CHAPTER 3
You will not mind getting into Sean Xavon's life, because with him you will have many wonderful things.
Don't believe it? Please see for yourself and get ready to impress Sean's life.
________________________
Erica mengetuk pelan sebuah pintu yang di desain menggunakan jenis frosted glass —kaca yang terlihat buram. Ia membuka pintunya kala mendengar suara bariton dari dalam ruangan tersebut yang menyuruh dirinya untuk masuk. Ia mulai menatap seorang laki-laki yang terlihat seperti berumur hampir sepuluh tahun di atas dirinya— dari informasi yang terdapat di kartu identitas milik laki-laki itu yang tadi diberikan oleh Sean.
Dengan suara high heels miliknya yang teradu sempurna oleh lantai berwarna putih bersih ini, membuat laki-laki itu mau tidak mau langsung meninggalkan titik fokus yang sebelumnya berada pada layar laptop.
"Excuse me sir." ucap Erica dengan ramah. Ia langsung saja duduk di atas meja kerja milik laki-laki itu, menatapnya dengan seulas senyuman hangat. Tidak ada lagi ekspresi dingin yang menyebalkan, semuanya ia lakukan supaya mendapatkan perhatian penuh pada target sasaran Sean yang cukup menguntungkan bagi dirinya.
Laki-laki itu tampak berdehem kecil. "Who are you?" tanyanya, menaikkan sebelah alis.
"Ayolah, aku Gresilla Leirya karyawan disini, dan ini kartu nama milik ku sebagai buktinya." ucap Erica sambil memberikan sebuah kartu nama yang tadi di berikan Sean untuknya. Kekasihnya itu sangat cerdas, tiba-tiba saja memiliki kartu nama milik salah satu karyawan yang bekerja disana.
"Gresilla? Kenapa kamu tidak kembali bekerja, dan kemana pakaian formal mu?"
"Tuan Stone, ayolah jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam, dan kamu masih bekerja?"
"Memangnya kenapa?"
Erica melonggarkan sedikit dasi berwarna merah yang melingkar dengan sempurna di kerah kemeja milik Stone, lalu menelusuri rahang laki-laki itu dengan satu jari telunjuknya dengan gerakan yang menggoda. "Berkencan lah dengan ku." bisiknya dengan nada rendah sambil berkedip. Bibir tipis miliknya yang berwarna merah menyala menjadi satu-satunya daya tarik yang mampu membuat semua orang terpikat padanya tanpa terkecuali, termasuk Stone.
"Doesn't seem like a bad idea."
Erica tersenyum miring karena merasa berhasil memancing laki-laki tersebut, lalu mengulurkan tangannya untuk di lingkari di leher milik Stone. "Bawa aku bersama mu."
Dengan cepat, Stone langsung berdiri dari duduknya dan mengangkat tubuh ramping Erica ala bridal style.
Usaha Erica kini tidak terlalu memakan waktu, karena Stone merupakan laki-laki yang sangat mudah tergoda. Astaga, apa semua laki-laki seperti itu?
Sejujurnya, dada Erica bergemuruh saat ini. Ia belum pernah bertingkah seperti layaknya gadis murahan, kecuali saat ini. Baginya, masuk ke dalam hidup Sean membuat dirinya merasakan banyak hal yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ia rasakan. Dan kini, lagi dan lagi, ia harus merutuki persetujuannya dalam membantu Sean untuk membunuh laki-laki yang kini tengah menggendong dirinya.
"Siapa pun kamu, aku tidak peduli."
Tubuh Erica diletakkan dengan lembut di atas sofa panjang yang terdapat di ruangan tersebut. Laki-laki tersebut tampak dengan sigap melepas dasi dari kerah kemeja dan melemparnya dengan asal.
Erica merapalkan kalimat kasar sampai Sean keluar dari rencana. Ia berharap tidak terjadi apapun pada tubuhnya. Ia sudah berpenampilan secantik ini dengan durasi mempersiapkan diri selama dua jam lamanya, belum lagi ia harus terbiasa dengan make up yang lebih membuat wajahnya terlihat mempesona.
"Dan aku juga tidak peduli siapapun kamu."
Belum sempat Stone menyentuh pipi mulus milik Erica, puluhan kelopak mawar hitam seolah tengah menyapa tubuhnya. Ia berbalik badan, dan menemukan Sean sedang bersandar di dinding sambil memegang setangkai mawar hitam yang masih segar.
"Sean Xavon?!" pekik Stone dengan wajah ketakutan.
"Ya, kamu menyebutkan nama ku." balas Sean sambil menyibakkan rambutnya ke belakang, ia memang sering melakukan hal ini karena merasa keren. Erica yang melihat itu hanya memutar bola matanya, di pandangannya malah terlihat seperti laki-laki aneh yang sok keren.
