuk di ponselnya mengalihkan perhatian Rian.
Laki-laki itu sudah sangat tahu bahwa Livia lah yang menghubunginya, karena memang yang mengetahui nomor barunya hanyalah wanita itu.
Meskipun sangat malas menerima panggilan wanita itu, tapi tetap Rian harus melakukannya. Bisa berabe urusannya kalau dia membuat wanita gila itu mengamuk.
"Hem, ada apa, Liv?" tanya Rian to the point saat panggilannya terhubung.
"Kamu ada di mana, Rian? Kenapa enggak bilang dulu kalau mau keluar? Kalau ada apa-apa sama kamu gimana?" cerocos Livia membuat Rian langsung menghela napas kesal.
"Aku bukan anak kecil, Liv! Tidak mungkin akan ada hal buruk yang membahayakan aku. Lagipula, penculik mana yang berminat pada orang dewasa seperti aku?" kesal Rian pada sikap berlebihan wanita di sebrang sana.
"Ya ampun, Rian! Kejahatan itu bisa datang kapanpun! Kamu enggak bisa menerka atau memprediksi hal itu. Sebaiknya kamu pulang sekarang juga! Ingat, kalau kamu belum sepenuhnya aman untuk kembali berlalu lalang di luaran, sebelum kasus kamu yang meninggalkan pernikahan itu tenang. Bersabarlah sebentar lagi, Rian! Kamu tahu kalau semua hal itu bisa berbahaya, Hem? Kamu akan menjadi bahan hujatan jika ada orang yang mengenali kamu, Rian!" tekan Livia mengingatkan Rian tentang bahaya yang akan terjadi karena ketelodoran laki-laki itu sendiri.
"Baiklah aku akan pulang sekarang juga," jawab Rian lalu mematikan sambungan teleponnya.
Setelah panggilan itu berakhir, Rian kembali menghela napas kesal. Memang apa yang dikatakan oleh Livia itu adalah kebenaran. Jika dirinya saat ini masih dalam masa yang rentan untuk kembali menjalani kehidupan normal seperti biasanya. Bukan apa-apa, pasti kemarahan keluarganya masih begitu besar saat ini. Jika mereka bertemu dengan Rian, maka entah apa yang akan terjadi.
"Huft, benar-bear menyebalkan! Ini karena ulah si Livia itu jadi aku kesusahan sendiri! gerutu Rian lalu kembali mengutak-atik ponselnya untuk memesan taksi.
Setelah selesai urusan pemesanan taksi, Rian beranjak dari duduknya hendak meninggalkan tempat itu. Namun, belum jauh kakinya melangkah, tepukan di bahunya membuat Rian berhenti.
"Ya ampun, Rian! Jadi ini beneran elo? Lo kemana aja? Kenapa si Almira malah nikahnya sama kak Daffa bukan sama elo?" Tanya orang itu dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan.
"Gue belum siap menikah, Aldo. Gue masih ingin bebas. Jadi, biarkan saja si Almira nikah sama kak Daffa," jawab Rian asal.
"Astaga, Rian! Gila aja Lo ninggalin Almira kayak gitu! Apa elo enggak ingat gimana perjuangan Lo buat dapetin dia sebegai pacar elo? Ini tinggal enaknya malah elo kasih buat kakak elo sendiri, bener-bener ya elo!" decak orang yang di panggil Aldo itu benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Rian.
Rian langsung menanggapinya dengan senyuman kecut. Sungguh, itu juga yang membuat dadanya sesak hingga saat ini.
"Mungkin Almira memang bukan jodoh gue aja, Do. Udah ya, gue harus pergi dulu. Taksi pesenan gue udah datang," pamit Rian langsung menghampiri taksi yang baru saja berhenti itu dengan tergesa.
Aldo hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Rian. Benar-benar tidak bisa dipercaya jika Rian si bucin-nya Almira, malah merelakan gadis itu untuk menikahi kakaknya begitu saja. Semua teman-teman terdekat Rian atau pun Almira sangat tahu bagaimana perjuangan Rian untuk bisa menjadi kekasih dari gadis itu. Akan tetapi, ketika sudah sampai ke pelaminan, justru Daffa lah yang menjadi mempelai pria di sana.
"Bener-bener enggak ngerti lagi gue jalan pikiran si Rian kayak gimana. Saat masih bebas di kejar, eh saat udah di genggaman malah diberikan kepada orang lain," gumam Aldo geleng-geleng kepala.
Sedangkan Rian yang sudah ada di dalam taksi. Semakin buruk saaj mood nya. Rasa sesak kembali menghantam dadanya. Bukan mau dia meninggalkan Almira, tapi keadaan lah yang memaksanya untuk pergi.
"Aku tidak tahu harus berkata apa saat nanti berhadapan dengan kamu, Almira. Semuanya terasa serba salah bagiku. Maafkan aku karena aku memang tidak setia padamu. Mungkin ini hukuman yang harus aku jalani karena berani berbuat curang padamu," gumam Rian sambil memandangi Poto Almira di layar ponselnya.
Semuanya tidak ada yang berubah, baik hatinya maupun cinta yang Rian miliki untuk wanita itu. Yang berubah saat ini adalah keadaan, keadaan menyesakan yang harus dia jalani karena sebuah kesalahan besar.
"Aku akan kembali untuk mengambil kamu dari kak Daffa. Aku pasti akan melakukannya setelah mamastikan anak itu bukan milikku, Sayang. Maafkan aku, dan bersabarlah sebentar lagi," lirihnya lagi dengan suara tercekat menahan kesedihan.
Semoga saat dirinya nanti kembali, semuanya belum berubah. Almira masih tetap menjadi miliknya dan tidak akan pernah menjadi milik sang kakak.