Chereads / The Look Of Love / Chapter 12 - 12. Briella

Chapter 12 - 12. Briella

Jika ada sebuah cara untuk menenangkan jantung yang berdebar-debar, maka Briella akan melakukannya. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan selain gusar dan gelisah di tempatnya berdiri. Ia benci merasakan hal seperti ini. Ia menatap kedua tangannya yang gemetaran.

Untuk itu, Briella menarik napas dalam-dalam dan menenangkan hati dan jiwanya. Ia tahu jika perbuatannya pada Ben itu sangat berlebihan. Ia tidak sengaja menabrak pria itu sampai ponselnya terjatuh dan rusak.

Oh tidak, ponsel itu pasti mati. Briella melihat layarnya yang retak dan sepertinya tidak dapat diselamatkan lagi. Briella pasti harus bertanggung jawab untuk mengganti ponsel Ben yang baru. Setidaknya, ia sudah menyerahkan kartu namanya pada Ben.

Pria itu bisa menghubunginya kapan saja ia mau. Namun, akankah Ben mau bertemu lagi dengannya? Sikap dan perkataannya tadi sangat kasar.

Sebenarnya, Briella tidak bermaksud untuk kasar pada pria itu, tapi ia tidak bisa bersikap normal. Ia sangat membenci pria itu.

Bagaimana bisa semua wanita sangat mengelu-elukannya padahal Ben adalah seorang pria yang berengsek? Sahabatnya, Vanessa telah menjadi salah satu korban kebusukan Ben.

Pria itu tidak membalas cintanya Vanessa karena mungkin Vanessa kurang cantik baginya. Ah, entahlah. Briella tidak begitu paham seperti apa sebenarnya kejadiannya. Yang pasti Ben adalah pria yang berengsek dan menyebalkan.

Ben menggoda Deviana padahal ia sedang berpacaran dengan Selena. Atau jangan-jangan, pria itu memang sudah berpisah dengan Selena? Briella tidak tahu.

Meski begitu, Ben selalu saja bersama dengan Jihan. Briella tidak menyangka jika Jihan bisa bertahan berada dekat-dekat dengan Ben.

Jika Briella menjadi Jihan, ia tidak mungkin akan segera mengalami alergi gatal-gatal dan bersin-bersin karena terlalu lama berdekatan dengan makhluk berengsek.

Oke, pria itu memang tampan dengan rambutnya yang berantakan dan coklat pirang alami. Hidungnya yang mancung bahkan bisa dipergunakan untuk menekan tombol lampu.

Sesekali pria itu pernah tersenyum ke arah Briella dan senyumannya manis sekali. Namun, tentu saja Briella tidak akan pernah membalas senyuman itu. Ia lebih baik mati daripada harus bersikap baik pada pria itu.

Dan ya, Briella sebenarnya suka dengan pria yang tinggi dan bertubuh ideal. Ada banyak pria yang bertubuh ideal, tapi ya mungkin Ben termasuk hasil karya dengan pahatan yang terlalu sempurna jika dibandingkan dengan Gani atau Patrick.

Ya, kedua pria itu adalah saingannya Ben di kampus untuk urusan tampan. Briella lebih baik melirik Patrick yang imut dan humoris, meski sebenarnya otaknya entah tersembunyi di kolong mana. Nilai-nilai mata kuliahnya hancur dan pria itu datang ke kampus hanya untuk bermain dan bersenang-senang saja.

Sungguh bukan pilihan yang baik, ujar Briella dalam hati.

Jadi, lebih baik Briella pergi dari sini sekarang juga sebelum ia bertemu lagi dengan Ben dan bertengkar lagi untuk urusan ponsel yang rusak. Ia masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan AC supaya wajahnya yang panas bisa terasa sejuk kembali.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Ada telepon dari Jack, pria yang telah menjadi ayah angkatnya selama ini.

"Halo, Om," ucap Briella.

"Halo, El. Kamu ada di mana?" tanya Jack.

"Aku baru saja selesai kuliah dan masih di parkiran kampus. Ada apa, Om?"

"Hmmm, baiklah kalau begitu. Aku hanya ingin memastikan jika kamu baik-baik saja. Ibumu baru saja pulang berbelanja dan akan memasak sup kesehatan untuk kakekmu," ucap Jack menjelaskan.

