Lalu Ben pun melepaskan tangan Briella dan menyuruhnya untuk duduk.
"Untuk apa kamu membawaku ke sini?!" seru Briella dengan napas yang terengah-engah. Lalu ia menggosok-gosok tangannya yang sepertinya agak merah.
"Pembicaraan kita belum usai," ucap Ben sambil mengangkat sebelah alisnya.
Briella mendecak. "Kamu itu sangat menyebalkan!"
"Kamu juga! Ingat ya! Aku ini tidak butuh uangmu sepeser pun! Aku hanya ingin kamu tanggung jawab," ucap Ben sambil menyunggingkan senyumnya yang licik.
"Apa maumu?"
"Kerjakan tugas yang Pak Adrian katakan tadi untukku. Oke? Kalau kamu membuatnya asal-asalan, aku akan terus mengganggumu sampai kamu menyerah untuk kuliah di tempat ini lagi."
"Apa?!" teriak Briella. "Memangnya kamu pikir aku ini pembantumu?!"
Ben pun tertawa puas. "Ya, anggap saja begitu. Kamu sudah berjanji akan bertanggung jawab bukan? Aku rasa kamu adalah orang yang paling menepati janjimu."
Briella membelalak dan kemudian ia berteriak, "Kapan aku pernah berjanji untuk menjadi pembantumu?!"
Ben kembali tertawa. "Kamu itu lucu sekali, Ella Sayang. Aku suka wajahmu yang judes itu. Pertahankan ya karena aku akan melihatmu seperti itu setiap hatinya."
Lalu Ben berdiri dan menyugar rambutnya. "Jangan lupa untuk mengerjakan tugasku, oke?"
Ben pergi dari sana dan tidak peduli saat Briella melempar bukunya asal. Lalu Ben pun bergegas pergi untuk menghampiri Selena.
Kekasihnya itu tampak murung, duduk seorang diri di perpustakaan. Wajahnya masih pucat dan ia belum terlihat sehat.
Ben segera menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Ia langsung menaruh tangannya di dahi Selena sambil mengernyit.
"Kamu masih demam," bisik Ben.
"Iya, seharusnya aku membawa obatku ke kampus," ucap Selena yang juga berbisik.
"Ya sudah, biar aku belikan obat untukmu ya. Kamu tunggu di sini sebentar," kata Ben sambil tersenyum.
Selena mengulurkan tangannya untuk mencegah Ben, tapi terlambat. Ben sudah bergerak cepat dan pergi dari sana.
Ben pergi membeli obat di mini market. Setidaknya, ia harus menunjukkan perhatiannya pada Selena agar wanita itu tidak tampak menyedihkan. Wanita itu sakit bukan hanya dibuat-buat, tapi memang benar-benar sakit.
Tak lama kemudian, Ben pun kembali dan melihat Selena sedang berbincang-bincang manis dengan Patrick.
Ben cukup mengenal pria itu sebagai salah satu mahasiswa termalas sekampus. Namun, meski ia pemalas, banyak mahasiswi yang tertarik padanya karena ia berwajah tampan dengan tubuh tinggi dan atletis.
Menurut pengakuan Jihan, Patrick bahkan memiliki sikap yang jauh lebih terpuji daripada Ben. Hal itu membuat Ben jadi tidak menyukai pria itu.
Ben segera menghampiri Selena dan kemudian duduk di sebelahnya.
"Sayang, maaf ya karena lama menungguku. Ini obatnya. Langsung diminum ya," ucap Ben tanpa mempedulikan Patrick.
Lalu ia membukakan bungkus obat itu dan membantu Selena untuk meminum obat. Selena tampak canggung melihat sikap Ben yang over protektif padanya.
Ben mengambil tisu dan membantu mengelap bibir Selena yang basah sedikit karena air minum. Patrick hanya tersenyum menatap Ben yang jadi perhatian berlebihan pada kekasihnya.
"Len, sepertinya aku mengganggu kalian," ujar Patrick pada Selena.
"Oh, tidak, tidak. Kamu sama sekali tidak mengganggu. Ya kan, Ben?" Selena menoleh pada Ben yang sedang menatap Patrick dengan tajam.
"Hmmm, tergantung. Memangnya apa saja yang kalian bicarakan?" tanya Ben dengan nada menuduh.
Selena menyeringai. "A-aku dan Patrick tidak membicarakan apa-apa. Kami hanya …."
"Aku melihatnya agak pucat di kelas," kata Patrick dengan suaranya yang dalam. "Jadi, aku berniat untuk mengantarkannya ke dokter."
"Ah, begitu ya," ujar Ben sambil mengernyitkan wajahnya. Ia jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya pada Patrick. "Memangnya sejak kapan kamu masuk kelas?"
"Aku memang selalu mengikuti kelas-kelasku," ungkap Patrick penuh percaya diri. "Mungkin karena kita berada di kelas yang berbeda, jadi kamu tidak pernah melihatku. Ya kan, Len. Tadi kan kita sekelas."
"Eh, iya. Tadi aku memang sekelas dengan Patrick," ujar Selena dengan wajah yang semakin pucat. "Sebenarnya, kamu tidak perlu berkata seperti itu Ben. Bukan urusanmu dia masuk kelas atau tidak."
Ben menghela napas. "Jadi, kamu mau ikut dengan Patrick ke dokter?"
"Aku tidak—"
"Ya, kalau begitu maumu, silakan saja. Aku tidak akan melarang."
Ben langsung bangkit berdiri dan pergi meninggalkan Selena.
"Ben! Tunggu dulu!" seru Selena yang langsung mengejarnya.