Setelah melewati malam yang cukup melelahkan. Zefa berjalan malas menuju ranjangnya, lalu menjatuhkan tubuh—kasar ke atas kasur empuk berwarna yellow light.
Ia memejamkan matanya lalu mengingat kejadian konyol terjadi padanya malam ini. "Aku sungguh tidak menyangka Joshua bisa senekat ini mengajakku keluar. Aku juga tidak bisa marah padanya, karena aku pun menikmati perjalanannya di festival tadi. Argh! Aku tidak punya alasan marah padanya!" gerutu Zefa.
Iyakah begitu?
Zefa tidak punya alasan, kenapa darahnya mendidih, ketika mereka yang tengah membeli es krim itu malah bertemu seseorang yang membuat Joshua sumringah.
Jelas saja, sewaktu di festival tadi. Joshua bertemu dengan mantan kekasihnya—Astrid. Ari bahkan berbisik kepada Zefa. Bahwa Astrid merupakan sosok yang sulit dilupakan Joshua.
Mereka memang putus karena sebuah perbedaan. Namun diyakini, jika keduanya masih menyimpan perasaan. Terlihat dari bagaimana Joshua mengabaikan dirinya saat bertemu dengan Astrid.
Ari sibuk dengan Aura. Sedangkan dirinya memilih pergi dan pulang sendirian, sebab Joshua pun malah membeli makanan pedas bersama dengan Astrid. Baiklah, mungkin Joshua akan marah. Persetan dengan semua itu. Tapi Zefa tidak mau lagi, jika diajak pergi oleh Joshua yang menganggapnya tidak ada tadi.
Pada akhirnya, Zefa hanya bisa uring-uringan meratapi semuanya di kamar. Setelah Zefa menahan semuanya sedari tadi.
Dering ponsel pun memecahkan keheningan yang tengah melanda Zefa. Menyadarkan dirinya dari semua rasa emosional. Ia meraba-raba tasnya serta langsung mengangkat panggilan dari nomer yang belum tersimpan.
"Halo," sambut Zefa.
"Hai Zefa, kamu belum tidur?" tanya Joshua. Zefa sontak melihat ke layar ponselnya. Menempelkan kembali benda tersebut pada rungu. Hingga napasnya menderu—kesal ketika ia tahu siapa yang menelpon.
'Bajingan ini benar-benar cari mati!' batin Zefa berkoar, menggemakan nama Joshua yang harus secepatnya pergi ke neraka.
"Belum kak, ada apa?" tanya Zefa datar. Tapi sudahlah, Zefa hanya bisa terus berceloteh tidak jelas, sebab ia benar-benar tidak ingin cari masalah dengan senior di sekolahnya.
Cita-cita Zefa. Hanyalah, tidur dengan tenang dan bersekolah dengan datarnya. Tidak ingin ada problematika perasaan, maupun keadaan.
"Untuk tadi, aku minta maaf meninggalkan kamu. Dia hanya mantanku sewaktu SMP," jelas Joshua. Seringgaian tiba-tiba saja mencuat dengan jelas di mimik wajah Zefa.
Ia menghela napasnya, hingga Joshua bisa mendengar Zefa yang berdecak. "Lupakan saja kak," sahut Zefa.
"Kamu tidak marah kan?"
"Menurut kakak gimana? Siapa yang memaksa aku ikut, namun akhirnya pulang sendiri," timpalnya.
"Kamu salah paham Zefa. Aku pergi dengannya karena dia akan menunjukkan kios makanan enak, aku tadinya membeli untukmu, namun kamu sudah tidak ada," jelas Joshua.
"Buaya memang pasti banyak alasan."
"Hm? Kamu bilang apa Zefa?"
"Enggak kak, aku percaya kok kakak membeli makanan bersama dengan mantan pacar kakak, untuk aku yang hanya sebatas senior di sekolah. Aku juga tidak punya hak untuk marah. Toh, kakak pergi dengan siapaun. Bukan urusanku," papar Zefa.
Ia mengigit bibirnya saat mengutarakan hal tersebut. Zefa juga sama sekali tidak mengerti dengan dirinya sendiri malam ini, ia merasa sangat tidak nyaman... Dengan perasaannya.
Apalagi, keheningan membuat Zefa menilik layar yang masih tersambung dengan panggilan Joshua. "Sebatas junior dan tidak berhak marah?" tanya Joshua.
