CHAPTER 5
Love is not measured by your background and who you are. Love is also not measured by how romantic the meeting is. Love is measured by how you treat someone, by how you look, and by what you have sacrificed to keep you by their side.
____
"Come on, don't act silly, you sound annoying."
Erica kini sudah duduk di atas ranjang big size miliknya, di temani oleh sinar laptop yang memasuki matanya karena ia sedang melakukan panggilan video dengan laki-laki di seberang sana yang terlihat masih menggunakkan tuxedo kebanggaan.
"Haha, tidak ada yang menyebalkan. Oh ya, sudah menerima kado dari ku?"
Ya, itu adalah Sean yang kini masih setia menunggu aba-aba dari costumer selanjutnya. Hari yang melelahkan bagi seseorang yang tidak terbiasa dengan apa yang dilakukan oleh Sean. Laki-laki tersebut memiliki 5 job membunuh tepat dari seharian ini.
Dan ya, jam masih menunjukkan pukul 10 malam yang berarti Sean masih memiliki waktu 2 jam sebelum menyentuh tengah malam.
Erica menganggukkan kepala, ia berusaha untuk tidak tersipu malu. "Tentu saja, dalam rangka apa kamu memberikan ku kado seperti itu? aku mencurigai mu," tanyanya sambil berdehem kecil.
"As a celebration, you do. And by agreement, I'll give you a week of free time without me." balas Sean sambil menyesap Cangklong, ia sedang merokok tembakau.
Erica terdiam beberapa detik, setelah itu menganggukkan kepala. "Ya, aku akan terbebas dari kutu semacam hama." gumamnya.
Tidak menyangka Sean akan mendengar itu, Erica mendapatkan deheman seperti menegur dari laki-laki yang kini terlihat di layar laptopnya.
"Apa?" tanya Erica dengan nada datar, ia sendiri pun tidak peduli jika Sean akan tersinggung dengan perkataannya.
"Perkataan mu seperti racun, tapi aku menyukainya." balas Sean, tidak di sangka-sangka ia merespon dengan tenang.
"Sir, sorry to be presumptuous. You better get out soon because the target is in sight, he's at the end of the road, seen entering a sweet bakery." Ini suara bariton lainnya, bukan suara Sean.
Erica menyimak percakapan mereka yang berada di seberang telepon.
Sean tampak menganggukkan kepala, terlihat arah pandangnya tak lagi melihat ke layar. "How long will it take us to get a chance if the target is invisible to the guards?" tanyanya, mulai serius.
"There's no possibility. But I've hired a woman to make the target go to the toilet, that's the only place that will be free of bodyguards."
"Gimme a minute,"
Erica mengerjapkan kedua bola mata kala Sean langsung menabrakkan pandangan ke arahnya, ia menjadi tersipu malu. "E-eh?"
"Aku ada pekerjaan, ingin menyaksikan atau bagaimana? Kalau iya, aku bisa menghubungkan mu dengan penglihatan ku melalui camera hidded spy pen yang berada di saku tuxedo ku." Sean izin pamit, namun masih saja menawarkan hal lainnya.
Tentu saja Erica menggelengkan kepala. "Kau gila, sudah sana kembali ke pekerjaan mu dan jangan pernah libatkan aku."
"Oke, good night sweety."
"Ya, night."
Panggilan telepon terputus, setelah itu menghembuskan napasnya dengan perlahan.
Sejujurnya, menjadi kekasih seorang Sean adalah hal terburuk yang pernah menjadi keputusannya. Apalagi, teman-teman Sean kenal dengannya. Tak terkecuali, takutnya para kriminalitas yang tidak menyukai laki-laki itu, bisa saja menjadi mengincarnya. Dan intinya, hidup Erica mulai tidak aman setelah ini.
"Sebaiknya aku tertidur."
Erica merenggangkan kedua tangan terlebih dulu untuk menghalau rasa pegal yang terasa, setelah itu mulai menidurkan tubuh di ranjang. Ia memejamkan kedua bola mata, berharap akan di suguhkan dengan mimpi yang indah.
"Don't mess things up, or I'll kill you."
Belum ada satu menit Erica memejamkan mata, kini ia harus membelalakkannya kembali karena terkejut juga. "What?" Ia kebingungan, menyingkap selimut yang tadinya telah menutupi setengah bagian tubuhnya.
