"Hu uh! Kamu itu menyebalkan!" keluh Selena, tapi Ben tahu jika wanita itu tampaknya mulai luluh hatinya.
"Ayo kita nongkrong dulu di kantin!" ajak Ben sambil menarik tangan Selena.
Awalnya Selena tampak seperti yang menahan tangannya, tapi akhirnya ia menurut juga untuk mengikuti Ben. Lalu Ben membelikan Selena minuman teh lemon hangat.
"Len, aku pikir kamu masih sakit." Ben pun berhasil memegang dahi Selena yang berkeringat. Dahinya terasa dingin, tapi wajah Selena tidak terlihat sehat.
"Aku sudah minum obat tadi. Nanti juga aku sembuh," ucap Selena sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.
"Len, kenapa kamu malah datang ke kampus?"
"Aku merindukanmu, Ben!" ucap Selena mengaku. "Aku tidak sabar untuk bertemu lagi denganmu. Kamu selalu saja sulit dihubungi. Aku hanya bisa mengirimu pesan singkat, tapi itu tidak cukup untukku. Aku ingin kamu memanjakanku."
Ben tersenyum tipis. "Begitu ya. Jadi, aku harus bagaimana?"
"Kamu harus mengantarkanku pulang, lalu memanjakanku di rumahku. Oke?"
Selena tersenyum cerah, lalu ia menyedot minumannya dan terbatuk. Suara batuknya begitu tebal seperti ada banyak dahak yang menyangkut di tenggorokannya.
"Kamu masih batuk. Apa kamu membawa obat batukmu?" tanya Ben.
"Tidak. Aku lupa membawanya. Sudahlah, tidak apa-apa. Nanti saja di rumah."
Setelah itu, Ben mengantarkan Selena menuju ke kelasnya. Kebetulan kelas Ben dan Selena berbeda. Jadi mereka berpisah.
Sementara itu, Ben bertemu dengan si judes Briella. Wanita itu telah mencatok rambutnya menjadi ikal di bagian bawahnya dan kemudian mengikatnya setengah hingga membentuk ekor kuda yang mengesankan.
Saat wanita itu lewat di depan Ben, ia bisa menghirup aroma parfum wanita itu yang sangat ia hafal. Betapa herannya Ben karena ia malah mengingat aroma parfum wanita itu.
Ia bahkan tidak begitu ingat seperti apa parfum Lisa atau Jihan. Namun, wanita yang paling ia benci malah ia bisa ingat segalanya tentang wanita itu.
Briella tampak angkuh, duduk bersama Vanessa sambil memeluk buku yang tebal. Ben tergerak untuk menyapa wanita itu dan menggertaknya sedikit.
"Tampaknya kamu bisa tidur dengan nyenyak semalam," sindir Ben sambil duduk di sebelah Briella.
Wanita itu sontak menoleh dan wajahnya langsung diliputi ketegangan. "Apa yang kamu lakukan di sini?! Menjauhlah! Jangan dekati aku!"
Ben terkekeh. "Kamu ini amnesia ya? Aku ada kelas di tempat ini. Memangnya kamu pikir kampus ini milik kamu?"
Briella mendengus sambil memalingkan wajahnya, tapi kemudian ia melirik dengan gayanya yang sombong.
"Sepertinya kamu belum merenungkan kesalahanmu ya." Ben menyunggingkan senyum separuhnya.
"Memangnya aku salah apa?" tantang Briella. Vanessa menyikutnya dan kemudian menggelengkan kepalanya dengan wajah yang mengernyit. "Apa?! Aku kan tidak salah apa-apa!"
"Oh ho ho. Ya sudahlah. Kamu kan memang selalu benar, Tuan Putri. Bersiaplah untuk melaksanakan tanggung jawabmu itu!"
"Tanggung jawab apa?!"
Ben mendecak sambil menggelengkan kepalanya. "Tampaknya kamu benar-benar mengalami amnesia. Aku akan menyadarkanmu sedikit."
Ben mengeluarkan ponselnya dan menunjukkannya ke depan wajah Briella. "Sudah bisa mengingat sesuatu?"
Briella menjauhkan tangan Ben dengan wajah yang masam. "Sudahlah. Kamu itu terlalu naif. Aku akan menggantikan ponselmu yang rusak itu. Memangnya berapa harganya? Lima juta? Sepuluh juta? Berikan saja nomor rekeningmu itu."
"Uang itu nilainya kecil bagiku, El yang cantik. Aku tidak butuh uangmu," ucap Ben membuat Briella melebarkan matanya.
"Apa kamu bilang?"
"Uang itu tidak seberapa. Apa kamu juga tuli?" Ben menggelengkan kepalanya. "Sepertinya aku harus membawamu ke dokter."
"Selamat siang, Pak," sapa semua murid di kelas itu.
Pak Adrian masuk ke dalam kelas dan kemudian mengambil spidol untuk menulis sesuatu di papan. Dosen itu memberi sebuah tugas pada semua murid untuk membuat laporan yang ia inginkan.
Selesai kelas, Ben menarik tangan Briella dengan kasar hingga membuat wanita itu tersentak kaget. Vanessa terperangah dan membiarkan Ben membawa sahabatnya.
"Lepaskan tanganku!" seru Briella dengan mata yang membelalak.
"Tidak akan!"
Ben membawanya ke tempat yang lebih sepi di dekat taman. Ia harap Selena tidak akan melihat mereka di sana. Jika wanita itu sampai melihatnya dengan Briella, bisa jadi Selena akan marah-marah lagi.
Lalu Ben pun melepaskan tangan Briella dan menyuruhnya untuk duduk.
"Untuk apa kamu membawaku ke sini?!" seru Briella dengan napas yang terengah-engah.