Zefa memutar bola mata jengahnya, tatkala Joshua benar-benar seperti orang bodoh yang belum mengerti juga dengan ucapannya. "Aku memang begitu kan? Hanya adik kelasmu..."
"Tidak. Sebaiknya kamu lihat ke dalam tas nanti," jawab Joshua. Pria tersebut mematikan sambungan ponsel tanpa berpamitan kepada Zefa. Ataupun berusaha menenangkan dirinya yang tengah dilanda sebuah emosional aneh, yang membuat Zefa merasa tidak nyaman.
"Ada apa dengannya," gerutu Zefa. Ia lantas meletakkan ponselnya kembali di samping bantalnya. Segera membuka isian tas tersebut dan menemukan foto mereka berdua ada di dalam tasnya.
Jepretan yang diambil tatkala mereka berdua melakukan pemotretan di dalam photo booth. Awalnya, Zefa mengira kalau Joshua membuang fotonya tersebut. Sebab, keduanya terlihat mengerikan dan kaku.
Namun ternyata tidak.
Zefa mengangkat foto mereka tinggi-tinggi dan memperhatikan raut wajah Joshua. Dirinya, kini baru menyadari satu hal. Walaupun Joshua terlihat garang, akan tetapi... Dia terlihat manis saat tersenyum lepas.
"Astaga ada apa dengan pikiranku," gumam Joshua. Ia menggelengkan kepala, tatkala Joshua mulai menghantui pikirannya. Apalagi, ketika ia mengingat kembali saat-saat di mana dirinya mengunci nama Joshua di Festival.
Awalnya, Zefa hanya memperhatikan Joshua yang telah mengukir namanya itu memberi contoh, ketika memasang gembok. Walaupun perhatian Zefa, malah teralihkan dengan pemandangan Ari serta Aura.
"Mereka berdua memang cocok," ucap Joshua tiba-tiba. Mendengar pria di sampingnya berbicara. Zefa pun memfokuskan kembali semuanya pada mereka berdua.
"Ya... Kelihatannya," timpal Zefa.
Kedua mata Joshua pun, terpatri kepada Zefa yang mendapatkan giliran untuk memasang gembok. Joshua menatapnya lekat ketika wanita tersebut, tengah memasang benda dengan ukiran namanya.
Sempat terbesit juga, di pikiran Joshua. Bahwa Zefa ini adalah gadis yang sama seperti wanita pada umumnya. Namun, semakin bersama dengan Zefa. Joshua semakin paham sifat yang di miliki gadis itu... Sedikit berbeda dari kebanyakan.
"Wah, ternyata kalian juga memasangnya." Aura yang datang menghampiri Zefa dan Joshua itu, telah membunyarkan kedua lamunan acak milik pasangan tersebut.
Mereka bahkan bergandengan tangan di cuaca malam hari yang semakin terasa dingin dan kosong. Hanya Joshua yang mempermasalahkan betapa gatalnya lengan dia ingin menggandeng seseorang.
Walau Zefa hanya mengulas senyum dengan cantiknya. "Kalian sudah selesai?" tanya Zefa balik.
Keduanya menganggukkan kepala serempak. "Ya sudah. Apa kalian tahu? Kalau kalian sudah pasang gembok. Tahun depan, di tanggal yang sama. Kalian harus kembali ke sini dengan atau tanpa pacar kalian dan membukanya kembali," jelas Aura.
Ari bahkan sontak merasa waswas saat mendengar penuturan Aura. Karena tidak mungkin baginya harus setia dengan satu gadis. Apalagi dengan Aura yang baru saja dia kenal tadi kemudian harus bertahan dengannya selama satu tahu.
Joshua bahkan menyeringai, saat melihat wajah Ari yang merasa cemas, hingga mengalihkan fokusnya pada ponsel. Joshua sebisa mungkin menahan tawanya ketika ia ingin sekali meledek Ari si buaya darat yang tidak bisa hidup, tanpa banyak wanita.
"Kalau tidak kembali ke sini apa yang akan terjadi by?" tanya Ari.
"Mereka berdua tidak akan pernah mendapatkan jodoh, karena mereka belum memutuskan hubungan dengan orang yang tertulis di gembok," sahut Aura
Zefa sebagai satu-satunya orang yang sangat tidak percaya dengan mitos yang Aura ucapkan itu pun, hanya bisa menghela napasnya.
Aura terasa begitu naif karena tidak mungkin Ari dan dirinya bisa menjadi sepasang kekasih selama satu tahun. Begitupun dengan Joshua dan dirinya. Tidak akan mungkin terus berurusan selama satu tahun.
