Milly sedang duduk termenung di sofa. Matanya memandang ke arah televisi, tapi pikirannya berkelana ke mana-mana.
Ia teringat pada putra semata wayangnya yang tidak suka pulang ke rumahnya. Ben lebih suka tidur di rumahnya daripada harus menemaninya di rumah ini.
Selama gadis, Milly memang terbiasa tinggal sebatang kara di rumahnya ini. Namun, setelah Nicholas, suaminya meninggal, ia tidak suka tinggal sendirian.
Milly berharap jika Ben mau pulang dan menemaninya di sini supaya ia tidak kesepian. Selama dua puluh dua tahun ia mengurus dan membesarkan Ben tanpa suami. Ia sudah terbiasa mendengar ocehan Ben dan tingkah lakunya yang menggemaskan.
Kini Ben sudah menjadi seorang bujang yang ternyata cukup digandrungi oleh para wanita. Milly tahu jika putranya itu memiliki banyak kekasih. Namun, Milly berharap jika Ben akan segera menemukan cinta sejatinya.
Sudah beberapa kali Milly mengirimi Ben pesan singkat dan beberapa panggilan yang tidak dijawab oleh Ben. Hati Milly sedih karena putranya sekarang lebih senang sibuk di dunianya sendiri daripada menemaninya di rumah walau hanya sebentar saja.
Milly pun menatap foto suaminya di layar ponselnya. Wajah Nicholas akan selalu ia kenang meski dua puluh dua tahun sudah pria itu pergi meninggalkannya.
Saat itu, Milly sedang hamil Ben. Preston menculiknya dan hendak memerkosanya. Namun, Nicholas berhasil menemukannya. Saat mereka hendak kabur dari sana, tiba-tiba Preston menyusul dan kemudian menusuk Nicholas hingga ia terjatuh ke jurang.
Hingga saat ini, tubuh Nicholas tidak pernah ditemukan. Semua orang telah menganggap Nicholas telah meninggal, tapi jauh dalam lubuk hati Milly yang paling dalam, Nicholas mungkin masih hidup dan selamat.
Kemungkinan itu sangat kecil. Buktinya hingga dua puluh tahun berlalu dan Nicholas tidak pernah muncul dalam hidupnya.
Ben selalu menyuruh Milly untuk menerima cinta Liam dan menjadikannya sebagai suami pengganti Nicholas. Hal itu mustahil. Bagi Milly, Liam hanyalah seorang teman, sahabat.
Pria itu hadir tepat saat Milly hendak melahirkan Ben. Pada waktu itu, Liam hendak menikah dengan calon istrinya, tapi pernikahannya gagal karena sang wanita berselingkuh.
Hingga sekarang, Liam terus berhubungan dengan Milly walau hanya sebatas teman. Liam pernah menyatakan cintanya pada Milly, tapi Milly telah menolaknya. Cintanya pada Nicholas adalah yang pertama dan terakhir, untuk selamanya.
Tiba-tiba, sebuah deru mesin mobil membuat Milly terkejut. Ia segera menaruh remot TV di meja dan bergegas untuk membuka pintu.
"Hai, Mom!" seru Ben dari kaca jendela mobilnya yang baru saja diturunkan.
"Hai, Ben!" balas Milly dengan wajah yang langsung berubah sumringah.
Ia tak menyangka jika putra semata wayangnya itu akan mengunjunginya. Lalu ia segera membukakan pintu pagar agar mobil Ben bisa diparkir di sebelah mobilnya.
Putranya itu kemudian turun dari mobil dan menyerahkan sesuatu ke tangan Milly. Senyuman Ben begitu mirip dengan senyuman Nicholas. Bagaimana mungkin Milly bisa melupakan Nick? Setiap memandang Ben, maka Milly akan seperti memandangi suaminya.
"Apa ini?" tanya Milly sambil mengernyitkan dahinya.
"Ini oleh-oleh Bandung dari mamanya Jihan," kata Ben menjelaskan.
Lalu mereka sama-sama masuk ke dalam rumah. Milly pun menaruh keresek itu di dapur dan mengerluarkan isinya.
"Ya ampun, padahal mereka tidak perlu repot-repot mengirimiku oleh-oleh," ujar Milly yang sebenarnya senang. Sudah lama sekali, ia tidak pernah berkunjung ke Bandung lagi. "Tolong sampaikan terima kasihku pada mamanya Jihan ya."
"Iya, Mom. Aku sudah mengucapkannya, tenang saja," ujar Ben yang kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dan mengganti saluran televisinya.
Milly mengeluarkan pisang bolen dari dus dan menaruhnya di pisin kecil. "Kamu mau pisang bolennya, Ben?"
