Kelas tempat belajar mengajar itu pun, kini telah sepi dan sekarang hanya bersisa Zefa yang sendirian di ruang tersebut. Setiap denting jarum yang bergerak membuanya seolah-olah berada di dalam dunianya sendiri walaupun terkadang pikirannya teralihkan dengan wajah Joshua yang dia lihat tadi.
Dalam kesendirian yang ia nikmati, Zefa masih memikirkan pesona Joshua dengan peluh di seluruh tubuh nya. Beberapa kucur keringat, menetes dengan elegan dari dagu pria tersebut.
Duh, sungguh terlihat sangat manis dan indah. Zefa tidak bisa membohongi perasaanya sediri. Jika ia benar-benar terpikat dengan Joshua yang seperti itu.
Belum lagi, tali pita berwarna merah yang mengikat ototnya sebagai tanda kapten team di club basketnya. Zefa malah tersenyum manis ketika memikirkannya kembalikan.
Setelah merasa puas, Zefa kemudian mulai menggendong tas hitamnya kemudian mengambil sebuah susu kotak dari dalam laci meja serta berjalan keluar kelas. Tepat di saat Zefa hendak menyalakan musik menggunakan earphone nya. Tiba-tiba saja, panggilan masuk dari kakaknya Bimo masuk ke ponselnya.
"Ada apa?"
"Mungkin nanti aku agak telat kalau jemput, tunggu saja satu jam lagi..." Belum selesai kakaknya berbicara. Zefa malah langsung mematikan sambungan secara sepihak. Dia memasang kembali aerphone ke telinganya kemudian menyalakan musik yang berjudul 'Toxic' dari penyanyi Boywithuke.
Sebari menunggu Bimo sang kakak untuk menjemputnya, Zefa memutuskan berkeliling sekolahan agar dia tidak bosan saat menunggu Bimo yang biasanya mangkir ke tempat lain hingga membuat Zefa kesal nantinya.
Dengan melangkahkan kedua kakinya malas, menyusuri koridorsekolahan bahkan sesekali dia berhenti hanya untuk duduk kemudian berjalan lagi.
Namun, saat dia mengelilingi kantin yang mulai sepi, sebab semua siswa sudah memilih untuk membubarkan diri dan memilih untuk makan serta lekas bermain.
Akan tetapi, semua siswa bukan pergi untuk pulang sesuai dengan pemikiran Zefa. Mereka berkerumun di taman yang menjadi penghubung antara kantin serta sekolahan. Apalagi, suara keramaian serta isak tangis, bercampur aduk hingga membuat Zefa pun sontak ikut melihat, apa yang sedang terjadi.
Demi mengobati rasa penasarannya. Zefa malah membelalakan manik, sebab ia disuguhkan, dengan sebuah penindasan tepat di muka umum. Awalnya Zefa tidak perduli dengan pemandangan yang di lihatnya akan tetapi, saat kedua matanya melihat siswa korban penindasan itu tengah menatapnya dengan air matanya yang mengalir.
Bahkan, semua siswa maupun siswi yang berada di sana tidak mencoba untuk melerai mereka. Melainkan hanya diam seolah-olah sedang melihat sebuah pertunjukan yang menghibur, di sore kali ini.
Semua guru rapat.
Jelas, ini situasi yang menguntungkan bagi si penindas. Hal itu pun akhirnya membuat Zefa mulai berubah pikiran. Zefa melihat ke arah name tag korban si penindasan dengan nama putra yang terpasang di seragamnya.
Zefa menghela napasnya untuk berancang mengambil tindakan. Kemudian tanpa pikir panjang gadis itu masuk dan melempar susu kotak yang di bawanya ke arah siswa yang berjongkok di depan putra.
Buak! Dia tidak tahu, keputusannya ini benar atau malah akan membuat hidupnya menjadi gelap namun, Zefa tidak bisa membiarkan sampah masyarakat terus tercium busuk di sekitarnya.
Spontan saja, pria yang terpaku diam dengan kembali ramainya suasana. Di mana ia berdiri kemudian berbalik hingga seragamnya meneteskan susu pisang kesukaan Zefa. "Beraninya kau!" tekan pria bernama Vino.
