"Ben! Tunggu dulu!" seru Selena yang langsung mengejarnya.
Wanita itu menarik-narik tangannya sambil merengek-rengek. "Ben, please. Jangan tinggalkan aku! Aku kan tidak berkata ingin pergi ke dokter dengan Patrick."
"Lepaskan tanganku," ucap Ben tegas.
"Ben, aku mohon. Aku hanya ingin bersamamu."
Tangan Selena terasa panas. Ben merasa kesal karena wanita itu membuatnya tidak bisa meledak marah karena ia memang benar-benar sedang sakit.
"Len, apa kamu baik-baik saja?" tanya Patrick yang mendekati mereka. "Sepertinya Ben baru saja bersikap kasar padamu."
"Uhm … aku tidak apa-apa," cicit Selena sambil memalingkan wajahnya.
"Santai saja, Bro. Kamu tidak perlu bersikap kasar pada Selena. Dia kan sedang sakit," ujar Patrick dengan wajahnya yang menyebalkan.
Ben mendengus kesal dan kemudian ia menoleh, menatap Selena yang sedang menunduk. Lalu ia kembali menatap Patrick. "Sebaiknya kamu tidak usah ikut campur. Selena itu pacarku!"
Selena mendongak dan menatap Ben dengan mata yang berbinar-binar. Setelah itu, Ben pergi dari sana.
Selena segera mengejar Ben sambil memanggil-manggil namanya. "Ben! Tunggu aku!"
Tangannya pun segera mencengkeram lengan Ben, mengikuti langkahnya yang cepat seperti sedang mengebut.
"Pelan-pelan, Ben. Kepalaku pusing," ucap Selena dengan suara yang kecil.
Ben mendesah dan kemudian menoleh pada Selena yang dahinya tampak berkeringat. Akhirnya, Ben pun tidak tega dan mengurangi kecepatan langkahnya.
Mereka berjalan menuju ke parkiran dan Ben pun segera membawa Selena ke rumah sakit. Ben membantu Selena untuk mendaftar dan kemudian mereka pun sama-sama duduk di depan ruang tunggu poli rawat jalan.
Tiba-tiba, Selena menggenggam tangan Ben. "Kamu masih marah padaku, ya kan?"
"Hmmm," gumam Ben sambil menatap lurus ke depan.
"Maafkan aku, Ben. Kamu tidak perlu marah padaku. Patrick tiba-tiba datang dan berbicara padaku. Hanya itu saja." Selena berusaha meyakinkan Ben.
Namun, Ben tidak peduli lagi. Ia sudah terlanjur kecewa pada Selena. Bagaimana bisa Patrick mengganggu kekasihnya ketika ia sedang berbaik hati, pergi membelikan obat untuk Selena?
"Ayolah, Ben. Masa kamu segitu saja marah padaku? Aku kan tidak salah apa-apa."
Ben diam saja, tidak mau menjawab perkataan Selena. Sesungguhnya, ia sadar betul jika ia pun telah mengkhianati Selena, lebih dari apa pun. Ia seringkali tidur dengan beberapa wanita, terutama Lisa.
Perasaannya pada Lisa bahkan cukup kuat hingga ia berpikiran untuk memiliki Lisa yang padahal sudah memiliki suami dan anak. Ben memang sudah gila dan hilang akal.
Namun, melihat sikap Patrick yang seolah menantang Ben dan merendahkannya, membuat Ben jadi geram.
Selena tampak tersenyum-senyum senang melihat Patrick menghampirinya. Ben sungguh cemburu dan kesal bukan main.
Ben memang pria egois. Namun, tak ada salahnya jika ia ingin memiliki kekasih yang hanya untuk dirinya sendiri. Ia tidak ingin membagi kekasihnya dengan pria mana pun juga.
Lalu sang perawat memanggil nama Selena. Mereka pun sama-sama masuk ke dalam ruang periksa. Sang dokter menyambut mereka dengan ramah.
"Halo. Dengan pasien Selena Kristiana?" tanya sang dokter.
Ben mendengus pelan. Bukankah nama Selena sudah tertera di catatan medis yang sedang dokter itu pegang? Untuk apa menanyakannya lagi.
Ben mendelik pada sang dokter yang wajahnya lumayan tampan. Dokter itu mengenakan kacamata, bertubuh tinggi, atletis, dewasa, tapi dengan senyuman konyol yang menyebalkan.
"Ya, Dok. Saya Selena."
"Silakan berbaring di sana," ucap sang dokter sambil mengulurkan tangannya ke arah ranjang pasien.
Lalu dokter itu bertanya, "Keluhannya apa?"
"Saya batuk dan demam, Dok. Kepala saya agak pusing," ucap Selena yang kemudian berdeham seolah menegaskan jika ia memang sedang batuk.
"Apa ada sesak napas?" tanya dokternya.
"Hmmm, kalau malam, saat saya mau tidur, terkadang saya sesak napas."
Dokter itu mengangguk sambil tersenyum. Lalu dokter itu mengenakan stetoskop dan mendekati Selena.
Dengan seenaknya, dokter itu memasukkan tangannya ke balik kemeja Selena dan meraba-raba dadanya. Ben geram bukan main. Ia ingin sekali mencekik dokter itu dan melemparnya ke lantai.
Ben tak kuasa menatap perbuatan dokter itu. Ia tahu jika dokter itu sedang memeriksa Selena, tapi tetap saja ia tidak rela jika pria lain menyentuh Selena seperti itu.
Ah, seharusnya ia memilih dokter perempuan untuk memeriksa Selena. Ben emosi dan kemudian ia memutuskan untuk keluar dari ruangan itu.
Ia tidak peduli saat sang dokter dan Selena menoleh padanya, bingung melihat sikap Ben yang tidak wajar.
Lalu Ben pun diam di ruang tunggu hingga Selena selesai diperiksa. Sang perawat mengantarkan Selena menuju ke bagian administrasi. Ben segera menghampirinya dan membayar semua tagihan rumah sakit berikut obat-obatannya.
Sekarang mereka duduk di ruang tunggu farmasi untuk menanti obat Selena yang katanya kapsul racikan untuk obat batuk dan sesak.
"Terima kasih ya, Ben," ucap Selena membuat Ben menoleh padanya.
"Ah, sudahlah. Ini bukan apa-apa."
Selena menghela napas. "Aku tahu, kamu masih kesal padaku, tapi kamu masih mengantarku ke dokter."
"Lalu? Apa kamu berharap agar aku membiarkanmu ke dokter dengan si berengsek Patrick itu?" Ben mengangkat sebelah alisnya.
"Bu-bukan, bukan." Selena menggerakkan tangannya dengan cepat. "Aku tidak mau bersama Patrick. Aku hanya ingin bersama denganmu, Ben."
Ben mendengus kesal. "Aku pikir, hubungan kita sampai di sini saja, Len."
"Hah? Maksudmu … kamu mau putus denganku?!" Selena membelalak tak percaya.