Chereads / The Look Of Love / Chapter 16 - 16. Jihan Emosi

Chapter 16 - 16. Jihan Emosi

Selesai makan, Ben hendak mengantar Jihan pulang. Saat di parkiran, Ben bertemu lagi dengan Briella, si wanita sombong nan menyebalkan.

Wanita itu mengenakan mobil sedan mewah berwarna putih yang sangat mencolok. Briella jelas-jelas seorang sosialita papan atas yang hidupnya serba mewah dan berlebihan.

Ben juga bukan seorang pria miskin sehingga ia harus mengemis pada wanita itu demi sebuah ponsel baru. Kebetulan sekali ponselnya, meski layarnya retak, tapi mesinnya masih bisa hidup kembali. Malam ini, Ben harus memindahkan semua data-datanya supaya ia bisa membeli ponsel yang baru.

Jihan menekan tombol kunci melalui remot dan membuka pintu mobil Ben sementara Briella sedang berjalan perlahan sambil menggenggam tas tangannya dengan erat. Lagi-lagi, pandangan mata itu begitu menyorot dan membuat dada Ben terasa sakit.

Mata wanita itu pasti mengandung pisau yang tajam hingga sanggup melukai hati Ben. Ah, itu terlalu berlebihan. Sebenarnya, Ben tidak perlu mengambil hati pada wanita itu. Benar kata Jihan jika Ben harus bertindak dewasa.

Untuk itu, Ben harus memalingkan wajahnya dan fokus untuk masuk ke dalam mobilnya. Ia pura-pura tidak melihat wanita galak itu.

Dan, mengapa semuanya serba kebetulan, saat ia dan Jihan tiba di café ini, mereka tidak menyadari jika mobilnya diparkir bersebelahan dengan mobil Briella. Wanita itu menurunkan kaca jendelanya dan kemudian menggerung mobilnya dengan suara yang sangat kencang.

"Ah, dasar tukang pamer," ujar Jihan.

Ben pun menurunkan kaca jendelanya dan menatap Briella yang sedang mengangkat dagunya dengan gaya yang arogan. Lalu wanita itu melirik Ben dan tersenyum miring.

Seketika, jantung Ben berdebar-debar kencang di dadanya. Lalu Jihan ikut menggerung mobil Ben seolah tak mau kalah dengan Briella.

"Hei, aku pikir, kamu menyuruhku untuk bersikap lebih dewasa," ucap Ben sambil menautkan alisnya.

"Oh, benarkah? Kalau begitu lupakan saja kata-kataku."

Jihan memasukkan gigi dan menginjak gas dengan cepat hingga badan Ben tersentak ke belakang.

"Jihan!" tegur Ben, tapi sahabatnya itu tidak mau mendengarkan.

Briella pun menyusulnya, tapi Jihan tidak mau kalah. Mereka terus memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Kebetulan parkiran mobil di café itu sangat luas sehingga memudahkan keduanya untuk bergerak bersebelahan.

Jika Jihan melakukan sedikit saja kesalahan, maka mobil Ben akan bergesekan dengan mobil Briella. Bisa-bisa, Ben akan menambah daftar urusannya dengan wanita menyebalkan itu.

Briella melirik Ben dengan wajahnya yang angkuh sementara Jihan menyipitkan matanya untuk fokus. Mobil Ben terus melaju, bahkan lebih cepat dari mobil Briella hingga akhirnya mobil Ben yang pertama keluar dari parkiran.

Jihan langsung mengerem mendadak hingga kepala Ben nyaris membentur dasbor. Ben melirik spion saat mobil Briella berhenti tepat di belakang mereka dengan suara yang sangat keras.

Sang petugas parkir terkejut melihat kedua mobil yang brutal dan menyuruh Jihan untuk pergi setelah sahabatnya menyelipkan uang dua puluh ribu rupiah ke tangan petugas parkir itu. Jihan pun tersenyum lebar dan mengebut sepanjang jalan seperti orang gila.

Lalu mereka pun masuk ke dalam jalan tol. Briella sudah tertinggal jauh dan mungkin menghilang ke jalan yang lain.

Ben menatap Jihan yang napasnya tampak seperti yang terengah-engah. "Apa yang kamu lakukan, huh?"

"Apa?" Jihan menoleh pada Ben sambil tersenyum. "Aku kan sedang menyetir."

"Siapa bilang kamu boleh membawa mobilku seperti itu?" hardik Ben.

"Tidak ada. Aku hanya kesal saat Briella menggerung mobilnya. Aku tidak menyukainya." Jihan mengedikkan bahunya.

"Ah, ini bukan soal suka atau tidak suka. Bagaimana jika mobilku bergesekan dengan mobilnya? Aku tidak mau pergi ke mana-mana dengan menggunakan mobil baret," gerutu Ben kesal.

"Tenang saja. Biar aku yang membawa ke grandpa dan membetulkannya," ucap Jihan enteng.

