---(10 April 2016)---
[Luna Route]
19:00
Swussh!!!
Tombak yang berasal dari darah Akume itu melesat tepat ke arah kepalaku. Tunggu, sesuatu yang luar biasa terjadi. Putaran waktu rasanya melambat, kecepatan senjata Elaine itu berkurang drastis. Tetesan tetesan air hujan warna hitam juga nampak berhenti di udara. Aku menoleh ke kanan dan kekiri, semuanya berhenti. Bahkan cahaya petir di antara awan merah itu terdiam membeku.
"Ingatan itu...,"
Buku sihir yang berada di kamar Elaine seolah memberiku petunjuk. Semua yang aku ingat ini bukanlah hal yang acak. Buku itu tidak meramal, melainkan menuliskan apa yang terjadi tepat saat ini juga. Tujuan dari buku itu memang masih belum jelas bagiku. Tapi, buku sihir itu pasti adalah alasan mengapa Elaine mengubah masa depan, bukan, merubah takdir dari kisah kami berdua. 'Tokoh utama itu akhirnya menyadari kekuatanya.' Potongan kalimat yang tertulis di buku sihir Elaine itu membuatku ingat sesuatu.
Kekuatanku tidak akan berfungsi ketika berada di tempat khusus yang ditulis oleh Dewa Penulis itu. Artinya badut itu bisa jadi adalah utusan Sang Penulis, atau bahkan dia sendiri adalah Sang Penulis. Dugaanku ini diperkuat dengan bukti bahwa Hunter bisa membawaku ke dimensi khusus, yang biasa disebut Underworld. Tempat ini ada di setiap dunia yang diciptakan. Bahkan menjadi satu dengan bumi itu sendiri. Sang Penulis memisahkan dua dunia ini dengan gerbang sihir, agar tidak menyatu satu sama lain. Dan yang bisa membukanya hanyalah Penyihir Bulan, atau Sang Penulis itu sendiri.
Underworld adalah tempat menyimpan makhluk mengerikan seperti Akume, dan masih banyak yang lain. Hal seperti ini diciptakan oleh Sang Penulis jikalau ia ingin menghapus satu dunia beserta kisah di dalamnya. Membuka portal Underworld, lalu membiarkan kegelapan tak terbatas memakan bumi ini seluruhnya, lalu makhluk makhluk mengerikan yang menguasai bumi ini akan menyedot energi sihir dari inti bumi. Pada akhirnya meledakkan bumi itu beserta makhluk neraka itu di dalamnya.
Sungguh kejam dan mengerikan, maka dari itu, bahkan aku tidak memiliki wewenang untuk membuka gerbang Underworld. Bahkan menuliskan bahwa aku tidak bisa menggunakan kekuatanku di sini. Sang Penulis itu memang memikirkan berbagai cara untuk menghapuskan aku dari seluruh cerita yang ada. Dan masalah yang berputar di kepalaku ialah bagaimana Hunter bisa mengendalikan makhluk, dan bahkan membawaku dan Elaine di sini.
"Itu bukan masalahku sekarang!"
Aku membuka mata kiri ku yang bersinar biru terang. Dan mata kanan bersinar merah tajam. Time Visions, begitulah nama yang aku berikan pada kekuatan baru yang aku miliki. Perasaan tenang bergemericik di hatiku, karena tahu kekuatan baruku ini masih berlaku di tempat ini. Ku tutup kelopak mata kiriku, menyisakan mata merah terang di kanan. Masa depan, tidak, aku bisa membaca gerakan dan kemungkinan bagaimana Elaine menyerangku. Hanya ada dua kemungkinan. Jika aku menghindari tombaknya, ia akan berteleportasi ke sampingku dan pertarungan pun terjadi. Jika tidak, aku akan mati di sini begitu saja.
Karens tidak memiliki banyak pilihan, bahkan hanya satu. Aku memiringkan kepalaku, menyisakan jarak satu sentimeter antara aku dan mata tombak. Benar saja, Elaine langsung berada di depanku, memegang ujung lain tombak, lalu menarik, dan bersiap untuk melancarkan tusukan selanjutnya. Tak kehabisan ide, aku mengayunkan pedang di tangan kananku ini dari bawah ke atas tepat waktu, sehingga senjata Elaine itu menusuk ke atas langit.