Dengan segera, Erica mencari sumber suara. Dan ya, ternyata layar laptopnya kembali menyala, menunjukkan penglihatan dari sudut pandang Sean. Bahkan… ia bisa melihat dengan jelas wanita berpakaian waitress seksi, membuatnya berdecih tidak suka.
"Waitress toko roti macam apa yang berpakaian layaknya wanita disco? Mencari perhatian!"
Erica memutar kedua bola matanya, mau tidak mau harus menyaksikan apa yang terpampang jelas di layar laptopnya. "Sean was so stubborn I said… I didn't want to watch but he automatically reconnected with my laptop, jerk." gumamnya.
Sedangkan di sisi lainnya, Sean kini sedang bersampingan dengan Theo. Theo adalah asisten barunya, entahlah ini semua adalah ide D. Krack yang menyuruhnya untuk memberikan pelatihan kepada laki-laki tersebut.
Sebenarnya sih ini sangat merepotkan. Namun untuk membalas segala jasa D. Krack, tentu saja ia menyetujui hal ini dan melakukan pekerjaannya sebaik mungkin seperti sebelumnya.
Ia juga berhadapan dengan seorang wanita yang bekerja sebagai pelayan di toko sana. Tentu saja termasuk dari kesepakatan, kerjasama, dan juga bayaran yang setimpal.
"Sudah mengerti dengan bagian mu?" Sean bertanya, ia dengan pakaian layaknya seorang laki-laki berkelas dengan tuxedo. Ia akan berada di lokasi, tentu saja. Dan ya, lagi-lagi dengan penyamaran menggunakkan kumis palsu dan tambahan brewok yang malah terlihat lebih muda dan dewasa.
Namanya Oveline, dia adalah wanita yang bekerja sebagai pelayan, kalian percaya? Ya, ia hanyalah kerja sampingan. Sejujurnya, Oveline termasuk wanita jasa bayaran untuk membantu para kriminalitas menjalankan pekerjaan mereka dengan mulus dan tidak akan menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya.
"Tentu saja aku mengerti, tampan." balasnya dengan nada bicara menggoda, ia mengedipkan sebelah matanya.
Tentu saja Sean tidak tertarik akan hal itu. Wanita penggoda seperti Oveline bukanlah seleranya, bahkan sepertinya hal itu berlaku permanen sejak Erica masuk ke dalam hidupnya.
Theo menatap Oveline dengan sebelah alis yang terangkat. Ia mengernyit, namun setelahnya mengangkat senyum layaknya smirk. "Jangan menggoda Sean, kau tau jika dia tidak akan menanggapi mu. Enyah lah, lakukan pekerjaan mu."
Oveline menatap Theo dengan sinis, semburat merah jambu terlihat di pipinya, ia malu dengan kenyataan yang memang benar adanya jika Sean tidak akan menanggapi godaannya.
"If you hear what Theo has to say, you'd better do it right away." ucap Sean.
Theo tertawa. "Don't go too far, do your part." ucapnya, kembali mengingatkan sekaligus menyadarkan wanita tersebut.
Oveline berdecak, setelah itu meniup poni-nya. "Alright, I'll do my best for handsome Sean." Ia mulai melangkah memasuki pintu belakang toko roti manis tempatnya bekerja.
Dan ya, ini adalah kesempatan Sean dan Theo.
"Jangan sampai ada seseorang yang mengenali penyamaran mu, Theo."
"Bagaimana bisa? Aku anak baru di dalam dunia pembunuh bayaran ini."
"Kau lupa jika saat ini bersama Sean Xavon? Jangan banyak berbicara, lakukan tugas mu sebaik mungkin."
Theo menganggukkan kepala. Ada kalanya Sean berbaik hati padanya, bahkan terbilang ramah. Namun, ia belum mendapati kemurkaan seorang Sean, bisa saja emosi dan secara tidak sadar membunuhnya di tempat, iya kan? Walaupun mereka menjadi partner, itu tak menutup kemungkinan.
"Well, I will always hold on to the trust you have placed in me."
Sean membenarkan letak camera hidded spy pen pada saku tuxedo miliknya. "Erica, this act will be fun entertainment for me. Happy watching, love you."
…
Next chapter