CHAPTER 2
You can bring a bullet, bring a sword, bring a morgue, but you can't take me into your arms.
________________________
Erica menyisir rambutnya yang jatuh ke bawah dengan gerakan malas. Kini jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan Sean dengan seenaknya menyuruhnya bersiap untuk menghadiri dinner dengan penampilan yang harus jauh lebih feminim daripada pakaiannya sehari-hari. Baiklah, Sean sepertinya harus di beri sedikit pelajaran karena hal ini.
Ia memoles bibir tipisnya dengan lipstik berwarna merah menyala memberikan tampilan menawan sekaligus menggoda yang menyeruak keluar dari dalam dirinya, sangat mempesona. Terlebih ia memakai gaun dengan warna yang senada dengan lipstiknya. Kini Erica terlihat sangat sexy.
Tapi tentu saja ini bukan dirinya secara penuh, ia merasa aneh dengan pakaian feminin wanita dewasa. Memakai kaos polos di padukan dengan celana jeans dan sneakers masih menjadi andalannya.
Drtt...
Drtt...
Erica mengalihkan pandangan pada ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja rias karena mendengar getaran pertanda panggilan telepon masuk. Melirik siapa yang kira-kira menghubunginya di saat seperti ini. Nama Sean tercetak jelas di atas sana, ia sudah tau pasti laki-laki itu sudah sampai di rumahnya. Tidak ingin membuang-buang waktu, ia segera menyambar dompet berwarna hitam miliknya. Memasukkan beberapa barang yang di perlukan, oh jangan lupa dengan ponselnya.
Telapak kakinya sudah di temani oleh sepasang high heels berwarna hitam polos yang mulai meninggalkan kamar tidurnya, dan menuruni tangga secara perlahan karena tidak mungkin berlarian. Kedua manik matanya langsung beradu pada tatapan Sean yang kini melayangkan rasa kagum terhadap dirinya.
"Aku tau jika aku saat ini terlihat sangat cantik, jangan menatap ku seperti itu." ucap Erica sambil berdiri tepat di hadapan Sean yang bahkan masih menatapnya. Ia berjinjit kecil untuk mengecup singkat pipi kanan Sean.
Sean mengerjapkan kedua bola matanya. Astaga jangan sampai jiwa kejam assassin yang dimiliki olehnya pudar begitu saja hanya karena terbuai dengan penampilan Erica pada malam ini, gadis itu sangat mengesankan.
"Tonight you look so perfect, baby." Bisik Sean tepat di telinga Erica. Ia memperhatikan kerah rendah dari dress yang di pakai gadisnya, terlihat sedikit bagian dada. "Kalau seperti ini, akan ada banyak mata yang melihat ke arahmu, terlalu banyak bagian yang terekspos." Sambungnya dengan sebuah decakan kecil saat melihat kerah V yang cukup rendah pada dress yang kini di pakai gadisnya.
Erica memutar kedua bola matanya, merasa tidak peduli dengan hal itu. Lihat, berpenampilan tertutup salah, terbuka apalagi. Sebenarnya apa yang diinginkan oleh Sean?
"Jadi dinner atau masih ingin mengomentari penampilan ku?" tanya Erica sambil menaikkan sebelah alisnya, ia juga membutuhkan kepastian. Ia menatap Sean dari atas sampai bawah. Astaga, laki-laki itu terlihat sangat keren sekali.
Sean terkekeh kecil, lalu melingkari tangannya pada pinggang ramping milik Erica. Setelah sampai di New York, ia dengan segera membersihkan diri dan berganti pakaian untuk menemui gadisnya. Ia dengan sangat tampan menggunakan tuxedo hitam dengan kemeja putih sebagai dalamannya.
Mereka mulai memasuki mobil dengan keromantisan Sean yang membukakan pintu untuk kekasihnya, lalu ia melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah Erica.
"Penampilan ku sangat aneh, bagaimana menurut mu?"
Setelah berhasil memakai seatbelt di tubuhnya, Erica menatap Sean dengan sebal.
Sean menoleh sekilas ke arah gadis yang kini sedang menekuk senyumnya, lalu kembali memfokuskan pandangannya menatap jalanan. "Tidak, kamu sangat cantik dan tidak ada yang aneh dengan penampilan mu. Kalau seperti ini terus, sepertinya aku tidak sanggup untuk membunuhmu karena terlalu cantik." ucapnya.
Erica memutar bola matanya, ia lebih memilih diam dan mengulurkan tangan untuk memutar sebuah lagu yang saat ini terngiang di kepalanya. Lagu dari Kendrick Lamar - All the Stars (Feat. SZA) menjadi pilihannya saat ini.
"Bagaimana hari mu tanpa melihat wajah tampanku?" tanya Sean sambil mengulum senyumnya, pertanyaan yang ia lontarkan memang sengaja menggoda. Ia sangat suka tatapan datar milik Erica di beberapa waktu.
Erica tersenyum miring, ia tau bagaimana cara menanggapi pertanyaan laki-laki di hadapannya. "Sangat damai, aku terbebas dari laki-laki aneh seperti mu yang dapat berekspresi dalam satu waktu." balasnya, menunjukkan senyuman miring.
