Di tengah suara yang bergema dengan para siswa berkerumun semakin banyak. Sempat terlintas di pikiran Zefa tentang masa SMA yang dia impikan selama ini. Awal masa sekolah menengahnya terasa tenang bahkan walaupun tidak pernah ada yang menyapanya.
Zefa sangat menikmatinya apalagi sejak kecil tidak pernah ada orang yang mengganggunya.
Semua itu terjadi karena Zefa tidak perduli dengan orang-orang di sekitar dan saat di kelas pun Maria ataupun Agus hanya bisa mencoba untuk memahami sikap Zefa itu.
Hal tersebut pula yang membuatnya melunak dan mau berteman dengan mereka. Semua bahkan terasa berjalan lancar sesuai dengan rencananya. Namun, semua berubah saat dia bertemu dengan Kakak kelas yang membuat hidupnya berubah. 'Joshua' adalah satu nama yang bersarang di pikiran Zefa saat ini karena saat bertemu dengan dia lah Zefa mulai di ganggu oleh siswa lain.
Bahkan karena mengingat namanya lah, Zefa memiliki rasa simpati kepada orang lain. Perasaan ini membuat Zefa terganggu. Karena ia memperdulikan apa yang terjadi dengan sekitaran.
Seharusnya, ia masa bodoh saja jika Putera yang tidak ia kenali itu mati ataupun sekolah menjadi angker karenanya. Baru kali ini dia menyesali setiap tindakannya.
Di mana Zefa tidak perlu menjadi malaikat hanya untuk membantu orang lain. Apalagi ketika matanya terpejam saat melihat sebuah kepalan tangan meluncur ke arahnya, Zefa yang saat itu tidak bisa memikirkan cara apapun hanya bisa diam dan reflek mengalihkan wajahnya.
Bugh! Satu pukulan yang membuat Zefa membelalak. Di mana ia spontan menengadah, hingga melihat sebuah lengan besar menghalangi wajahnya. "Joshua?" ucap Zefa terengah.
Pria yang baru saja ia pikirkan. Kini berada di sampingnya dengan mengeraskan rahang tatkala Vino pun sama tidak mengerti, sebab seorang pecundang lainnya kini ikut hadir untuk menjadi korban Vino.
Joshua bahkan menatap tajam, hingga tangan yang mencengkeram kuat kepalan tinju Vino ini membuat Joshua murka. "Seharusnya kau mencari lawan yang seimbang," cecarnya.
"Kau mau ikut bergabung dengan team pecundang?" sahut Vino. Joshua menyeringai tatkala mendapat balasan yang tidak ia duga dari siswa baru yang membuatnya terkekeh ngeri.
Buak! Satu pukulan Joshua yang membuat Vino jungkir hingga teriakan pun semakin mengguar. Joshua lantas menarik lengan atas Zefa supaya berdiri.
Mematri atensi kepada tubuh bergetar nya dengan semburat cairan merah di sudut bibir Zefa, membuat Joshua kembali memfokuskan semua amarah pada Vino yang beranjak bangkit.
Joshua menarik Zefa ke belakang punggungnya. Apalagi ketika Zee spontan membabi buta dengan berlari pada Joshua yang langsung menendang tubuh tukang penindas itu, hingga berakhir terpental.
Joshua pun juga berkelit, saat tinju tiba-tiba melayang ke arahnya hingga Zefa juga spontan meremat seragam Joshua. Apalagi kedatangan Ari membuat suasana semakin riuh.
Pria itu kini menghadang Zee yang akan mengkeroyok Joshua. Pria tersebut menepis kasar, lengan Zefa yang menahan raganya, Joshua dengan cepat menahan pukulan Vino hingga lekas membalasnya.
Buak! Satu balasan tepat mengenai pipi Vino yang tersungkur jatuh, bersamaan dengan suara peluit sekuriti sekolah membuat Joshua terengah. Belum puas rasanya ia memukul Vino hanya dua kali.
"Bubar!" teriak Sekuriti. Semua siswa pun lantas berhamburan. Bersama dengan Vino dan Zee yang langsung ditahan.
"Pak, dia yang cari rusuh!" elak Vino. Joshua dan Ari menyeringai tatkala keduanya tidak di tahan sekuriti. Siswa baru namun sudah membuat kerusuhan, tentu saja hanya akan bernasib malang, sebab ia tidak tahu apapun.
Keduanya kemudian memfokuskan dunia, kepada Zefa, wanita berani yang membantu putera serta memeriksa keadaanya. Joshua pun kemudian menggerakkan torso kepada Ari agar membantu Putera serta membawanya ke UKS.
Zefa pun kini tidak mempunyai aktivitas ketika melihat Putera di ambil alih oleh Ari. Ia mau tidak mau akhirnya berhadapan dengan Joshua sebagai satu-satunya manusia yang tersisa di tempat ini.
Apalagi, Zefa hanya merunduk, sebab terlihat jelas dari bagaimana kekacauan yang terjadi di sekolahan. Zefa akan ikut kena amuk Joshua.
"Ma-maaf," ucap Zefa kaku. Ia mengedipkan matanya cepat, tatkala semua terasa panas dan sakit secara bersamaan meski sebuah uluran lengan yang membuat Zefa spontan mendongak kembali itu, berhasil memacu adrenalin dalam tubuhnya.
