"Oh ya, omong-omong, kamu juga mempunyai saudara di Bandung ya?" tanya ibunya Jihan.
"Hmmm, iya, Tante. Hanya saja kami tidak begitu dekat," jawab Ben.
"Oh ya? Yang di Bandung itu saudara dari mamamu bukan?"
Ben menggelengkan kepalanya. "Bukan, Tante. Itu adalah saudara dari almarhum papa saya. Jadi, di sana ada tante dan om. Tante saya itu adalah kakak tirinya almarhum papa saya."
Ibunya Jihan mengangguk. "Oh. Tante tahu! Suaminya tante kamu itu CEO Golden Group itu bukan?"
"Ya, betul, Tante."
"Namanya Charlos William."
Ben mengangguk. Ibunya Jihan langsung terlihat lebih ceria lagi dari sebelumnya. "Wah hebat ya! Ternyata kamu masih bersaudara dengan keluarga Golden itu."
Ben hanya bisa tersenyum. "Ya, tapi saya tidak dekat dengan mereka. Saya bahkan baru satu kali bertemu dengan mereka saat mereka berkunjung ke sini."
"Oh, jadi mereka pernah berkunjung ke Batam?"
"Ya, tapi hanya sesekali saja. Aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka selama bertahun-tahun." Ben mengedikkan bahunya sambil tersenyum.
Ibunya Jihan mengangguk perlahan. "Hmmm, begitu ya."
"Ma, kenapa Mama jadi tertarik pada om-nya Ben?" sahut Jihan.
"Ya, tidak ada salahnya jika Mama bertanya sedikit. Ya kan, Ben?" Ibunya Jihan meminta pendapat Ben. Mau tak mau, Ben mengangguk sambil tersenyum.
"Iya, Tante. Oh ya, omong-omong oleh-olehnya saya terima ya, Tante. Terima kasih banyak. Saya akan pulang sekarang dan mengantarnya ke rumah mom."
"Ah, padahal Tante masih ingin berbicara lagi denganmu, tapi ini memang sudah malam. Ya sudah kalau begitu. Sampai ketemu lagi ya, Ben."
Jihan mengantar Ben hingga ke pintu pagar. "Ben, terima kasih ya."
"Terima kasih apa? Aku yang seharusnya terima kasih," ucap Ben sambil mengangkat keresek oleh-oleh dari orang tuanya Jihan.
"Maksudku, aku berterima kasih karena kamu sudah mengantarku pulang," ucap Jihan.
"Ah, bukan masalah."
"Oh ya, Ben apa besok kamu akan mengantar Deviana ke butikmu?"
"Ya, tentu saja," jawab Ben yakin. "Apa kamu mau ikut? Omong-omong, akan lebih seru jika kamu ada di pesta itu. Aku akan memilihkan gaun yang bagus untukmu."
"Tidak, tidak," tolak Jihan. "Tak ada yang mengajakku secara resmi ke acara itu."
Ben mengangkat alisnya. "Aku yang mengajakmu, Han."
"Ya, tapi kamu tidak mungkin pergi dengan dua wanita sekaligus. Atau bahkan tiga. Selena tidak akan suka jika kamu pergi dengan Deviana."
Mendengar nama Selena disebut-sebut membuat Ben merasa tidak enak hati. "Ah, sudahlah. Aku tidak akan memaksamu untuk ikut ke pesta itu. Untuk urusan Selena, aku akan memikirkan cara untuk menjelaskan padanya tentang Deviana."
Jihan mengedikkan bahunya. "Good luck."
Ben tersenyum sambil mengusap kepala Jihan dengan sayang. "Thank you, my bestie. Aku pulang dulu ya. Sampai bertemu lagi besok. Bye."
Ia pun naik ke mobilnya dan pergi dari sana. Jalanan di malam hari tampak begitu lengang. Ben menyetel musik pop kesukaannya melalui tape yang menempel di dasbor. Ia menggerak-gerakkan kepalanya sambil mengikuti irama lagu.
Ben berencana untuk mengirimkan oleh-oleh itu besok pagi sebelum ia pergi ke kampus. Lagi pula ibunya pasti sudah tidur pada jam segini.
Ia merasa bersalah karena ia jarang pulang ke rumahnya. Ben lebih senang tidur di rumahnya yang terpisah agar ia bebas melakukan apa saja yang ia inginkan. Rumah ini ia dapatkan setelah ia mengumpulkan uang tabungannya selama beberapa tahun.
