Rian yang baru saja selesai mandi, langsung kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tidak ada lagi yang bisa laki-laki itu lakukan selain tidur, makan, dan tidur lagi.
Begitulah setiap hari yang Rian lewati. Benar-benar sangat membosankan!
Laki-laki itu mengambil ponselnya yang ada di atas nakas, lalu menghidupkan benda pipih yang seharian ini Rian acuhkan.
Begitu ponsel itu kembali menyala, rentetan notifikasi dari berbagai media sosial yang dia punya langsung menyerbu.
Tentu laki-laki itu keheranan. Tidak biasanya hal seperti ini terjadi padanya. Rian bukan laki-laki yang suka tebar pesona apalagi mendambakan sanjungan dari teman-teman sosial media nya.
Karena rasa penasaran yang begitu menggebu, Rian langsung membuka salah satu notifikasi itu. Begitu terbuka, matanya membulat sempurna melihat apa yang sudah menjadi penyebab kerusuhan di ponselnya.
Dengan penuh kemarahan Rian langsung beranjak dan keluar dari kamar. Tangan laki-laki itu terkepal erat dengan mata memerah karena amarah.
"LIVIA! LIVIA! DIMANA KAMU!" teriaknya begitu sampai keluar kamar.
"Apa sih, Rian? Kenapa kamu teriak-teriak kayak di hutan?" kesal Livia yang baru keluar dari dapur.
"Justru aku yang harus bertanya padamu! Kenapa kamu membuat ulah dengan memakai ponselku, hah? Apa kamu benar-benar gila dan ingin menghancurkan hidupku?" geram Rian dengan tatapan yang begitu tajam.
"Ulah apa? Aku tidak melakukan apa pun, Rian!" sangkal Livia menolak tuduhan Rian.
"Kalau begitu, bisa kamu jelaskan ini apa, hah? Jangan mengelak lagi dan berlagak seperti orang bodoh! Di apartemen ini hanya ada kita berdua dan sudah pasti kamu yang sudah berbuat hal gila ini!" tuding Rian sambil menunjukan ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dan juga Livia yang sedang tertidur pulas dalam keadaan tubuh polos.
"Oh, itu. Lebay banget sih, kamu! Cuman Poto begituan juga udah heboh banget. Lagian memang kenapa kamu sampai marah kayak gini, hem?" Tanya Livia acuh tak acuh dengan kemarahan Rian.
"Jelas aku marah, Livia! Dengan kamu melakukan ini, kamu seakan menunjukan kepada seluruh dunia buruknya aku! Kamu benar-benar keterlaluan! Pasti sekarang Almira dan seluruh keluargaku sudah tahu perihal ini! Kamu semakin membuat aku dalam kondisi sulit!" bentak Rian penuh kemarahan.
"Lalu kenapa kalau Almira tahu, Rian? Kenapa juga kalau keluarga kamu tahu? Bukankah itu bagus untuk hubungan kita, hah? Dengan begini mereka akan tahu alasan kamu pergi dari pernikahan kamu dengan si Almira itu! Dengan begini, keluarga kamu bisa bersiap untuk menerima menantu baru di rumahnya. Wanita yang benar-benar kamu pilih sebagai istri, dan itu aku bukan Almira!" Jawab Livia tak kalah kesal dari Rian.
"Semuanya enggak semudah yang kamu pikirkan, Livia! Keluargaku pasti akan semakin menaruh kebencian yang lebih besar lagi padaku! Mereka pasti akan berpikir kalau aku sudah mempermalukan mereka dengan mengunggah Poto seperti ini! Lalu Almira? Dia tidak akan mau lagi kembali padaku dan berpikir kalau aku meninggalkannya karena memiliki wanita lain!" Kesal Rian ingin sekali menampar wanita lancang di hadapannya kalau tidak ingat jika wanita itu kini sedang hamil.
"Memang kenapa kalau Almira tidak mau kepadamu lagi? Bukankah memang kamu seharusnya hanya menjadi milikku dan anak kita? Alasan kamu pergi dari pernikahan kamu itu pun benar adanya, karena aku penyebabnya, kan? Lalu apa lagi yang kamu pusingkan, Rian?" berang Livia benar-benar tidak terima karena Rian masih terus berharap kembali kepada Almira padahal jelas-jelas dirinya sudah ada di hadapan laki-laki itu saat ini.
"Iya kalau itu anakku, lalu kalau bukan bagaimana? Lagipula, kalau pun itu memang anakku, aku hanya akan bertanggung jawab sampai dia lahir ke dunia. Aku tidak mencintai kamu, Livia! Selamanya aku tidak mungkin akan bisa mencintai kamu! Hatiku hanya milik Almira dan akan selalu seperti itu!" tegas Rian membuat Livia langsung berdecih sambil memalingkan wajahnya.