Ada-ada saja.
Mereka bertiga pun melanjutkan, tamasya dadakan dengan berkeliling hingga berhenti di depan sebuah photo booth. Joshua dan Zefa langsung berdeham, ketika keduanya merasa tidak enak. Saat Aura yang paling bersemangat itu nyengir ceria.
"Ayo kesana," ajak Aura. Sudah Zefa duga akan seperti ini. Ia sontak saja merasa ragu karena jarang sekali berfoto, terlebih lagi sekarang bersama dengan Joshua. Tidak mungkin ia berfoto dengan senior dingin itu.
"Ti-tidak, aku tidak bisa Kak Aura," tolaknya dengan cemas. Mendengar penolakan yang Zefa katakan, sontak saja membuat Joshua sedikit kecewa karena sebenarnya ia ingin sekali berfoto dengan Zefa.
"Aura tidak menerima penolakan," timpal Aura. Ia menarik tangan Zefa dan Joshua ke dalam ruang photo booth tersebut. Melakukan scanner pada kartu tiker masuk mereka kemudian menekan tombol on serta lekas beranjak keluar dengan cekatan.
Mau tidak mau, Zefa harus berfoto dengan Joshua dan saat cahaya kamera menyala. Zefa berdiri menjauh dari Joshua. Ini benar-benar kaku sekali, sebab mereka belum bersiap untuk berpose. Namun, layar sudah menghitung mundur untuk memotret kedua kalinya.
Joshua yang melihat jarak diantara mereka pun, langsung meraih lengan Zefa lalu merangkul pundak gadis tersebut. Awalnya Zefa terkejut mengenai tingkah Joshua tersebut. Akan tetapi, sebisa mungkin Zefa akan menikmatinya.
Senyum manis lantas lahir dari kedua raut wajah mereka. Pada akhirnya, berbagai gaya serta pose yang membuat keduanya terkekeh itu berhasil di abadikan. Joshua dan Zefa keluarkan dari dalam box dengan hasil yang memuaskan.
Aura juga merasa bangga, saat ia berhasil membuat keduanya dekat. Tanpa dia, mungkin acara kencan Joshua akan sangat monoton sekali. Keduanya pun melihat hasil gambar mereka, saat giliran Aura dan Ari yang masuk Photo Booth.
Zefa bahkan tertawa lepas di depan Joshua saat melihat hasil yang mereka dapatkan. Di mana Joshua yang merasa heran karena Zefa tertawa sediri itu pun, membuatnya ikut memeriksa foto mereka.
Walau hasil foto yang mereka dapat itu, membuat Joshua membelalak, sebab beberapa foto mereka memang kurang ajar sekali. Kamera mengambil gambar tidak benar dengan salah satu mata Joshua yang menyipit atau bibir Zefa seperti alien. Ah sudahlah.
Joshua mengambil foto tersebut, karena Zefa benar-benar tidak bisa berhenti tertawa, bahkan sesekali menepuk otot lengan Joshua saking lucunya mereka berdua.
Setelah setengah permainan mereka coba, Joshua mengajak Zefa untuk membeli es krim. Walau perjalanan mereka terinterupsi dengan panggilan nama Joshua yang membuat mereka menoleh.
Di mana seorang wanita yang memakai jeans biru terang itu tiba-tiba saja berlari hingga dengan lancang memeluk Joshua.
Sontak saja, hal tersebut yelah berhasil membuat Zefa terkejut.
"A-astrid?!" ucap Joshua tidak percaya.
"Ugh, kak Joshua... Lama tidak bertemu," sahut Astrid.
Begitulah, pertemuan Joshua bersama mantan kekasihnya yang main asal peluk, hingga berakhir membuat Zefa mengenaskan karena sendirian.
Zefa berdecak ketika ia mengingat momen yang berakhir tidak menyenangkan tersebut. Ia mendesis ketika menatap Joshua yang tersenyum sumringah di foto tersebut. Persis sama seperti saat ia mengobrol dengan Astrid tadi.
"Ish! Kamu bajingan ternyata," gerutunya. Ia iseng menjentrik gambar Joshua seraya menekuk bibirnya. Lekas menyimpan benda tersebut di atas nakas, serta memejamkan manik—beristirahat.
Biarkan saja, Zefa menghadapi hari esok yang akan semakin berat itu dengan beristirahat lebih banyak malam ini.
To Be Continued...