"Bilang saja jika kamu merindukan aku." Namun, Sean masih memegang pendiriannya.
Erica mendengus. "Jangan banyak berharap jika aku akan mengatakan itu."
Sean membelokkan mobilnya tepat pada sebuah gedung pencakar langit yang tampak menjadi sorot pandang bagi banyak orang. Laki-laki itu mengeluarkan kartu akses, lalu mulai melajukan mobil kembali ke arah basement.
Erica sudah tidak merasa terkejut lagi mengenai Sean yang selalu membawa dirinya ke tempat yang melenceng dari tujuan awal. Dan firasatnya juga sudah mengatakan jika tidak mungkin Sean bersikap manis dengan mengajaknya makan malam bersama. Astaga tidak ada seorang assassin yang termakan oleh cinta buta, terdengar seperti sebuah kemustahilan. Jika ada, ia pun tidak peduli.
"Aku memiliki sebuah pekerjaan untuk mu." ucap Sean tiba-tiba. "Kamu tarik perhatian orang ini, dan aku akan membiarkan dirimu bebas satu minggu tanpaku." Sean kembali berkata sambil mengulurkan sebuah kartu nama sekaligus kartu identitas yang hanya dimiliki oleh karyawan di gedung ini, biasa dipakai untuk mengakses lift.
"Tidak mau, huh."
"Kenapa? Bukankah itu sebuah keuntungan bagi dirimu, Erica?"
"Apanya yang menguntungkan? Membantu kamu dalam kejahatan--"
"Bilang saja tidak mampu."
Erica menaikkan sebelah alisnya merasa tidak terima dengan apa yang diucapkan Sean pada dirinya. "Ingin pembuktian? Maka kamu akan mendapatkannya." ucapnya sambil mengambil kedua kartu tersebut dari tangan Sean. Ia menatap laki-laki di sampingnya dengan senyum miring. "Apa aba-abanya?"
Dengan cepat karena tidak ingin membuang-buang waktu lagi, Sean membisikkan sesuatu tepat di telinga Erica. Melihat gadis itu yang mengangguk singkat pertanda mengerti, ia segera menjauhkan tubuhnya lalu mengambil sesuatu dari saku tuxedo miliknya.
"Pakai sarung tangan ini supaya sidik jarimu tidak tertinggal."
Erica mengambil sarung tangan tipis, ia langsung memakainya lalu sarung tangan tersebut merekat pada tangannya dengan sempurna. "Wow aku seperti tidak memakai apapun."
Banyak sekali peralatan canggih lain yang Sean dapatkan dari D. Krack. Dalam lelang pasar gelap, dengan mudahnya laki-laki itu mencuri benda-benda keren ini. Tidak seluruhnya hasil curian, ada beberapa yang di lelang dengan harga fantastis dan D. Krack tentu mampu membayar besar demi mendapatkan barang yang paling ia incar.
"Cepat bergerak, kita hampir kehabisan waktu karena pada jam sebelas malam target sasaran ku akan segera pergi ke bandara."
"Baiklah sepertinya makan malam hari ini akan tertunda sebentar, Mr. Assassin?"
Erica membenahi dirinya sebelum keluar dari dalam mobil, pantas saja Sean menyuruhnya untuk berpenampilan cantik ternyata salah satunya untuk alasan lainnya.
"Good girl, I'm waiting for you in his room. Remember, keep teasing him."
"Your sweet attitude is just bad luck for me."
Manis. Satu kata untuk Erica. Ia sama sekali tidak keberatan dengan ucapan gadisnya yang tergolong sarkastik itu. Gadis seperti Erica hanya ada satu bagi dirinya, tidak ada yang bisa menandingi apalagi menyamakannya.
"Tunggu sayang, kamu membutuhkan beberapa barang penting untuk berjaga-jaga."
Sean meraih sebuah spy pen cam yang dilengkapi dengan alat pengintai otomatis, sebuah spy camera sports glasses dengan desain classic yang tidak akan terlihat mencurigakan, dan sebuah lipstick gun atau yang biasa di sebut dengan kiss of death yang dibuat dari bahan metal dan dapat membawa peluru berukuran 4,5 milimeter.
"Dasar assassin aneh, menyimpan lipstik sebagai alat membunuhnya? Sangat manis sekali." ucap Erica dengan nada meremehkan sambil menampilkan smirk andalannya.
"Abaikan saja, aku diberi peralatan ini semua oleh salah satu temanku dan aku sendiri juga tidak berniat untuk memilih lipstik itu, ambil saja jika kamu mau."
"Tidak, terimakasih. Lagipula aku tidak akan memakai semua peralatan konyol ini."
"Dan kamu mungkin akan kalah."
Erica memutar bola matanya. "Oh ya? Jangan berharap jika aku akan kalah, karena ini adalah hal yang mudah bagiku." ucapnya sambil berjalan menjauhi mobil mewah milik Sean. Ia memasuki lift untuk segera menuju tempat yang menjadi sasarannya. Sebelum pintu lift tertutup, ia menyempatkan untuk menatap datar Sean dengan senyum miringnya.
Sean terkekeh kecil begitu tubuh Erica sudah hilang bersamaan dengan pintu lift yang tertutup. "She should be my partner to kill."
...
Next chapter