Chereads / My Weird Assassin / Chapter 13 - Hiding Pain

Chapter 13 - Hiding Pain

CHAPTER 12

I'd rather hide my pain than make your name sound bad in front of others. Kind? No, I just don't want others to know how big of a crime you are. - Erica Vresila

"Aku berangkat kerja dulu, jika Sean sudah pulang, katakan kalau aku marah kepadanya."

Erica berkata dengan suara yang terdengar datar, ia menitipkan pesan juga pada seorang maid laki-laki yang memang sudah setengah baya itu. Sejauh ini, hanya sedikit maid perempuan yang dipekerjakan oleh Sean karena 'katanya' ingin menjaga perasaannya.

Maid itu menganggukkan kepala kepada Erica, ia melihat wajah kekasih dari Tuan rumahnya yang terlihat sedih, namun kesedihan itu tidak terlalu mendominasi jika dibandingkan dengan raut wajahnya yang datar tak tersentuh.

Maid ini bernama Moal, Moal Gdradl. Ia belum lama di pekerjakan di mansion megah milik Sean, dan terlihat cara bekerjanya yang cekatan. Walaupun seorang maid, pekerjaannya tentu bukan membersihkan rumah —karena yang melakukan tugas ini adalah maid wanita—. Yang menjadi bagiannya adalah melayani, mengawasi rumah, dan memegang kendali atas keamanan rumah. Ya bisa di sebut selayaknya bodyguard, tapi bedanya ia tidak mengawal siapapun.

Moal menganggukkan kepala. "Baik, Nona. Hati-hati di jalan, semoga hari mu indah, dan selamat bekerja." Ia membalas perkataan Erica dengan sangat sopan, ia juga menambahkan senyuman sebagai akhiran dari perkataannya.

Erica menganggukkan kepala, seperti biasa tanpa senyuman. Kini, di tangannya sudah terpegang sebuah kunci mobil Pagani Huayra Imola. Ia tidak masalah memakai mobil milik Sean yang manapun, lagipula laki-laki itu mengizinkannya.

//Fyi; Ini mobil yang sepenuhnya didedikasikan untuk kecepatan. Pagani bahkan berusaha mengembangkan cat khusus untuk memangkas bobot dan bisa melaju maksimal.

Pada akhirnya, Huayra Imola hanya memiliki berat kering 2.747 pon (1.246 kg). Kombinasikan itu dengan output 827 dk, Anda bakal mendapatkan hypercar yang mampu melaju hingga 247 mil/jam (397 km/jam).//

Apapun yang menjadi milik Sean, berarti itu juga menjadi milik Erica.

Laki-laki itu sendiri yang bilang kepadanya.

Erica melangkahkan kaki keluar dari pintu utama rumah yang di jaga oleh salah satu doorman.

"Selamat pagi menjelang siang, Nona." ucap doorman itu kepada Erica.

Erica menganggukkan kepala, terlihat anggun. "Ya." Namun hanya ini jawabannya dan segera masuk ke mobil.

Pakaian yang di pilih Erica saat ini memakai kaos hitam yang di padukan dengan blazer serta bawahan celana. Penampilannya saat ini sangat mengarah ke fashion wanita karier. Memang style seperti ini yang disukai olehnya, daripada memakai dress dan blouse, tapi untuk kemeja ia juga suka memakainya.

Ia menyalakan lagu terlebih dulu agar di perjalanan bisa menyetir dengan enjoy, hitung-hitung sambil meredakan perasaan kesal yang menyeruak di dalam hatinya, terasa sangat dominan.

Ia akan pergi ke kantor dan melupakan perkataan Sean walaupun mustahil, pasti perkataan menyakitkan kekasihnya tidak bisa hilang begitu saja dari memori di kepalanya.

Mobil mahal milik Sean ini di beli oleh laki-laki itu dengan alasan kecepatannya. Ya wajar saja, bagi seorang pembunuh bayaran, Sean membutuhkan kendaraan yang mempermudah apa yang ia lakukan. Pasti, setiap barang yang di beli laki-laki itu memiliki manfaat tersendiri, namun terkadang di beli hanya untuk ingin memiliki dan berakhir menjadi pajangan semata.

Erica selalu menunggu pesan dari Erica, bahkan dalam keadaan ia marah sekalipun. Beginilah Sean saat tengah jauh darinya. Sangat sulit memegang ponsel walaupun sekedar memberikan kabar kepadanya, sulit dilakukan.

Erica berharap Sean memiliki rasa sesal karena telah mengatakan hal yang seharusnya tidak ia katakan kepadanya, namun ternyata harapan selalu menjadi harapan.