"Grandpa-ku bukan tukang ketok magic, tapi dia hanya memiliki bengkel biasa saja."

"Hmmm," gumam Jihan. "Tenang saja. Buktinya mobil kamu baik-baik saja. Ya kan? Kamu tidak usah khawatir."

Ben mendecak sambil melipat kedua tangannya di dada. "Ingat ya, Han. Aku tidak mau kamu melakukan hal itu lagi. Entah itu saat bersamaku atau bersama orang lain. Kamu harus mengurangi kebiasaanmu yang tukang ngebut itu. Nyawa itu bukan untuk main-main."

"Iya, iya," ujar Jihan dengan nada bosan.

Ini adalah salah satu sifat Jihan yang menyebalkan. Sahabatnya itu tidak mau mendengarkan nasehat Ben mengenai caranya berkendara. Saat mereka pergi bersama, Jihan selalu mengambil alih kunci mobil Ben dan langsung mengendarainya.

Namun, baru kali ini Jihan tampak panas saat Briella menggerung mobilnya yang memang jauh lebih mewah daripada mobil Ben.

Jihan mengebut sepanjang jalan tol dan butuh waktu beberapa menit hingga akhirnya mereka keluar tol dan kemudian berbelok menuju ke jalan rumahnya Jihan.

Ibunya Jihan membukakan pintu gerbang dan Jihan pun memarkirkan mobil Ben di pekarangan rumahnya. Ben pun turun dari mobil dan segera mendapat sambutan hangat dari ibunya Jihan.

"Akhirnya, kalian pulang juga," ucap ibunya Jihan sambil tersenyum ramah.

"Halo, Tante," sapa Ben. "Apa kabar, Tante?"

"Baik, Ben. Kamu ini jadi semakin tampan saja," puji ibunya Jihan.

"Ah, Tante ini bisa saja. Bagaimana liburannya?" Ben langsung merangkul ibunya Jihan, lalu mereka berjalan bersama ke dalam rumah.

Jihan turun dari mobil dan kemudian menguncinya dengan remot. Ia mengikuti Ben dan ibunya masuk ke dalam rumah.

"Tante sudah lama tidak berkunjung ke rumah om-nya Jihan yang di Bandung. Selama di sana, Tante terus menerus wisata kuliner ke sana ke sini sampai berat badan Tante jadi naik," ucap ibunya Jihan sambil meremas perutnya yang tambun.

Ben terkekeh. "Tidak apa-apa, Tante. Namanya juga wisata. Wajar kalau berat badan jadi naik. Tenang saja, Tante masih terlihat cantik kok."

Ibunya Jihan ikut tertawa dan kemudian mendorong lengan Ben sedikit. "Ah, kamu ini bisa saja."

Jihan memutar bola matanya sambil memasang wajah masam. Namun, Ben pura-pura tidak melihatnya dan tetap tersenyum pada ibunya.

"Oh iya. Ini ada sedikit oleh-oleh untuk mami kamu. Tunggu sebentar."

Ibunya Jihan masuk ke dalam rumahnya sementara Ben dan Jihan duduk di ruang tamu. Jihan mengeluarkan ponselnya sebentar dan kemudian menaruhnya di meja.

"Kamu ini tidak perlu menggoda ibuku juga," keluh Jihan.

Ben terkekeh. "Ayolah, Han. Aku kan sudah menganggap ibumu seperti ibuku sendiri."

Tak berapa lama kemudian, ibunya Jihan datang sambil membawa tiga buah keresek. Wajah ibunya Jihan tampak senang saat membawa keresek itu.

Ibunya Jihan menyerahkan sebuah keresek yang paling kecil pada Ben dan berkata, "Ben, yang ini untuk kamu. Tante beli pisang bolen dan beberapa kue pastry keju. Kamu suka kan?"

"Suka, Tante. Terima kasih. Kenapa ini oleh-olehnya banyak sekali?"

Ibunya Jihan terkekeh. "Iya, tidak apa-apa. Dua keresek lagi untuk mama dan keluarga besarmu ya."

"Ya ampun, Tante. Padahal Tante tidak perlu repot-repot memberikan oleh-oleh untuk keluargaku," ucap Ben basa-basi.

"Tidak apa-apa. Setiap kali kalian pergi berlibur pun selalu ingat untuk memberikan oleh-oleh untuk Jihan. Mana mungkin Tante pulang dari Bandung tidak membawa oleh-oleh apa pun."

Ben tersenyum. "Terima kasih banyak ya, Tante."

"Sama-sama. Tolong sampaikan salamku untuk mama kamu ya."

"Iya, Tante. Nanti saya pasti akan menyampaikannya."

"Oh ya, omong-omong, kamu juga mempunyai saudara di Bandung ya?" tanya ibunya Jihan.

"Hmmm, iya, Tante. Hanya saja kami tidak begitu dekat."