Menyerah pun sudah lenyap di kepala Elaine. Ia menggunakan pangkal tombaknya untuk mengenai perutku. Ku mundur selangkah membuat serangannya meleset, mata kananku ini sangat berguna. Aku tahu serangan Elaine yang akan datang berikutnya. Ia menghadap membelakangiku, menggunakan momentum dari sisa serangannya tadi, dan melancarkan ujung tajam tombak itu kembali ke wajahku. Ku tepis serangannya itu seraya menggeserkan kepalaku sedikit, namun kali ini jarak tidak berpihak padaku. Mata tombak itu berhasil melukis luka lecet di pipi kiriku ini.
"AGH!!!"
Seketika rasa sakit menyambangi mata kananku. Membuatku tak bisa melihat, hanya dalam waktu dua detik. Elaine berhasil mendaratkan tendangannya di dada ini, dan membuatku jatuh tergeletak ke tanah.
Crakk!!!!
Tanpa ada rasa kemanusiaan, Elaine memaku tangan kiriku ini denngan tombaknya. Sakitnya luar biasa, aku mengeratkan gigiku menahan sakit. Mata kananku ini sudah tidak berfungsi lagi. Tanpa kekuatan spesial, aku hanyalah manusia biasa. Aku tidak mungkin mengalahkan Elaine, kemampuannya berada di atas rata rata rata manusia biasa. Senyuman tipis penuh kesedihan dan kekecewaan tumbuh di wajahku.
Ku pasrahkan kepalaku ke tanah. Dan ku lihat wajah perempuan yang seharusnya hidup bahagia hari ini. Bola mata merah di tengah kegelapan, menusuk masuk ke hatiku. Rasa perih di dada ini lebih kuat dibandingkan luka sungguhan yang tertanam di tubuhku.
"Ela..., maafin aku...," Ucapku lirih.
Kelopak matanya melebar, ekspresi datarnya itu berubah sedikit. Timbul rasa keraguan di mata Elaine.
"Huh?!"
Cahaya biru bersinar samar di kiri, menarik perhatianku dan juga Elaine. Darah biru yang keluar dari telapak tanganku itu merambat naik. Dari ujung mata tombak, perlahan, terus naik sampai menghampiri tangan Elaine. Membuatnya terkejut dan melepaskan senjatanya itu. Elaine melangkah dua, tiga kali ke belakang. Berusaha menghapus tetesan air yang masuk ke dalam tangannya itu.
Aku paksakan tubuhku ini untuk kembali bangkit, mencabut tombak yang memaku tangan kiriku lalu berdiri membawanya. Elaine menjerit kesakitan sementara cahaya biru kelap kelip itu berusaha mengusir kegelapan dari dalam tubuhnya.
"Elaine!!?" Aku yang tak tega melihatnya kesakitan pun lari menghampiri, tanpa mempedulikan resiko yang bisa saja datang.
BWUSH!!!
Benar saja, suatu energi dahsyat menghempaskan aku beberapa meter ke belakang. Elaine menjerit lantang dengan aura biru menyeruak keluar dari badannya. Aku kembali bangkit, menggunakan tombak sebagai alat bantuku untuk mendekat ke arah Elaine.
"NATSUKI!!!!"
Suara Elaine yang melewati kedua lubang telingaku, ku pandang ke arahnya. Ia sudah siap mengulurkan tangannya. Walau begitu, energi dahsyat itu terus mendorongku mundur.
"ELAINE!!!"
Ku gunakan sisa energiku untuk berlari sekuat tenaga, meraih tangan kanannya dan menarik Elaine keluar dari tubuhnya sendiri.
Booomm!!!!
Hempasan energi kembali menyeruak. Kali ini aku tidak sendirian terhempas. Elaine terbaring disampingku, masih mengenakan gaun biru dengan armor yang lecet lecet itu.
"Huh?"
Tidak ada waktu untuk berbaring, aku langsung bangkit berdiri di depan Elaine. Melindunginya dari apapun yang masih ada di depan kami. Amukan angin kuat yang menyembur itu menghapuskan awan merah yang ada di langit. Mengusir hujan hitam yang sedari tadi menjadi saksi bisu. Tunggu, Elaine, dia masih berdiri di depan sana mengenakan gaun yang sama, namun warnanya merah. Ilusi apa yang aku lihat ini. Aku menoleh ke depan dan ke belakang berkali kali, memastikan bahwa Elaine benar benar ada dua.