Chereads / Between Us : Apologize / Chapter 17 - Epilogue (Eternall) Maybe...

Chapter 17 - Epilogue (Eternall) Maybe...

Setibanya di rumah. Zefa langsung berlari ke kamarnya lalu mengunci pintu ruangan tersebut rapat-rapat, sebab ia benar-benar tidak ingin membicarakan apapun terlebih dahulu dengan keluarganya.

Ia masih ingin mencoba untuk menenangkan diri. Dengan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Dia langsung memeluk erat-erat guling yang ada di kasurnya.

Zefa telah larut dalam kesedihan yang ia buat sendiri, bahkan rasa sakit yang ada di ulu hatinya kini sudah tidak terasa. Pikiran Zefa kacau dan dirinya merasa bimbang, dia tidak tahu harus meluapkan semua perasaan kegelisahan ini kepada siapa.

Bagaimana dengan nasibnya ia dengan Joshua. Maupun ketenangan yang benar-benar akan lenyap dari kehidupannya saat ia di sekolahan nanti. Jelas, Joshua ataupun Vino, tidak akan membiarkan dirinya.

***

Lalu kini, sepasang mata dengan tatapan tajam tengah menatap lurus pada sebuah foto seorang gadis yang sedang tertawa dengan riangnya. Sebagaimana Zefa yang menaiki wahana itu tidak menikmati setiap momen yang mereka lewatkan katanya.

Api kemarahan Joshua pun, terus membara di tubuhnya tatkala dia mengingat kembali perkataan Zefa tadi siang.

Joshua duduk termangu di atas anak tangga yang ada di sekolahan, kedua mata Joshua masih menatap ke arah layar ponselnya. Kenapa Joshua tiba-tiba merasa bahwa setiap kebaikannya tidak dihargai sama sekali oleh Zefa?

Apalagi setelah Joshua menyelamatkan wanita tersebut dari perundungan yang terjadi tadi. Joshua masih tidak percaya bahwa Zefa akan mengatakan kata-kata yang membuat hatinya terluka.

Joshua bahkan hanya mengira bahwa dirinya sudah berusaha sebaik mungkin menjadi seorang pria yang bisa menarik perhatian Zefa. Namun, masih saja Zefa tidak tertarik dengannya.

"Apa yang salah denganku?" gumam Joshua. Pikirannya terus berpusat kepada layar ponsel dengan gambaran raut wajah tercantik yang bisa Joshua tatap saat ini.

Berapa kalipun Joshua memikirkannya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan sikap Zefa. "Argh! Beraninya wanita itu membuatku berpikir keras," keluh Joshua.

Ia menjadi murka, berusaha meluapkan amarahnya dengan melemparkan ponsel di banding memukul seseorang yang tidak bersalah.

Tepat setelah Joshua melempar benda pipih tersebut.

Ari datang dengan helaan napas berat, hingga ia lekas meraih ponsel temannnya itu. "Aish kenapa kau buang-buang ponsel mahal seperti ini," ungkap Ari.

"Diam kau!" cetus Joshua kesal. Ari malah terkekeh sebab ia tahu, mengapa temannya ini bisa berkobar seperti sekarang. Ia kemudian memasukkan ponsel Joshua ke dalam saku celananya, di banding menyerahkan benda tersebut kembali pada Joshua.

Nanti bisa-bisa di lempar lagi.

"Kenapa belum pulang?" tanya Ari. Dia pun kemudian lekas duduk di samping Joshua, untuk menemani kegusaran pria ini menghadapi banyak hal.

"Pergi sana!" Joshua menggerakkan torso supaya Ari tidak menganggunya. Ini bukan timing pas, bagi Ari untuk bercanda ria.

"Wih pak Joshua sedang marah nih santai aja Bro, aku tidak akan membahas hal yang sensitif," jawab Ari.

"Kamu mau?" lanjutnya. Ari menyodorkan sebungkus rokok pada temannya itu. Sontak saja, hal tersebut

"Di sekolah tidak boleh merokok sialan. Mau kubawa ke ruangan bimbingan konseling?" sosor Joshua.

"Baik pak," sahut Ari. Ia mulai menyalakan korek api kemudian membakar ujung rokoknya dan mulai menghisap benda tersebut, hingga keduanya benar-benar hanyut oleh angin renik yang membuat mereka berpikir keras.

"Siapa mereka?" tanya Joshua.

"Vino, dia pindah karena pertukaran siswa. Di sekolah lamanya dia menindas seseorang bernama putera yang berhasil lolos. Tapi beberapa bulan kemudian, Putera malah itu pindah kemari. Bodoh memang, masuk ke kandang berisikan harimau yang sama dua kali," sahut Ari.

"Aku baru melihat mereka," timpal Joshua.

"Kau anak kepala sekolah Josh, bukan kepalanya. Tidak di wajibkan mengingat semua siswa," jawab Ari. Keduanya pun kembali mengheningkan raga kembali, termasuk asap rokok yang menerpa wajah Joshua.

Setiap hembusan Ari ini, bahkan mencoba untuk mengingat kembali, Vino dengan Zee yang sudah beberapa bulan di sini, namun baru kali ini membuat kerusuhan. Mereka bahkan tidak mengenal Joshua.