"Apa kamu yakin wanita itu akan Sudi kembali lagi padamu setelah kamu tinggalkan, Rian? Apa kamu yakin kalau Almira akan mau kembali kepadamu sementara sekarang dia sudah menjadi istri seorang Daffa Eldaz? Apa kamu yakin jika pun Almira mau kembali padamu, dia masih Almira yang sama, Almira yang tidak tersentuh oleh tangan kotor para lelaki buaya? Sementara kamu tahu benar bagaimana perangai Daffa. Dia akan melakukan segala cara untuk bisa menikmati sajian lezat di hadapannya. Apa lagi, wanita itu sudah resmi berstatus sebagai istrinya, Daffa pasti tidan akan segan untuk menyentuhnya. Daffa akan menikmati setiap inci tubuh Almira yang selama ini selalu kamu jaga. Daffa akan menjadi pemenang atas Almira, Rian!"
"DIAM! Aku yakin Almira bukan wanita seperti itu! Dia akan menjaga kesuciannya hanya untukku. Dia akan …."
"Bodoh kalau kamu berpikir seperti itu, Rian! Wanita mana yang sudi mempertahankan keperawanan nya hanya untuk seorang laki-laki bajingan yang meninggalkan dia tepat di hari pernikahannya? Apalagi itu karena si laki-laki memiliki wanita lain di belakangnya!" Sengit Livia berapi-api.
Untuk beberapa saat Rian mematung. Pikirannya langsung mencerna setiap kata yang keluar dari bibir wanita di hadapannya. Benarkah Almira akan menjadi milik Daffa dan tidak akan pernah kembali kedalam pelukannya lagi?
"Sudahlah, Rian! Hentikan hayalan dan mimpi yang tidak berguna mu itu! Almira sudah menjadi milik laki-laki lain dan kamu harusnya mulai fokus padaku dan juga anak kita. Jangan terus berharap pada wanita yang sudah pasti tidak akan kamu miliki, Rian! Sadarlah!" Kesal Livia pada kelakuan Rian yang masih terus menerus mengharapkan Almira di hidupnya.
Rian yang diliputi perasaan yang tak menentu, memilih untuk beranjak meninggalkan Livia dan keluar dari apartemen. Bahkan, teriakan larangan untuk tidak keluar apartemen dari bibir Livia pun, tidak dia dengarkan sama sekali.
Laki-laki itu terus berjalan tanpa tujuan. Hatinya terasa gamang saat ini.
Langkahnya membawa Rian menyusuri trotoar dan berselimut angin malam. Langit gelap malam ini, seakan menggambarkan perasaanya yang begitu suram.
"Apa benar kamu tidak akan pernah kembali padaku lagi, Almira? Apa benar kamu akan terus terlena di pelukan kakakku sendiri? Kenapa kamu tega seperti ini padaku! Apa kurangnya aku jika dibandingkan dengan Kak Daffa?" Gumam Rian menatap sendu jalanan kosong di hadapannya.
Ingin sekali Rian menadatangi Almira saat ini juga, tapi masih ada rantai yang mengikat kakinya untuk bisa mendekat pada wanita itu.
"Kenapa kamu tidak mau berkorban untukku sekali saja, Almira? Korbankan waktumu untuk bersabar menungguku kembali! Tolong jangan berikan apa pun kepada Kak Daffa yang seharusnya hanya aku yang memilikinya. Tolong, jadilah istriku dan jangan jadi kakak iparku," racau Rian sudah bagaikan orang gila saja.
Langkah gontai laki-laki itu langsung terhenti begitu melihat pemandangan di depannya. Untuk beberapa detik Rian mematung sebelum suara deru mesin mobil menyadarkannya.
Laki-laki itu segera berlari, berusaha mengejar mobil itu sambil berteriak dengan sekuat tenaga. Berharap, orang yang ada di dalamnya, mendengar teriakan Rian saat ini.
Namun, harapannya tinggal harapan. Tenaganya tidak sebanding dengan tenaga kuda besi yang melaju dalam kecepatan tinggi di depannya. Tubuh Rian langsung ambruk, lemas. Dia benar-benar putus asa saat ini.
"Kenapa kamu meninggalkan aku, Almira? Kenapa kamu berkencan dengan kakakku, hah? Kenapa kamu berdandan dengan begitu cantik untuk laki-laki lain? Kenapa, Almira? Kenapa?"