Dalam berkendara, pikiran tidak boleh kosong ataupun terlalu banyak yang dipikirkan. Maka dari itu, Erica memutuskan untuk tetap menjaga pikirannya agar tetap stabil dan tidak menimbulkan sesuatu yang membahayakannya.

"Udara sangat terik, pantas saja membuat pikiran ku semakin panas dan menimbulkan keinginan untuk menembak kepala Sean."

Perkataan Erica hanya perumpamaan semata, walaupun dalam konteks memang itulah perjanjiannya dengan sang kekasih beberapa waktu lalu saat mereka masih menjadi orang asing yang tidak memiliki perasaan cinta satu sama lain.

Kini, mobil yang di kendarai Erica seolah membelah jalan. Benar-benar menjadi sorotan bagi beberapa orang yang sedang berjalan di trotoar atau bahkan ada yang sedang duduk di cafe atau restoran yang kursi dan meja berada di trotoar, memperhatikan mobil yang di bawa Erica.

"I don't want to meet you, ugly. If you think I'm a bitch, I'll call you an asshole."

Sesampainya di ruang kerja …

"Huft, selamat siang, Orlin." Erica menyapa temannya yang kini duduk di depan komputer, terlihat sedang memakan crisps. Sudah menjadi kebiasaan bagi sahabatnya itu bekerja sambil mengemil.

Orlin yang mendapat sapaan dan juga tau ada seseorang yang masuk ke ruang kerjanya pun menolehkan kepala. "Halo, calon Nyonya Assassin." Ia membalas, kekehan di ujung kata sebagai pemanis saja.

Erica memutar kedua bola mata, lalu tanpa menanggapi langsung saja duduk di kursi kerjanya dengan sedikit lesu walaupun tidak terlalu kentara. "Xena masuk kerja?" Ia bertanya sambil meletakkan tas di atas meja. Lalu, tangannya mengambil laptop dari tote bag yang ia bawa dari rumah.

"Masuk, tapi lagi bucin di ruangan Tuan Vrans. Gak ada yang bisa menandingi tingkat kebucinan mereka, aku pun iri." Orlin berkata, ia menurunkan kedua alisnya.

Dulu, mungkin Erica tidak akan pernah iri dengan hubungan orang lain karena ia sama sekali belum tertarik dengan apa yang dinamakan cinta. Namun, sejak ia mengenal cinta dan kebetulan kekasih pilihannya adalah Sean, ia menjadi cukup merasakan 'iri' yang di maksud oleh Orlin.

"Makanya cari pacar biar kerjaannya gak cuma iri sama hubungan orang lain," Erica memberikan saran yang sarkas karena sahabatnya itu memang sangat memilah-milih dalam membuat keputusan untuk menjalin hubungan dengan laki-laki.

Orlin yang mendengar perkataan Erica pun meringis kecil, ya cukup mengenai perasaannya sih karena memang ia sudah lama menyandang status jomblo. "Nyari pacar juga gak kayak nyari batu. Lagipula, kalau aku punya pacar, juga belum tentu sebahagia Vrans dan Xena, iya kan?"

Tertohok dalam diam karena apa yang dikatakan oleh Orlin. Benar, memiliki kekasih tidak akan terlihat sesempurna hubungan Vrans dan Xena sekarang. Namun, ia lebih memilih untuk menyembunyikan perasaan yang membuatnya merasa tak enak itu.

"Oh ya, gimana sama Sean? Baik-baik aja? Kalau dia berani membuat mu terluka, aku akan memukulnya, sungguh." Orlin kembali bertanya karena tampaknya Erica tidak ingin merespon perkataannya yang sebelumnya.

Erica tampak mengerjapkan mata, ia melihat layar laptopnya yang sudah menyala. Dan kini, ia berpura-pura mengoperasikan alat elektronik di hadapannya sambil mengobrol dengan Orlin. "Aku? Sama Sean? Baik-baik aja kok, kita gak pernah bertengkar atau bahkan dia menyakiti ku."

Padahal, jauh di lubuk hatinya ada jeritan tertahan yang ingin sekali menangis karena ucapan Sean yang sangat menyakitkan baginya.

Tidak ada seorang wanita yang ingin di samakan dengan jalang, apalagi yang menyamakannya adalah seorang laki-laki yang merupakan pujaan hati, pasti rasa sakitnya akan terasa berkali-kali lipat.

"Kalau ada masalah atau ingin bercerita apapun tentang Sean, ada aku dan Xena yang bisa menjadi pendengar sekaligus menasihati mu. Jangan tertutup, kita mungkin bisa membuat perasaan mu menjadi lebih lega."

Next chapter