Anggap saja, Zefa mengetahui namanya dari name tag seorang calon berandalan yang hanya bisa melakukan penindasan kepada seseorang yang tidak bisa melawannya.
Vino lantas melangkahkan tungkai dengan berangnya. Berjalan ke arah Zefa yang menelan saliva kuat-kuat, saat ia menatap mata tukang amuk itu sebentar lagi, akan memberinya pelajaran mutlak.
Apalagi tangan Vino mulai mengayun. Memberikan sebuah tanpa kan kepada Zefa yang memejamkan matanya. Grep! Akan tetapi, semuanya benar-benar tidak sesuai dengan apa yang selalu Zefa bayangkan.
Zefa membuka matanya, ketika ia menginginkan seorang pangeran yang akan membantu di saat-saat genting. Namun, malah dirinya sendiri yang refleks menahan tangan Vino, hingga dirinya benar-benar tidak menyangka.
"Woah, aku bisa menahannya," gumam Zefa. Plak! Ia bahkan berkesempatan dengan melakukan sebuah tamparan yang kuat dan keras. Melesat cepat, tepat di pipi kiri Vino sampai-sampai membuatnya terjatuh ke arah kursi kantin yang sudah tersusun rapi di sampingnya.
Dengan gagah berani, Zefa pun lantas berjalan ke arah Putra yang terjatuh tidak berdaya dengan wajah lebam dan berdarah. Zefa berjongkok di depan pria yang hanya menjadi tontonan siswa. Bukan karena tidak ada perikemanusiaan.
Mereka semua hanya tidak berani untuk bertindak, bisa-bisa... Korbannya berganti menjadi mereka. "Ayo pergi," ajak Zefa.
Sesaat setelah Zefa mengatakan hal tersebut, tiba-tiba saja sebuah tangan memegang bahunya dan menarik kuat, Zefa ke belakang, reflek Zefa berdiri dan tertarik. Hingga akhirnya
tubuh Zefa terbanting ke dinding kantin dan membuat semua siswa berteriak, tatkala Zefa mengerang kesakitan.
"Agrhhh," rintihnya tertahan.
"Beraninya kau ikut campur urusanku Jalang!" ujar Vino. Ia mencengkeram kerah baju Zefa dan menatapnya penuh dengan amarah yang membara.
"Punya mangsa baru nih Vin!" ungkap seseorang bernama Zee. Ia menyeringai sebab seseorang yang ikut campur dengan urusan kelompoknya. Artinya, mereka ingin jadi korban selanjutnya.
Seperti Putera. Dia dahulu membantu seseorang, hingga Vino dan yang lainnya terpaksa pindah ke sekolah ini. Untungnya, mereka pun bertemu lagi dengan Putera di kandang yang sama.
"Sekolah kami, selalu menindak tegas penindasan yang kalian lakukan!" tekan Zefa. Ia meronta tatkala berusaha keras untuk melepaskan diri dari cengkeraman Vino.
"Ku-kumohon lepaskan dia..." ungkap Putera. Suara para siswa dan siswi pun mulai saling bersahut-sahutan agar penindasan yang membuat cemas seantero sekolahan ini, supaya cepat di hentikan.
Sekolah mereka sudah aman dan nyaman tanpa adanya kekerasan. Zefa yang saat ini terpojok pun, hanya bisa meronta kuat sebab dia sama sekali tidak pernah belajar bela diri maupun bertarung.
Vino bahkan tidak henti-hentinya menyeringai tatkala Zefa memutar otak agar bisa lolos dari cengkeraman yang terus naik. Membuat kedua kakinya meronta, sebab semakin lama... Zefa merasakan bahwa tubuhnya tidak menyentuh lantai.
Beberapa siswa bahkan langsung berlari untuk melaporkan kejadian yang semakin memburuk ketika beberapa kelompok Vino termasuk si Zee ini malah tertawa renyah tatkala wajah Zefa semakin memerah.
Pasokan oksigen yang terus terkikis pun, membuat Zefa lantas merogoh sakunya. Memegang benda yang ia dapati, hanyalah sebuah bolpoin. Akan tetapi, hal tersebut tetap saja menjadi benda satu-satunya pegangan Zefa.
