Daffa yang baru saja keluar dari kamar mandi, langsung mengeryit kebingungan begitu melihat mimik wajah istrinya yang lain dari biasanya.
Di wajah wanita itu jelas tersirat kemarahan, dan itu membuat perasaan Daffa semakin tidak menentu saja.
Apa Almira masih marah padanya karena hal tadi?
Apa wanita itu benar-benar tidak ingin Daffa sentuh sedikitpun?
Dengan helaan napas berat, Daffa berjalan ke arah istrinya. Sebagai laki-laki sejati, Daffa harus meminta maaf karena sudah berbuat lancang dan merenggut ciuman pertama istrinya itu.
"Al, aku tidak tahu kalau semuanya akan seperti ini. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk mengambil ciuman pertama kamu. Itu semua terjadi secara spontan dan benar-benar tidak aku rencanakan. Maafkan aku, Al. Aku sudah melanggar perjanjian yang kita buat. Kamu boleh menghukumku," cerocos Daffa setelah mendudukkan diri di pinggir ranjang yang berhadapan langsung dengan posisi duduk Almira.
Almira yang mendengar perkataan Daffa, langsung mendongak menatap lelaki di depannya. Tentu saja gadis itu kebingungan kenapa Daffa tiba-tiba minta maaf padanya, sementara dari tadi berlaku acuh tak acuh.
"Apa aku tidak salah dengar?" Tanya Almira masih tidak percaya pendengarannya.
Daffa menganggukan kepala sebagai jawaban.
"Maafkan aku. Seharusnya aku tidak merenggut apa yang tidak ingin kamu serahkan padaku dengan suka rela. Harusnya aku tidak melanggar perjanjian yang kita buat," sahut Daffa menundukkan wajahnya.
Bukan hanya karena menyesal, tapi juga karena malu. Sejak kapan seorang Casanova sepertinya meminta maaf pada seorang wanita hanya karena menyerang bibir lawannya? Ah, benar-benar sesuatu yang sangat langka.
"Sukurlah kalau kamu sadar akan kesalahan mu. Aku senang mendengarnya. Tapi, aku harap kalau ini memang pertama dan terakhir kalinya kamu berbuat hal tidak senonoh padaku," ucap Almira lalu segera beranjak dari duduknya.
Baru saja kakinya melangkah, Daffa sudah lebih dulu mencekal pergelangan tangan istrinya itu.
"Apa kamu sudah memaafkan aku, Al?" Tanyanya.
Almira menghembuskan napas kasar lalu menatap suaminya.
"Sebenarnya aku masih marah karena kamu berbuat lancang. Tapi, kalaupun aku tidak memaafkan kamu, itu tetap tidak akan mengembalikan first kiss ku. Jadi, aku dengan berbesar hati menerima maaf darimu. Anggap saja, aku bersedekah padamu dengan ciuman pertamaku itu," jawab Almira lalu kembali melangkahkan kakinya masuk ke kamar mandi.
Daffa yang mendengar perkataan istrinya barusan, langsung melongo. Sejak kapan seorang istri bersedekah dengan perang bibir pada suaminya sendiri?
"Oh, shit! Benar-benar mengesalkan wanita itu! Padahal aku sudah merendahkan harga diriku untuk meminta maaf padanya. Tapi dia malah berbuat seenaknya seperti itu. Aku menyesal meminta maaf padanya seperti barusan!" geritu Daffa dengan ekspresi wajah yang jelas memendam kekesalan pada sang istri.
"Sebaiknya aku hubungin Frans saja. Aku juga butuh pelepasan setelah beberapa hari ini berpuasa. Menyerang wanita yang berstatus sebagai istriku itu tidak mungkin. Nanti yang ada, dia hanya akan merendahkan harga diriku lagi," gumam Daffa lalu segera mengambil ponselnya yang berada di atas nakas.
Laki-laki itu langsung mengutak-atik benda pipih di tangannya untuk menghubungi seseorang.
"Hallo, Frans. Tolong kau siapkan wanita seperti biasanya. Aku akan datang ke klub malam ini," pinta Daffa setelah panggilan terhubung.
"Wow …. Apa aku tidak salah dengar, Tuan Muda Eldaz? Bukankah kau baru saja mempersunting calon adik iparmu? Kenapa kau malah mau bermain dengan para wanita di sini? Apa istrimu sedang memasang palang merah sekarang?" Cerocos orang yang bernama Frans itu sambil tergelak.
"Sialan! Jangan banyak tanya kamu! Siapkan saja seperti yang aku minta. Aku ingin yang benar-benar bisa memuaskan aku. Awas saja kalau kau memberikan barang dengan kualitas ecek-ecek!"
