---(10 April 2016)---
Hitam, semuanya, aku tidak bisa menangkap secercah cahaya. Tubuh ini rasanya hampa, mungkinkah aku mati?
Tidak! Aku tidak boleh mati!
Aku harus bertanggung jawab atas perbuatan ku. Karena aku, semua kebahagiaan Natsuki El hancur menjadi kepingan tak berharga. Karena aku, Elaine harus menderita demi bisa membuktikan bahwa dirinya kuat. Karena aku, Celena bisa bangkit, dan tentunya itu adalah satu langkah menuju kehancuran. Kehangatan mulai tumbuh di telapak tangan kanan, gigitan rasa sakit mulai berdatangan. Aku akhirnya bisa merasakan udara dingin yang menusuk kulit. Ku buka mata ini perlahan.
Putih, semuanya, aku berada di ruangan ini. dinding lantai dan atap semuanya dilapisi dengan alumunium putih mengkilap. Tiga lampu berjejer bersinar di atas kepalaku. Terbaring lemas, selang Infus menancap di tangan. Masker oksigen melekat di hidung. Wanita berpakaian serba putih, layaknya dokter pada umumnya. Rambut panjang yang sudah beruban. Mengenakan kacamata bundar, dia, adalah orang yang merawat ku sejak kecil. Natsuki Anne, ibunda kandung ku.
Aku tak tahu dimana aku berada, namun yang pasti, Lulu berada di sisi kanan ranjang ku ini. Disampingnya berdiri ibuku, sedang mengutak-atik layar tablet putih yang ia bopong.
"Natsu? Kamu ga apa apa kan?" Lulu menyambut kesadaran ku dengan antusiasnya.
"Hunm..., sejak kapan kamu punya darah itu?" Tanya ibu tanpa menatapku sama sekali.
"Aku ga tau...," Aku bangkit terduduk.
Memandangi kedua tanganku yang diperban sampai lengan. Dahi ku juga terbalut kain putih yang menyumbat aliran darah luka. Ibu pasti sudah meneliti darah ku habis habisan. Entah kenapa aku sudah hafal sifatnya yang ambisius itu. Ingatan Natsuki memang sangat kuat jika menyangkut soal keluarga. Aku bahkan terkagum saat mengingat sesuatu tentang keluarganya. Setelah ayah meninggal dalam kejadian portal tahun 2014. Ibu yang mengambil alih perusahaan teknologi peninggalan mendiang ayah, menjadi terobsesi dengan pekerjaannya.
"Natsuki, kamu kekurangan darah..., dan darahmu itu bukan darah bisa kan? Kata Elaine, kamu punya kekuatan sihir?" Pertanyaan bertubi-tubi dari mulut ibu.
"Hunm..., dimana Elaine?" Pertanyaan yang spontan keluar dari mulut ini.
"Udah aman di ruang sebelah, juga Ibu mau jelasin sesuatu!"
Ibu memberikan tabletnya itu kepada ku, Lulu yang kepo itu mendekatkan kepalanya ke lengan ku. Terdapat gambar yang tidak mengenakan di mata. Beberapa retakan antar dimensi mulai muncul, seperti kaca yang retak, dan dari dalam muncul cahaya merah neraka. Hal ini sudah menyebar ke masyarakat luas, Asia, Eropa, Amerika Serikat, dan Rusia. Dan beberapa negara lain juga sudah mulai muncul retakan itu. Untuk sekarang umat manusia bisa bernapas lega, karena masih belum ada serangan yang keluar dari sana.
Ibu ku selaku ketua dari NTC, Natsu Technology Corporation. Bertanggung jawab akan kejadian diluar akal manusia ini. Ibu sudah bernegosiasi secara rahasia dengan pemerintahan negara negara lain. Tentu saja ini adalah hal yang sangat berat, ibu harus bertanggung jawab akan kesalahan yang dibuat oleh ayah, bukan, ini semua kesalahanku. Jika kemarin aku tidak mengizinkan Elaine untuk ikut, ini semua tidak akan terjadi. Mulai sekarang, penelitian tentang Partikel 'Aka' yang awalanya rahasia. Sekarang harus dibagikan kepada pemerintahan negara lain. Tentu saja perusahaan Ibu akan bertanggung jawab penuh untuk menanggulangi bencana yang ada.