Meski rumah ini tidak terlalu besar, tapi cukup untuk kehidupannya yang masih lajang. Ia tidak pandai memasak seperti almarhum ayahnya, kata ibunya. Namun setidaknya, ia bisa mengolah beberapa makanan untuk ia makan sendiri.
Ben memasuki kompleks perumahannya dan kemudian terkejut saat membuka pintu gerbang rumahnya. Seorang wanita sedang duduk sambil menumpangkan kakinya. Pahanya tampak begitu mulus dan seksi.
"Lisa?" Ben menautkan alisnya.
Astaga! Ia benar-benar lupa bahwa Lisa sudah mengiriminya pesan singkat dan memberitahunya bahwa malam ini ia akan datang ke rumahnya.
"Hai, Ben," sapanya sambil tersenyum manis. Wanita itu mengenakan lipstik berwarna merah yang tampak sangat kontras dengan kulit wajahnya yang putih.
Ben pun memasukkan mobilnya ke dalam garasi dan kemudian menghampiri Lisa yang sudah berdiri di tempatnya. Sebuah ciuman hangat menyambut Ben. Lalu Ben pun membelai rambut Lisa yang halus.
"Aku merindukanmu, Ben," ucap Lisa dengan suara yang lirih.
"I miss you too."
Ben mengajak Lisa untuk masuk ke dalam rumahnya yang sudah rapi. Ia mempekerjakan seorang asisten rumah tangga harian yang akan selalu membersihkan rumahnya setiap dua hari sekali.
Ben menyalakan lampu dan kemudian ke dapur untuk mengeluarkan botol air mineral. Lalu ia meneguknya hingga tandas.
"Kamu habis dari mana saja, Ben?" tanya Lisa sambil menghampirinya.
"Aku habis dari rumah Jihan untuk mengambil oleh-oleh dari orang tuanya. Oops. Aku hampir lupa. Tunggu sebentar. Aku akan mengeluarkannya dulu dari bagasi."
Ben kembali ke mobilnya dan menurunkan oleh-oleh itu. Ia menaruhnya di meja dapur sementara Lisa membongkar bungkus.
"Wah, aku suka sekali pisang molen!" seru Lisa dengan wajah yang sumringah.
"Kalau kamu suka, ambil saja yang punyaku. Bungkus yang satu lagi itu punya mom, oke? Jangan sentuh yang itu."
"Oke." Lisa membuka dus makanan itu dan memakan satu potong pisang molen. "Hmmm, enak. Omong-omong, Jihan itu …?"
"Dia itu sahabatku," jawab Ben sambil menyipitkan matanya.
"Ah, begitu ya. Aku pikir, dia pacarmu yang lain."
"Tidak, Lis. Aku dan Jihan akan selamanya menjadi sahabat. Kamu harus membiasakan diri untuk mendengar namanya karena aku mungkin akan sering membicarakannya."
Lisa memberengut. "Aku tidak suka jika kamu membicarakan tentang wanita lain."
"Jihan bukan wanita lain, Lis."
"Tetap saja."
Ben mendekati Lisa dan mengangkat dagunya. "Dengar, kamu tidak boleh kejam seperti itu padaku. Bagaimanapun juga, kamu bukan milikku sepenuhnya."
"Aku akan menceraikan suamiku segera," ucap Lisa tegas.
"Tidak. Kamu tidak bisa tiba-tiba bercerai dengannya. Kamu masih memiliki Jimmy. Setidaknya, kamu harus memikirkan tentang masa depannya."
Lisa mendesah dan kemudian mengambil segelas air dan menghabiskannya. "Aku selalu memikirkan tentang Jim, tapi aku pun tidak ingin terus menerus hidup seperti ini. Aku juga berhak bahagia, Ben."
"Apa kamu bahagia saat bersama denganku?" tanya Ben sambil membelai pipi Lisa yang terasa halus di jemarinya.
"Tentu saja, meski ada banyak gangguan."
Ben terkekeh. "Maafkan sikapku waktu itu. Aku hanya merasa jika hubungan kita tidak akan benar-benar berhasil. Jadi, wajar saja jika aku berhubungan dengan beberapa wanita."
Lisa mendecak dan kemudian memalingkan wajahnya. "Aku cemburu, Ben! Kamu adalah milikku, tapi kamu malah bermain-main dengan wanita lain. Kamu menganggapku apa selama ini?"
"Lisa …."
"Tidakkah kamu serius dengan hubungan kita?! Aku sangat mencintaimu, Ben!" seru Lisa dengan wajah yang putus asa.