Dengan cepat, Zefa lantas melepaskan tutup bolpoin tersebut, menusukkan benda tersebut pada lengan Vino yang mencengkeram kerah bajunya. Jleb!
"Arghh!" erang Vino. Dia langsung melepaskan kerah baju Zefa dan memegangi tangan kirinya tatkala sebuah cairan merah menitik kecil dari tangannya. Apalagi, Zefa yang belum puas itu pun kemudian menggunakan lututnya untuk menendang paha Vino, hingga pria itu pun mengerang untuk kedua kalinya.
Zefa lantas dengan cepat berlari menghampiri Putera yang terperangah dengan aksi wanita tersebut. Begitupun dengan kelompok Vino yang masih syok tatkala pemimpin teamnya itu mendapatkan penyerangan dari seorang wanita.
Kini rasa takut mulai menjalar dalam tubuh Zefa. Napasnya memburu ketika membawa Putera yang sudah babak belur itu berlari. "Kau tetap di belakangku," ucap Zefa.
Keduanya terengah hebat ketika sudah mulai menjauh dari kelompok yang memeriksa keadaan kaptennya. Zera terengah-engah sembari terus mengedarkan pandangan. Sebab, sebisa mungkin dia harus melindungi Putra yang terluka termasuk dirinya.
"Kau baik?" tanya Zee
"Tentu saja sakit sialan!" sahut Vino.
"Langsung saja kita habisi mereka berdua," timpal Zee. Vino menganggukkan kepala. Ia menggerakkan torso kepada kawanannya untuk segera mengejar kedua tikus sekolah tersebut. Bahkan meski mereka lolos hari ini pun, akan ada hari esok yang menyambut mereka berdua.
"Oh tidak, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Zefa. Dia tidak mungkin mengandalkan Putera untuk mencari celah jalan meraka untuk terbebas. Bagaimana cara Putera menggenggam tas punggungnya saja. Zefa bisa merasakan getaran hebat dari rasa takut Putera.
"Bawa ini." Zefa lantas memberikan ranselnya kepada Putera yang nampak bingung, sebab mereka terpojok di belakang sekolah dengan pagar tinggi. Inilah akibat dari Zefa yang selalu tidur di kelas serta tidak tahu persis rute sekolah.
Mau tidak mau, Zefa harus kembali dan bersiap untuk melawan kedua berandal itu. Apalagi ketika ia sudah melihat Zee dan Vino yang berlari ke arahnya, Zefa langsung mendorong Putra untuk menjauh kemudian mempersiapkan keberaniannya untuk melawan kedua siswa tersebut.
"Fyuh, sepertinya mereka berpencar," ungkap Zefa sedikit lega. Vino bahkan menyeringgai tatkala melihat Zefa benar-benar menunggunya. Ia memang tidak melihat apa lawannya wanita atau pria.
Yang jelas, jika manusia sudah membuat Vino merasa geram. Ia akan selalu menghadapinya dengan sikap yang sama. Buak! Satu pukulan di Terima Zefa. Hingga tubuh ringkihnya tersungkur.
Zefa bahkan langsung meringis ketika merasakan pipinya kebas. Hingga tanpa sadar langsung menyapa sudut bibir berdarahnya tatkala Vino mencengkeram rahang Zefa yang meringis.
Siswa benar-benar tidak bisa berhenti menyaksikan kejadian yang cukup menegangkan tersebut. Mereka bahkan mengikuti Vino dan Zee hingga semuanya terkejut saat melihat Zefa sudah tersungkur di halaman ruangan terbuka untuk membaca siswa.
"Beraninya kau melawan ku!" tekan Vino.
"Kau yang pengecut karena menghajar wanita," sahut Zefa. Ia langsung mengerang sebab cengkeraman lengan Vino semakin di tekan kuat. Membuat rahangnya benar-benar terasa hampir remuk seketika.
"Aku tidak memandang kau wanita atau pria sayang. Akan kuberi kau hukuman, karena melawan Vino!" ancamnya. Vino pun kemudian berancang dengan mengayunkan lengan nya.
Korban penindasan, kini bertambah dua.
To Be Continued...