Kriing!!!
Nada dering telepon ponsel ibu menyela dongeng yang sedang berlangsung ini.
"Halo? Oh iya iya, saya akan kesana!" Jawaban singkat Ibu seraya merebut tablet miliknya kembali. Ia berjalan ke arah pintu keluar yang bergeser otomatis itu. Menghentikan langkah sebelum mengeluarkan kaki kirinya dari ruangan ini. Ia berpesan tanpa menoleh.
"Jangan pakai sihir itu... ibu buatin kamu armor yang lebih kuat lagi!" Katanya seraya menghilang ditelan pintu yang kembali menutup otomatis.
Kesunyian meliputi ruangan, Lulu sedari tadi tidak berkata satu pun. Aku yang curiga ini pun memusatkan perhatian ke arah matanya, lalu menyajikan pertanyaan.
"Lulu? Gimana? kamu baik baik aja kan?" Senyum tipis ini menyertai.
"HEH! Malah kamu yang tanya gitu!" Timpalnya menggeplak bahu kanan ku.
"Aduh! Ehehe..., iya iya, udah tenang aja!" Aku kembali menyandarkan kepalaku di atas bantal.
"Kamu..., lain kali ati ati dong!" Sergah Lulu memancarkan kekhawatiran di raut wajahnya itu.
"Iya...," Jawabku menghela napas.
"Jangan iya iya doang! Aku ga mau kamu kenapa napa! Aku ga mau kehilangan kamu tau!" Lulu menahan gengsinya, menundukkan kepala, menyembunyikan kedua pipinya yang merah merona itu.
"Ini semua salahku Lulu..., aku harus tanggung jawab...," Ujar ku lirih memandang ke atas langit langit ruangan ini.
"Natsuki! Jangan salahin diri sendiri deh!" Bentak Lulu menggoyangkan badanku yang terbaring lemas ini.
"Tapi...,"
"Diem kamu! udah..., diem...," Nada tingginya itu perlahan turun gunung. Menahan air mata yang ingin mengalir deras keluar.
Pandangan dari kedua manik mata Lulu itu memberiku pancaran emosinya. Sedih, kecewa, penyesalan, dan juga kekesalan. Kedua tangannya menggenggam lengan ku erat. Seakan tak ingin kehilangan diriku yang bahkan tidak seharusnya di sini. Hari ini, seharusnya aku bersamanya di perpus, namun takdir yang berubah membuat kami menjalani kenangan baru. Dan melupakan kenangan yang lama.
"Aku sayang sama kamu!! Aku ga mau kehilangan kamu Natsuki!!" Pekiknya lantang, mengeluarkan semua perasaan yang selama ini ia tampung di hati kecilnya itu.
"Lulu....,"
Aku terdiam, membeku, tak tahu harus berkata apa. Satu, dua, dan tiga detik berlalu, lulu mengalirkan air dari bendungan emosi. Aku hanya bisa melihatnya dengan kedua mataku. Aku tak bisa apa apa, aku hanyalah makhluk tak berdaya. Melihat Lulu menunduk sedih di depan pandanganku. Aku membangkitkan kepalaku, terduduk di atas ranjang.
"Hem..," aku meletakan tanganku dia atas kepalanya. Walau sedikit ragu, namun aku membulatkan tekad.
"Huh?" Lulu mengangkat wajahnya yang basah dengan air mata itu.
"Tenang aja ya! Semua bakal baik baik aja!" Ujar ku mengelus rambutnya perlahan.
"Tolol!!" Lulu bangkit dari kursinya lalu memelukku tanpa ragu.
Aku yang terperanjat ini hanya bisa menerima pelukan hangat dari asisten pribadiku ini. Perasaannya, aku tahu itu, tapi aku bukanlah bagian dari takdir ini. Aku tidak berhak menerima cinta dari siapapun, aku harus memperbaiki dunia ini sebelum ditelan oleh Underworld. Apapun caranya, aku akan lalui itu.