"Apa kau benar-benar menyukainya Josh... Zefa?" tanya Ari. Joshua berdecak tatkala perkataan Ari memang tidak bisa dipegang, katanya tidak akan membahas hal sensitif seperti sekarang ini.

Walau Ari benar-benar tahu, jika dirinya memang memerlukan teman untuk berbicara.

"Tentu," jawab Joshua langsung.

"Kau yakin?"

"Entahlah, Ri. Aku hanya merasa tertarik saja padanya," jawab Joshua. Ia mengusap surai frustasi, tatkala Joshua sendiri merasa tidak yakin dengan apa yang ia rasakan saat ini. Di mana tepukan pada bahunya, membuat Joshua semakin bimbang.

"Hadeh, Zefa bakalan mengumpat karena kau hanya mendekatinya karena kesenanganmu sendiri. Tapi tidak dengannya. Kau tidak pernah berusaha mendapatkan hatinya. Kau tahu kenapa lantai-lantai yang kau injak ini tersusun rapi? Itu karena tukang yang ada berusaha mencapur semen dan pasir secara seimbang lalu melekatkan keramik di atas adonan semen itu dengan perlahan dan terciptalah lantai yang rapi."

Joshua bahkan langsung mengenyit, sebab bapak Ari yang bijak ini mulai memberinya ceramah kembali.

"Apa maksudmu?" tanya Joshua. Ari mulai memposisikan tubuhnya menghadap Joshua yang mematri atensi bingung.

"Anggap saja semen itu kebahagianmu, dan pasir kebahagian Zefa. Jika kau mencampurnya secara seimbang pasti akan menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa dan tidak ada yang merasa tersakiti," jelas Ari

Joshua tertegun setelah mendengar apa yang temannya katakan, walau lebih domain kepada Joshua yang tidak mengerti. Namun setidaknya, ia paham dengan apa yang Ari katakan. Intinya, jika Joshua ingin Zefa lebih menerima keberadaannya.

Ia hanya perlu mencari situasi di mana keduanya akan merasa sama-sama nyaman. Bukan hanya Joshua saja. "Oh karena itu dia marah? Karena semuanya berjalan hanya karena atas ingin kita saja?" gumam Joshua.

Ari menyeringai tatkala temannya sudah mengerti. Apalagi tarikan kedua sudut bibir sempurna yang membuat Ari bergidik ngeri, sebab Joshua malah ketawa sendirian.

Ia sudah punya pencerahan dari Ari yang bahkan mulai berpikir ulang mengenai ucapannya. "Okey, aku sudah paham. Ayo pulang," ajak Joshua.

Ari menganggukkan kepala. Ia kemudian menyerahkan kembali ponsel Joshua seraya melangkahkan tungkai bersama pria tersebut.

Setidaknya, Ari mampu meredakan emosi Joshua saat ini. Amarah Zefa memang patut untuk dipertimbangkan. Terlebih, ia memang sering menganggu wanita yang terlihat tidak nyaman.

"Ngomong-ngomong, sekuriti bawa si Vino itu kemana?"

"Hanya mengantarnya sampai gerbang tadi. Lagian sekolah dah bubar. Kecuali jika kerusuhan tadi pas jam pelajaran, dah pasti masuk ruang bimbingan konseling," timpal Ari.

Joshua menganggukkan kepalanya. Selepas mereka sampai di parkiran. Joshua lantas meminta rokok yang Ari sodorkan. Keduanya pun berbincang banyak hal mengenai informasi komplotan Vino dari Putera yang masih dirawat di UKS.

Untung saja dokter sekolah belum pulang. Apalagi Joshua yang kini ikut menghisap rokok di perjalanan pun, kini mulai mencoba untuk menangkap apa yang Ari maksud.

"Jadi, aku yakin si Vino ini tidak akan berhenti menganggu Zefa nanti," jelas Ari.

"Ya, kita lihat saja nanti," timpal Joshua.

"Kau harus menyakinkan dirimu sendiri terlebih dahulu Josh, sebelum benar-benar akan berkecimpung dengan gadis itu," saran Ari. Jangan sampai, keraguan Joshua hanya akan merugikan pria tersebut nantinya.

Apalagi jika sampai setengah-setengah.

"Aku tidak perlu memikirkan apapun. Visi misi sekolah yang Ayah bangun adalah supaya tidak ada penindasan di sekolah. Bahkan, meski Zefa tidak terlibat sekalipun. Aku akan tetap menangani kasus ini," timpal Joshua.

Ari mencoba untuk memahami pria ini. Kekuasaan, komplotan maupun geng dan pergaulan bebas. Joshua tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Namun penindasan, tidak bisa di biarkan. Karena ini merupakan suatu hal serius yang akan menurunkan kredibilitas sekolah.

Sebagai seorang anak kepala sekolah, Joshua memang apik sekali menjaga nama baiknya. "Tentu, aku mengerti, aku akan menyiapkan anak-anak lain supaya bersiaga," sahut Ari.

"Selidiki juga soal si Zee ini," titah Joshua.

"Bagaimana dengan Zefa?"

"Kita jadikan umpan."

To Be Continued...