Begitu bel pergantian jam pun pada akhirnya berbunyi, semua guru yang sudah memberikan waktunya untuk mengajar anak-anak pun telah habis. Joshua dan teman-teman lainnya lekas beranjak keluar untuk mencari udara yang segar.
"Wah tidak aku sangka kamu pintar Johs," puji Erick. Ia mengalungkan lengannya pada leher Joshua yang memasukkan kedua pergelangan tangannya ke saku celana seragam abu-abu.
Joshua kemudian lekas duduk di kursi yang berada tepat di depan kelas. Ia mengulas senyum untuk menanggapi pujian Erick. Joshua Tiba-tiba saja merasa tidak nyaman dengan keadaannya hari ini.
Memikirkan Zefa yang berlalu pergi, pikiran Joshua berkecamuk, apa wanita itu benar-benar cemburu atau tidak untuk tragedi yang tadi sengaja ia perlihatkan padanya.
"Kamu benar-benar idaman sekali, jiahhh," sahut Ari setengah meledek. Ungkapan seperti itu sudah sering kali membuat telinga mereka muak, sebab banyak wanita yang mengutarakan hal tersebut setiap berpapasan dengan mereka.
Tepat saat Ari yang hendak menghampiri Joshua dan Erick untuk lekas duduk di kursi besi itu pun, tubuhnya malah tidak sengaja menabrak adik kelas yang baru saja melewati dirinya.
Apalagi, hal tersebut malahm membuat ponsel adik kelas itu terlempar hingga terjatuh tepat di depan Joshua. "Aduh! Ma-maaf," ucap adik kelas tersebut cepat dengan membungkukkan badannya.
"Tentu," jawab Ari singkat. Lagipula, ini salah keduanya, dan yang dirugikan adalah adik kelas tersebut, sebab ponselnya melayang ke arah Joshua yang memungut benda tersebut.
"Makanya hati-hati," sahut Joshua. Ia baru saja akan menyerahkan benda tersebut, sebelum maniknya malah menangkap gambar yang terpampang jelas di gambar. Sorot matanya berubah lebih tajam hingga adik kelas yang berusaha menyambar ponselnya itu malah salah tingkah saat Joshua menjauhkannya.
"A-aku bisa jelaskan." Joshua beranjak bangkit dari kursi, semua dunianya berfokus dengan menatap foto yang ada di ponsel adik kelasnya. Sontak saja, Joshua mencengkram kerah siswa yang semakin ganar sebab pandangan Joshua berubah kian menjadi lebih geram.
"Beraninya kau mengambil foto yang tidak pantas di sini!" tekan Joshua. Ia kemudian menilik name tag pria tersebut yang tersemat jelas di seragam putih yang membuat Joshua mengernyit heran.
"Putra? Bukannya kemarin Zefa sudah menyelamatkanmu. Kenapa sekarang berani-beraninya bajingan pengecut sepertimu ini berbuat hal yang akan mengakhiri riwayatmu?" Melihat kemarahan dari Joshua yang membuat Putra ketakutan ini pun, telah berhasil membuat Ari dan Erick saling bertukar pandang—bingung.
"Dasar pengecut!" Tanpa pikir panjang, Joshua langsung melayangkan sebuah pukulan mentahnya ke sudut bibir Putra hingga membuat korban tersungkur jatuh.
"Ma-maafkan aku, aku tidak bermaksud," sanggah Putera. Ia mohon ampun seraya memegang lutut Joshua yang terengah ketika emosinya meluap tiba-tiba.
"Joshua tenanglah." Erick mencoba untuk menenangkan temannya. Ia berusaha menarik Joshua yang menepis lengannya.
"Maaf? Kau seharusnya mengatakan itu kepada Zefa." Joshua memberikan ponsel Putra kepada Erick yang menerima nya.
"Jangan dibuka ponsel," larang Joshua. Erick hanya menganggukkan kepala untuk menuruti apa yang pemimpinnya katakan. Dia tidak mau memperumit masalah ini hanya karena sebuah rasa penasaran saja.
Joshua menarik kerah baju Putra dengan menyeretnya ke depan kelas Zefa. Ari dan Erick yang hanya bisa memperhatikan apa yang Joshua lakukan itu pun mengikutinya dari belakang.
"Dia sudah gila," gumam Ari. Para siswa yang menyaksikan kejadian itu pun, juga sama penasarannya dengan apa yang tengah terjadi. Mereka mengikuti dari kejauhan. Serta memperhatikan kegeraman Joshua yang benar-benar sudah mencapai puncaknya.
Bugh! Joshua kembali mendaratkan pukulannya ke perut Putra hingga membuatnya merintih kesakitan. Semua siswa termasuk teman sekelas Zefa yang mendengar suara pukulan dari depan kelas mereka pun langsung berhamburan keluar kelas.
Mereka semua terkejut dengan apa yang di lakukan Joshua pada Putra sampai membuat siswa malang itu babak belur. Joshua bahkan kembali mengangkat kerah baju Putra tanpa mempertimbangkan siapapun dan apapun.
"Cepat katakan padanya!" tekan Joshua. Ia mengayunkan kembali kepalan pada Putera yang berpasrah karena sudah macam-macam.
