Musim gugur di bulan Oktober, dedaunan berjatuhan mengotori bahu jalan, perkotaan Oxford.
Seluruh pemandangan berwarna oranye dengan hiasan sinar senja.
Tak lama tampak wanita cantik berkulit putih, dengan rambut pirang sebahu menuruni sepedanya.
Dia adalah Alice Nelson. Wanita berusia 35 tahun yang kini bekerja menjadi seorang Pelayan Restoran di kota tersebut. Sedangkan suaminya adalah seorang Seniman.
Alice mulai memarkirkan sepedanya, lalu dia bergegas menuju rumah.
Tak seperti biasanya, pintu rumah itu terkunci. Biasanya sore begini suaminya sudah berada di rumah, dan tengah menunggunya pulang. Bahkan tak jarang Carlos juga tengah menyiapkan makan malam untuknya.
"Apa, Carlos, keluar?" gumam Alice.
Dan tanpa ragu Alice meraih kunci cadangan yang ada di dalam saku.
Ceklek!
Dia berhasil membuka pintu rumah.
Samar-samar Alice mendengar seseorang dari dalam kamar pribadinya.
Ini seperti suara Carlos, tapi nampaknya Carlos tidak sendirian.
Alice merasa begitu penasaran dan dia berjalan menghampirinya.
Dari balik pintu kamar suara itu kian terdengar kencang, seperti sebuah hentakkan kecil dan daru nafas yang berlawanan.
'Carlos ....' Alice mendekatkan bagian telinganya dengan sisi pintu.
Dia tak langsung membuka pintu, dia ingin memastikan apa yang sedang ia dengar dari luar.
"Sedikit lagi! Ayo sedikit lagi, aaah ... ahh .... " Suara wanita yang sedang mendesah.
Bahkan Carlos juga bersuara ... desahan yang sama ....
Alice tak tahan lagi, dia segera membuka pintu kamar itu.
Ceklek!
Sepasang pria dan wanita tanpa busana tampak terkejut.
Posisi mereka saling berhadap-hadapan, si Pria berada di bawah, dan si Wanita duduk di atasnya.
Alice menatapnya dengan datar, wajahnya tanpa ekspresi, perlahan dari kedua netranya mengalir deras butiran bening.
"Alice!" ucap Carlos seraya terbangun dan meraih pakaiannya.
Dia meninggalkan wanita yang baru saja bercinta dengannya.
Carlos segera memeluk tubuh Alice.
"Alice, maafkan aku," tukasnya dengan wajah begitu menyesal.
Alice menepis tangan suaminya, lalu wanita yang tengah hancur hatinya itu menampar wajah Carlos.
Plak!
"Bajingan!" umpatnya.
Carlos menggelengkan kepala seraya menggaruk rambutnya sendiri yang tak gatal.
Sementara wanita yang saat ini tengah berada di atas ranjang itu tampak ketakutan.
Dia tak sempat memunguti pakaiannya yang berserakan di atas lantai, wanita itu hanya menutup tubuhnya dengan selimut tebal.
Alice berjalan mendekat ke arah wanita itu.
"Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku?" tanya Alice dengan deru nafas yang kian membesar.
"Maaf, Alice," ucapnya sambil menangis.
Namanya Caroline, dia adalah sahabat karib Alice Nelson.
Mereka berteman sejak kuliah, dan hubungan mereka begitu dekat.
Caroline adalah sahabat terbaik bagi Alice, bahkan Alice sudah menganggap Caroline, seperti saudara.
Dia adalah tempat ternyaman bagi Alice saat menuangkan segala keluh kesahnya.
Tak segan Alice menceritakan segala permasalahan yang ia hadapi bersama Carlos.
Termasuk hubungan rumah tangganya yang sudah ia jalin selama 10 tahun tapi belum juga dikaruniai keturunan.
Selama ini Alice tak pernah menduga jika kedekatan suaminya dengan Caroline, itu berujung selingkuh. Dia tak pernah curiga jika Carlos dan Caroline, sering mengobrol berdua dan bahkan beberapa kali, Alice memergoki suaminya tengah berdekatan dan memegang tangan Caroline.
Dia mengira hubungan mereka hanya sebagai seorang Seniman Pelukis dengan modelnya.