"Ah, tidak usah. Aku sudah makan tadi saat di rumah," jawab Ben.
"Baiklah."
Milly hanya mengambil pisang itu untuk dirinya sendiri. Lalu ia duduk di sebelah Ben dan tersenyum.
"Mommy senang sekali melihatmu datang ke sini," ucap Milly dengan wajah penuh kerinduan.
"Ah, ada apa, Mom? Apa Mommy sedang merindukan dad lagi?" ujar Ben membuat Milly mendesah.
"Ya, tentu saja. Aku akan selalu merindukan dad," ucap Milly jujur. "Kalau saja kamu mau mendengarkan kata-kataku. Aku lebih suka kalau kamu tinggal di sini, bersamaku."
"Mom, aku kan sudah pernah memberitahumu," kata Ben dengan wajah yang tampak jengkel. "Aku ingin mandiri dan belajar hidup menjadi seorang bujang. Kalau aku terus menerus tinggal bersama Mom, kapan aku bisa dewasa?"
"Kamu memang belum sepenuhnya dewasa, Sayang," timpal Milly.
"Ah, sudahlah, Mom. Aku tidak mau membicarakan tentang ini. Kalau Mommy mau bertengkar denganku tentang ini, maka aku akan pulang saja."
"Eh, tunggu dulu!" cegah Milly yang langsung meremas tangan putranya. "Kita ini jarang sekali berbincang-bincang. Kenapa kamu ingin cepat-cepat pergi? Kamu sudah tidak ingin melihat ibumu lagi?"
"Mom …."
"Ben, aku pun tidak ingin bertengkar denganmu. Kita tidak usah membahas soal rumah lagi, oke? Kamu boleh tinggal di rumahmu, sesuka hatimu, tapi kamu tidak boleh lupa untuk selalu mengunjungiku. Oke? Do you understand?"
"Yes, Mom. Aku akan sering-sering berkunjung … kalau aku sempat. Oh ya, Mom, boleh tidak jika aku mengajak temanku untuk mencoba beberapa gaun di butik? Dia akan pergi ke prom dan tidak tahu harus mengenakan apa."
Milly menatap kedua mata putranya yang seketika berbinar-binar saat sedang menginginkan sesuatu darinya. "Hmmm, silakan saja. Memangnya siapa temanmu itu? Natasha?"
"No!" tukas Ben segera. "Aku dan Natasha tidak ada hubungan apa-apa."
Milly mendecak. "Yang benar saja. Aku melihat kalian berciuman. Mana mungkin kalian tidak ada hubungan spesial. Omong-omong, aku tidak melihatnya di kelas yoga."
"Ah, aku dan Natasha itu tidak ada hubungan apa-apa, Mom. Sungguh! Wanita itu yang terlalu agresif dan senang memaksaku."
Milly terkekeh pelan. "Jadi anakku dipaksa oleh seorang gadis?"
"Mom, aku minta agar Mommy jangan pernah menjodohkanku dengan Natasha. Aku tidak menyukainya, Mom." Ben berubah cemberut.
"Iya, iya. Baiklah, aku tidak akan menjodohkanmu dengannya. Kalau begitu, kamu suka pada siapa? Jihan?"
Mata Ben melebar. "Mom! Jihan itu sahabatku. Aku tidak akan berpacaran dengan sahabatku sendiri. Hal itu hanya akan membuat persahabatan kami jadi hancur. Aku tidak menginginkan hal tersebut."
"Jadi? Bagaimana?" Milly mengangkat sebelah alisnya.
"Ya, tidak bagaimana-bagaimana."
"Kamu sekarang berpacaran dengan siapa?"
"Oh." Ben tersenyum.
"Apa wanita yang akan kamu bawa ke butik ini?"
"No!" Lagi-lagi Ben mengatakan tidak. Milly jadi bingung dibuatnya. "Deviana itu adalah kakak tingkat. Dia sedang membutuhkan gaun untuk acara prom. Aku hanya membantunya saja, tidak lebih dari itu."
Milly mengangguk perlahan. "Hmmm, begitu ya. Apa kamu tidak akan memberitahu siapa wanita yang telah mengambil hatimu?"
"Ada satu, tapi hubungan kami tidak berjalan dengan mulus. Aku tidak akan pernah bisa memilikinya."
"Oh ya?"
Ben mengangguk. "Ya. Meski aku playboy, tapi aku masih paham beberapa aturan, meski aku lebih banyak melanggarnya. Mom, tahukah kamu jika mencintai seseorang yang tidak boleh kita miliki itu sangat menyakitkan."