"Bibirmu berdarah," ungkap Joshua. Zefa sungguh, ingin menerima uluran lengan Joshua, tatkala ia malah meremat kedua sisi roknya. Lontaran spontan apa yang ia lakukan dengan meminta maaf kepada Joshua yang jelas-jelas paling bersalah di sini.
"Di sekolah ada penindasan Joshua!" ucap Zefa.
"Akan ku bicarakan dengan Ayah," sahut Joshua. Ia lantas mencoba untuk memeriksa pipi Zefa, tatkala wanita itu malah menepisnya kasar.
Zefa jangan diam atau membuka kesempatan bagi Joshua yang bisa bertindak sesuka hati. Ia harus mengakhiri semuanya sekarang ini. Zefa lantas menarik napasnya panjang untuk semua lontaran yang akan ia katakan.
Sungguh, ini situasi yang tepat.b
"Seharusnya kepala sekolah lebih teliti ketika menerima siswa baru, seharusnya kak Joshua datang lebih cepat, agar aku tidak bersusah payah untuk lari," jelas Zefa.
"Kenapa kamu tidak datang padaku saja saat melihat Penindasnya Zefa? Bukan melawan manusia yang jelas-jelas tidak sebanding dengamu?"
"Lama! Ini semua gegara kak Joshua! Aku terluka gegara kak Joshua!" bentak Zefa.
"Kendalikan emosimu," sahut Joshua tenang.
"Semua kehidupan damai yang aku miliki lenyap semenjak aku bertemu kakak! Aku gak suka karnaval! Aku gak suka permen kapas! Aku gak suka naik mobil atau pulang denganmu! Apa yang kau ingikan dariku sampai-sampai aku selalu melihatmu? Kau tahu sebenarnya aku sangat terganggu. Aku sama sekali tidak pernah sedikitpun tertarik padamu jadi tolong berhenti menggangguku!"
Zefa menghentakkan kakinya sebagai tanda protes yang sudah ia tahan selama ini. Ia emosi, takut dan lega bercampur aduk hingga menjadi sebuah tangisan yang memecahkan keheningan.
Zefa spontan melangkah tungkai menjauh dari Joshua yang masih terpaku diam. Seseorang yang Joshua anggap sedikit berbeda dari wanita kebanyakan.
Namun, presepsinya selama ini hancur bahkan sebelum Joshua memulai lebih jauh lagi. Zefa sama seperti yang lainnya. Ia pandai menyalahkan padahal Joshua tidak melakukan apapun. Dia sungguh, tidak menyangka bahkan semua yang ia lakukan selama ini, bahkan tidak diterima dengan baik olehnya.
Joshua masih mencoba untuk tenang, dia berusaha mengesampingkan amarahnya di banding melihat Zefa malah semakin berderai air mata. Untuk pertama kalinya, hati Joshua terasa bimbang untuk melakukan sesuatu.
Ia merasa serba salah hingga tidak tahu harus melakukan apa, selain memaki tak beraturan serta menendang dinding gedung sekolah. "Sialan!" bentak Joshua.
Ia terengah setelah satu umpatan untuk Zefa, terlontar begitu saja. "Seharusnya kubiarkan saja dia tadi," gumam Joshua. Ia berkacak pinggang tatkala mengamati punggung Zefa yang semakin menjauh, hingga menghilang di belokan gedung perpustakaan menuju gerbang keluar.
Air mata yang mencoba Zefa tahan, tetap saja mengucur dengan derasnya. Ia tidak menyangka akan mengatakan hal tersebut kepada Joshua yang sudah membantunya.
Di luar gerbang, Bimo melihat Adik satu-satunya itu berjalan lunglai dengan sesenggukan tertahan yang membuat Bimo lekas turun dari motornya.
"Lho, lho? Ada apa denganmu?" ucap Bimo khawatir. Zefa langsung memeluk erat tubuh kakaknya yang hangat, di mana balasan Bimo membuatnya semakin ingin mengadu kepada berandalan yang menjadi tempat berlindung Zefa paling aman.
Bimo bahkan tidak membiarkan Zefa untuk merasakan pelukannya semakin lama. Bimo dengan cepat menangkup wajah Zefa, hingga ia membelalak tatkala melihat luka disudut bibir adiknya.
"Siapa yang melukaimu?" tanyanya. Zefa menggelengkan kepala. Apalagi ketika bulir asin terus mencuat dari pelupuk matanya, hingga membuat Bimo lekas menarik lengan adiknya.
"Ayo pulang dahulu." Zefa tidak bisa menolak kakaknya yang pasti akan menginterogasi sesampainya mereka dirumah.
Perasaan cemas dan penasaran tercampur aduk di dalam hati Bimo karena dia bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Zefa. Ini baru pertama kalinya Zefa terluka di sekolahan. Bimo bahkan merasa tidak khawatir jika adiknya terlibat dalam pergaulan bebas, karena pekerjaan Zefa hanya tidur.
Sebaliknya dengan Zefa, perasan takut karena telah berkelahi dan perasaan sedihnya pun, kini mulai menghantui. Seharusnya, ia tidak meluapkan emosi kepada Joshua.
Dia benar, Zefa harusnya mengendalikan emosi tadi.
"Maaf... Kak."
To Be Continued...