"Ah, ya biarkan saja. Malam ini aku tidak akan makan di rumah. Aku akan pergi dengan Vanessa."

"Kamu mau pergi ke mana? Sebaiknya jangan pulang terlalu malam. Perlukah aku menyuruh para pengawal untuk menjagamu dari jauh? Tenang saja, mereka tidak akan mengganggu acaramu."

"Tidak, tidak. Sejauh ini tidak ada orang yang mencurigakan. Semuanya baik-baik saja," ucap Briella cepat-cepat.

Ia tidak suka jika pamannya itu menyuruh para pengawal untuk menjaganya. Ia bukanlah anak kecil lagi yang harus diperlakukan seperti itu.

"Ya sudah. Kabari aku jika kamu pulang, biar aku yang mengawalmu," ucap Jack dengan nada khawatir.

"Baiklah." Lalu Briella pun menutup teleponnya.

Jack memang selalu seperti itu. Sikap protektifnya melebihi ayah dan ibu kandungnya. Briella bahkan sudah lama jarang bertemu dengan ayahnya karena ayahnya terlalu sibuk dengan urusan di rumah sakit.

Jack hanyalah anak buah kesayangan kakeknya yang begitu setia melayani keluarganya selama beberapa tahun ini. Briella sangat dekat dengan pamannya itu karena ia adalah pria yang sangat baik hati dan menyenangkan.

Meski begitu, Briella kadang merasa risih dengan perhatiannya yang kadang terasa sangat berlebihan. Contohnya seperti sekarang. Briella tidak boleh pulang terlalu malam dan pamannya itu akan menjemputnya setelah ia pulang bersenang-senang dengan Vanessa.

Sahabatnya itu sudah mengetahui hal tersebut dan tidak aneh jika Jack sangat perhatian pada Briella. Salahkah jika Briella menganggap Jack seperti ayahnya sendiri?

Tak lama kemudian, seseorang mengetuk kaca jendelanya. Briella menurunkan kacanya dan menatap Vanessa yang sedang tersenyum padanya. Seketika senyumnya menghilang.

"Ada apa dengan wajahmu, El?" tanya Vanessa sambil menautkan alisnya.

"Ayo, cepatlah masuk." Briella menggerakkan tangannya.

Vanessa mengitari mobil Briella, lalu masuk dan duduk di sebelahnya. "Kita mau ke mana sekarang?" tanyanya sambil mengeluarkan kaca dan cairan softlens dari tasnya. Lalu ia meneteskan cairan itu ke matanya.

"Aku ingin berbelanja ke mall. Pokoknya, aku ingin melakukan hal yang menyenangkan sore ini," ucap Briella dengan wajah yang kesal.

"Tidak biasanya kamu mengajakku berbelanja. Ada apa sebenarnya?" Vanessa sudah selesai menetesi matanya, lalu ia memasukkan kembali cairan dan kaca itu ke dalam tasnya.

"Kamu tahu, aku baru saja menabrak Ben sampai ponselnya jatuh dan rusak," ungkap Briella membuat Vanessa terkejut.

"Wah, benarkah? Bagaimana bisa? Apa kamu sengaja melakukannya?"

"Tentu saja tidak!" seru Briella. "Aku tidak sengaja menabraknya. Aku tidak tahu kalau dia sedang berdiri di depan toilet perempuan. Lalu ponselnya terjatuh dari tangannya dan layarnya retak."

Vanessa menatap Briella dengan ekspresi ngeri. "Wah gawat. Aku pikir, kamu sangat membencinya dan tidak mau berurusan dengannya."

"Ya, aku memang tidak mau berurusan dengannya. Tapi kalau sudah begini, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika ponselnya benar-benar rusak dan mati?" Briella menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Apa dia marah padamu?"

"Ya, dia marah dan menyuruhku untuk bertanggung jawab."

Vanessa mendesah. "Ah, ya sudahlah. Kamu kan tinggal membelikannya ponsel yang baru. Apa susahnya? Apa kamu tidak punya uang? Mustahil."

"Bukan soal uang, Van, tapi ini soal harga diri."