"HENTIKAN!" teriaknya. Joshua pun spontan menoleh ke arah di mana Zefa dengan cepat berlari dan menahan tangan Joshua. Dia menatap intens kepada pemuda gila yang terlalu membara. Zefa menggelengkan kepala supaya Joshua tidak melanjutkan tindakan cerobohnya.
Apalagi, Joshua yang mematri atensi kepada Zefa ini pun, melepaskan kerah baju Putra seraya menatap gadis tersebut. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Joshua.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, kenapa kamu menyakitinya?" timpal Zefa. Joshua melepaskan cengkeram lengannya pada kerah baju putera yang spontan jungkir saking tidak seimbangnya tubuh yang melemas semenjak harimau tersebut mengamuk.
"Gus apa kita harus membantunya?" tanya Maria. Ia mulai khawatir dengan Zefa, tidak biasanya dia membela orang lain dan melawan kakak kelas yang paling bengis di antara semua siswa disekolah itu.
Mendengar bisikan dari Maria, Agus hanya mencodongkan badannya lebih mendekat kepada telinga Maria. "Tenanglah, jika kita ikut campur pada masalah ini, yang ada kita hanya akan membuat masalah Zefa semakin besar," tutur Agus.
Lagipula, ini bukan waktunya untuk beraksi. Zefa masih baik dan menurut penglihatan Agus ia akan baik-baik saja. Dirinya akan ikut terjun jika Zefa memang sangat dalam keadaan bahaya.
Setelah mendengar ucapan dari Agus, Maria pun menganggukkan kepalanya dan tanpa sadar ia malah menggenggam lengan Agus saking tegangnya melihat situasi. Agus sebagai satu-satunya yang tersadarkan akan hal tersebut pun langsung mematri atensi kepada Maria. Ia mengulas senyum tipis kemudian memfokuskan kembali semuanya kepada Zefa.
"Apapun yang dia lakukan tolong jangan menyakitinya," ucap Zefa tegas.
"Jadi aku harus memaklumi bajingan ini?" tanya Joshua. Zefa menelan salivanya tatkala ia menatap Joshua yang berkacak pinggang. Zefa kemudian menggulirkan pandangan kepada Putera yang berada di belakangnya ini beranjak berdiri sembari merunduk takut meminta perlindungan dirinya.
"Apa maksudmu?" tanya Zefa. Ia kemudian membantu Putera untuk berdiri lebih tegap sebab dia menekan perutnya yang terasa sakit. Joshua bahkan memutar bola mata jengah, saking kesalnya karena Zefa membela pecundang sepertinya.
Joshua kemudian menjulurkan lengan kepada Erick. "Mana ponsel tadi?" tanya Joshua.
Erick lantas memberikan ponsel yang di bawanya kepada Joshua. Tangan anak dari kepala sekolah itu pun kemudian mulai menggulirkan layar yang tidak dikunci. Saking bodohnya Putera ini.
Ia kemudian menyodorkan benda tersebut kepada Zefa yang sudah muak dengan sikap Joshua. "Lihat ini," ucap Joshua. Ia memperlihatkan sebuah foto kepada Zefa yang membelalak tatkala melihat foto punggungnya yang hanya mengenakan manset hitam berada di dalam ponsel Putra.
Dia tidak menyangka bahwa Putra akan mengambil fotonya saat berganti pakaian di kamar mandi wanita. Tangan Zefa langsung menyambar benda tersebut serta menggenggam erat ponsel Putra.
"Masih ingin membelanya?" tanya Joshua. Ia memperhatikan manik Zefa yang semakin nanar saat ka sungguh tidak paham dengan jalan pikiran pria yang sudah membuat harinya menjadi tidak tenang.
"Kamu... Kurang ajar sekali," ujar Zefa. Ia mematri atensi kepada Putera yang hanya bisa merunduk ketakutan. Di mana lengan Zefa bereaksi dengan mengacungkannya tinggi, bersiap menampar Putera yang memejam kuat.
Walau Zefa benar-benar mematung ketika ia sadar bahwa ini bukanlah dirinya. Ia menghela napas sabar ketika menyerahkan ponsel tersebut pada temannya yang merasa penasaran dengan apa yang tengah terjadi.
Maria menerima sodoran ponsel Zefa. Ia menatap layar yang membuatnya terperangah bukan main. "Astaga," ucapnya.
Maria dengan cepat berinisiatif dengan menekan tombol hapus untuk gambar memalukan tersebut. Ia kemudian membuka galeri serta mencari foto Zefa lainnya. Mungkin saja, ada gambar lain yang terselip di sana.
Zefa lantas menatap Putra serta menunggu apa yang akan pria tersebut katakan. Meski Putra yang tidak berani menatap Zefa ini, hanya bisa berlutut dan meminta maaf kepada gadis yang sudah menyelamatkannya dari perundungan. "Ma-maafkan aku, aku tidak bermaksud mengambil fotomu," ungkap Putera.
Zefa mendengus sebal serta mencoba untuk tidak menoyor kepala Putera berkali-kali. "Kamu tahu kebaikan apa yang ku sesali saat ini? Aku menyesal karena telah berbaik hati pada pria sepertimu!"
To Be Continued...