"Siap, Tuan Muda. Seperti biasanya, aku akan menyiapkan sesuai seleramu. Tapi aku tidak bertanggung jawab kalau kau akan menyandang gelar duda setelah pulang dari sini," goda Frans kembali tergelak.
"Sialan!" Gerutu Daffa lalu memutuskan sambungan teleponnya.
Laki-laki itu segera beranjak menuju lemari untuk kembali mengganti pakaiannya. Tidak mungkin dia akan pergi ke klub dengan baju rumahan seperti sekarang ini.
Setelah mendapatkan baju yang dia inginkan, Daffa langsung memakainya. Tak lupa, wangi-wangian pun tercium begitu menyengat dari tubuh laki-laki itu. Harumnya benar-benar menggoda dan sepertinya akan mampu memikat wanita manapun untuk medekat.
"Kamu akan pergi kemana?"
Suara Almira berhasil menghentikan Daffa yang baru saja akan melangkah keluar.
"Aku akan bertemu dengan temanku. Memang ada apa?" Tanya Daffa dengan mata memicing.
"Apa itu teman ranjang mu? Tidak bisakah kamu membawa aku jalan-jalan dan makan malam di luar?" Tanya Almira penuh harap.
"Ayolah, Almira. Kamu itu bukan anak kecil lagi. Pergilah sendiri. Aku tidak punya waktu untuk menemani kamu lagi. Aku harus …."
"Pergilah! Aku mengerti," ucap Almira lalu duduk di depan meja rias.
Daffa yang tahu Almira merajuk, langsung mendengus kesal.
"Aku janji besok akan membawamu makan malam di luar. Sekarang aku ada urusan dulu dengan temanku. Jangan merujuk sekarang karena aku tidak akan membujuk mu," ucap Daffa lalu segera melanjutkan langkah kakinya.
Melihat Daffa yang benar-benar pergi, Almira langsung menghela napasnya sesak. Sepertinya, dua-duanya anak dari keluarga Eldaz itu memang menyebalkan.
Yang satu sedang terlelap dalam pelukan wanita lain hingga meninggalkan Almira di pelaminan. Sementara yang satu lagi juga pergi untuk mencicipi selangkangan para jalang.
"Sepertinya, satu tahun hidupku akan terlewati dengan sia-sia saja. Sebaiknya aku juga berjalan-jalan keluar agar tidak terlalu memikirkan kedua laki-laki sialan itu," gumam Almira segera merias wajahnya.
Setelah penampilannya siap, Almira selalu terlihat sempurna seperti biasanya. Balutan dress berwana pink yang melekat di tubuhnya, begitu cocok dengan kulitnya yang seputih susu.
Dengan tas dan juga hisgh hils berwana senada, Almira keluar dari rumah. Benar-benar seperti Tuan Putri saja penampilan gadis cantik itu.
Begitu sampai di luar, kebetulan taksi yang dia pesan sudah sampai. Buru-buru Almira memasuki taksi itu lalu menyebutkan alamat tujuannya.
Sepanjang perjalanan, pikiran Almira melayang jauh pada sosok laki-laki yang dulu, bahkan saat ini pun masih bertahta di hatinya. Tak pernah Almira duga, jika kepergian Rian adalah karena wanita lain.
Itulah yang tadi Almira lihat di ponselnya. Sosok Rian yang tengah tertidur pulas, dengan dada yang polos tanpa memakai pakaian. Tak lupa, dalam pelukannya terdapat seorang wanita.
Hanya saja, Almira tidak tahu siapa wanita itu, karena wajahnya Rian tutupi dengan emoticon.
"Seandainya kamu mengatakan segalanya sejak awal, Rian. Mungkin aku tidak akan sesakit ini saya tahu alasan kamu meninggalkan aku. Harusnya, kamu jujur saja padaku kalau memang ada wanita lain yang sudah kembali mengisi hatimu selain aku. Aku akan dengan senang hati melepaskan mu tanpa harus ada drama menikahi laki-laki lain yang jelas tidak aku cintai. Harusnya, pernikahan ini memang tidak ada sejak awal," batin Almira dengan tatapan yang tertuju pada pemandangan di luar jendela mobil.
Fakta ini sudah cukup bagi Almira untuk sepenuhnya melupakan Rian. Meskipun jelas itu sangat sulit, tapi Almira akan berusaha mengerahkan seluruh kekuatannya. Begitupun dengan Daffa, gadis itu bertekad untuk masa bodoh mulai sekarang.
Mungkin awalnya Almira memang bertekad untuk mencoba, tapi sepertinya sampai kapanpun antara dirinya dan juga Daffa tidak akan menemukan kecocokan. Laki-laki itu terlalu tenggelam dalam selangkangan para jalang, dan Almira tidak ingin menjadi salah satu dari wanita yang menjadi mainan laki-laki itu.