Tapi ternyata dia salah besar!
"Kamu jahat, Carol! Kamu itu, sahabat yang, Biadab!" umpat Alice.
"Maaf, Alice. Maafkan aku ...." Caroline menunduk, perlahan dia meninggalkan ranjang itu lalu dia menghampiri Alice, masih dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.
Meski begitu, Carol, berusaha memeluk tubuh Alice, untuk meminta maaf kepadanya.
"Lepaskan!" sergah Alice.
"Aku tidak sudi dipeluk oleh, Wanita Jalang, sepertimu!" bentaknya.
Carol menunduk dan air matanya kian deras.
"Alice, maafkan aku," Berkali-kali wanita cantik dengan bola mata coklat itu mengulang kata-katanya.
Tapi Alice sudah terlanjur murka.
Alice meraih sebuah gunting yang terletak di atas meja kamar itu.
Lalu Alice menghunjamkan gunting itu ke arah Caroline, tapi Carlos menghalanginya.
Dia menangkis gunting itu dengan lengan tangan, sehingga gunting itu menancap di bagian lengan Carlos.
Alice terkejut melihat sikap heroik dari Carlos terhadap Caroline.
Wanita itu bertambah murka, dia melempar seluruh barang yang ada di kamarnya.
"KALIAN SEMUA, BEDEBAH!" umpatnya dengan nada tinggi.
Prang!
Kluntang!
Guci, bingkai foto dan yang lainnya berserakan di atas lantai.
Carlos tampak kesakitan dan perlahan mencabut gunting yang menancap di legannya secara perlahan.
Darah segar mengalir, terasa begitu sakit, tapi dia tak ada keinginan sedikit pun untuk membalas perbuatan Alice.
Dia sadar jika semua ini memang salahnya dan Carol.
Selama ini Alice selalu mempercayai dirinya, dan dengan tulus mencintanya, tapi Carlos malah membalas dengan sebuah perselingkuhan.
Beberapa menit berlalu, Alice menghentikan amarahnya.
Dia duduk di atas lantai, dengan derai air mata yang tak terhitung lagi jumlahnya.
Dia memang merasa sangat marah dan tak terima atas perbuatan suami dan sahabatnya ini, tapi dia perlahan mulai mengikhlaskan.
Sesaat dia melirik ke arah Carlos yang masih memeluk Caroline dalam ketakutan.
Nampaknya Carlos benar-benar mencintai wanita itu.
Perlahan Alice bangkit, lalu mengemasi seluruh barang-barangnya.
"Alice!" teriak Carlos, lalu dia melepaskan Caroline dan memeluk Alice dari belakang.
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Carlos.
"...." Alice tak mengeluarkan sepatah kata pun, wajahnya masih datar.
"Aku mohon maafkan aku, beri aku kesempatan, dan aku akan memperbaiki semuanya," ucap Carlos.
Alice mengangkat wajahnya dan memandang Carlos dengan tatapan tajam.
"Perbaiki?" Deru nafasnya kembali kencang. "Apa yang ingin kau perbaiki?!" Alice memegang kerah baju Carlos dengan kasar.
"Perlu kau ketahui, jika cermin yang sudah hancur tidak akan bisa utuh kembali, meski kau sudah memperbaikinya sekalipun! Akan tetap ada bekas yang tak pernah hilang!" hardiknya.
"Alice ...." Suara Carlos kian merendah.
Alice mengangkat tangannya dan hendak memukul Carlos, bahkan Caroline hanya bisa terdiam sambil menggigit kuku jarinya karena ketakutan.
Tapi belum sempat dia melakukannya, mendadak tubuh Alice melemah, dan matanya terpejam dengan cepat.
"Alice!" teriak Carlos seraya menangkap tubuh Alice yang jatuh pingsan.
Carlos, mengangkat tubuh sang istri dan menaruhnya di atas ranjang.
Dengan wajah yang panik dia berusaha membangunkan istrinya.
Sementara Caroline hanya terdiam sambil memandanginya dengan ekspresi ketakutan dan penuh penyesalan.
"Arrrggghhh!" Carlos memegangi lengan tangannya, darah terus mengalir, dan terasa semakin sakit. Lalu tubuh pria itu pun juga melemas kemudian pingsan.
To be continued