"Pertama-tama, aku ingin memberi sedikit presentasi sebelum aku menghabisi dirimu." ucap Sean sambil memasukkan mawar hitam itu ke saku dalam jas tuxedo miliknya. Ia melangkah mendekati Stone yang berdiri kaku dengan pelipisnya yang sudah mulai dibanjiri oleh bulir keringat.
Sean menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia menatap intens kedua manik mata milik Stone dengan tatapan tanam penuh introgasi. "Beberapa orang mengartikan mawar hitam sebagai simbol kedukaan, kamu tau hal itu?" tanyanya, menjelaskan.
Stone mengangguk ragu sambil meneguk salivanya dengan kasar. Ia benar-benar tidak pernah kepikiran jika seorang Sean akan menjadikan dirinya target sasaran dalam tugas assassin-nya.
"Jadi, setelah semua orang tau jika seorang Stone sudah tiada, maka sebagian dari mereka akan berduka, dan sebagian lagi akan merasakan sebuah kepuasan. Dan sebagian orang yang merasa puas itu adalah aku." ucap Sean sambil menyodorkan sebuah pistol Ruger Super Redhawk 454 Casull, tepat ke arah kepala Stone.
//Fyi; Ruger Super RedHawk dilengkapi dengan lensa bidik yang membuatnya mampu meletuskan peluru dengan sangat akurat. Kecepatan pelurunya sendiri bisa mencapai 1.900 kaki per detik. Kombinasi akurasi dan kecepatan ini disempurnakan dengan deretan peluru sebesar 240 gram. Termasuk dari kategori 5 pistol mematikan di dunia.//
Sean bukan seseorang yang menunda pekerjaan —kecuali di saat melakukan rencaha pembunuhan terhadap Xena, ia mengulur banyak sekali waktu—.
DOR (suara tembakan)
Dalam hitungan detik, tubuh Stone langsung terkulai tidak berdaya di lantai dengan darah yang berlumuran.
Ia menaikkan senyum miringnya. Lalu memasukkan kembali salah satu pistol andalannya ke dalam saku tuxedo miliknya. Ia melangkah mendekati jasad Stone. "Berani bertindak tapi tidak berani bertanggung jawab." Setelah itu, matanya mulai menatap Erica yang sudah memalingkan wajahnya, gadis itu lebih memilih memperhatikan jajaran rak buku yang terdapat di ruangan tersebut.
"Ingin meninggalkan lokasi atau tidak?" tanya Sean karena sejak tadi Erica berdiam diri.
Erica menoleh ke arah Sean, lalu menatap laki-laki itu dengan malas. "Iya."
Selesai sudah tugasnya saat ini.
Sean mengangguk, lalu menghampiri Erica dan segera menggendong gadis itu ala bridal style. "Kita harus segera keluar." uapnya sambil berjalan menuju jendela yang mengarah pada sebuah balkon. Di sana sudah ada sebuah helikopter yang menunggu kedatangan dirinya.
"Sejak kapan ada helikopter?" Tanya Erica merasa bingung.
"Jangan banyak tanya."
Dalam pikiran Erica saat ini, apa semua assassin memiliki sifat yang mudah berubah-ubah sama seperti Sean?
Sean menurunkan tubuh Erica, lalu mengarahkan supaya gadis itu meraih tangga yang di ulurkan oleh seseorang di dalam helikopter. Dengan cekatan Erica menaiki tangga tersebut, bagaimanapun mereka harus segera pergi dari sini.
Setelah itu, Sean berhasil menyusul Erica.
"Yo, Sean. Gadis mu semakin mempesona saja." ucap D. Krack sambil menarik kembali tangga tali yang ia ulurkan tadi.
Tidak perlu di tebak lagi siapa sosok yang berada di helikopter itu. D. Krack, laki-laki itu tengah menatap Erica dari atas sampai bawah.
Sean melayangkan tatapan mematikan, sedangkan Erica sudah mengangkat bahunya merasa tidak peduli dengan percakapan mereka sambil menempatkan bokongnya pada posisi kursi yang berada di samping laki-laki si pengemudi helikopter.
"Jangan coba-coba merayu gadis ku." ucap Sean dengan sinis, ia seperti siap untuk membunuh D. Krack karena telah memuji Erica di hadapannya, jika tidak mengingat semua jasa laki-laki itu untuk dirinya.
D. Krack terkekeh, lalu menepuk pundak Sean. "Memangnya siapa yang berani menyentuh apa yang sudah menjadi milik Sean Xavon?"
Sean tersenyum miring. "Great."
Mereka semua segera duduk di kursi masing-masing dan memasang alat pengaman supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Setelah itu, helikopter segera meninggalkan gedung pencakar langit itu.
Mengenai mobil milik Sean yang tertinggal di basement gedung ini, anak buah D. Krack sudah mengurusnya dengan sangat baik, tenang saja.
Dan kini, mereka menuju tempat pendaratan helikopter dengan hati Erica yang sudah bersorak riang karena satu minggu tanpa Sean seperti kemustahilan yang terwujud karena ia berhasil memenangkan perjanjian mereka.
....
Next chapter