---(10 April 2016)---
[Elaine Route]
18:50
"Heeee...., gitu toh...," aku pura pura memahaminya sembari menggaruk kepalaku.
Lampu yang terang benerang menyelimuti apartemen ini seperti biasannya. Semuannya masih terletak pada tempatnya, ditambah beberapa tumpuk buku diatas meja kaca ruang keluarga ini. Yaaa, sialan, pukul enam sampai pukul tujuh setiap hari, kami selalu mengadakan acara yang paling aku benci. Tentu saja aku bukan laki laki yang jago bertarung dan pintar di semua mata pelajaran. Aku bukan tokoh di novel remaja pada umumnya. Aku juga memiliki kekurangan. Terutama di bidang matematika.
Hari ini, aku kembali duduk di sofa biru ini. Di samping gadis cantik yang aku sayangi ini. Menjalani rutinitas yaitu belajar kelompok. Kami berempat punya budaya untuk saling membantu dalam mata pelajaran yang dianggap sulit. Misal, aku tidak bisa matematika, namun bisa bahasa inggris. Kebetulan sekali Ela kebalikan dari ku. Jadi kami harus saling membantu satu sama lain. Adik adik kami pun sama, Akito dan Nekochi belajar bersama di Apartemen sebelah yang adalah milikku dan Akito. Sementara aku di sini bersama Ela.
"Paham gaa?" Tanya Ela yang masih menggenggam pulpen merah mudanya itu.
"Uh... iya ko paham... tenang aja!" Ujarku tersenyum tipis menyembunyikan kebodohanku.
"Heleh... poham paham, besok ulangan dapet nilai dua puluh lagi awas kamu!" Ela mendorong jidatku lembut dengan jari telunjuknya.
"Ndaa koo!" Monyong bibirku ini menyangkal hal yang paling mungkin terjadi dalam hidupku.
"Oiya, mau makan malem pake apa Natsuki?" Ela menempelkan ujung pulpennya ke dagu sembari melirik keatas.
"Hoo, terserah kamu aja!" Timpalku bersemangat, langsung menutup semua buku di meja itu dan menumpuknya agar tidak bisa dibuka lagi. Jujur saja aku ingin cepat mengakhiri pelajaran matematika yang aku benci itu.
"Heleh..., bilang aja mau kabur dari pelajaran!" Ujar Ela meletakan pulpennya di atas meja.
Bruak!!!
Kami berdua terperanjat serentak, terdengar suara benda jatuh dari dalam kamar Ela yang tertutup rapat. Mataku dan milik Ela saling memandang sejenak, lalu ku bulatkan niat untuk berdiri.
"Nekochi ada sama Akito di apartemenku kan?" Tanyaku memastikan keberadaan adik perempuan Ela yang bisa saja menyebabkan suara bising itu.
"Iya..," Ela ikut berdiri dan menggenggam tangan kananku kuat.
"Udah..., tenang aja... ga ada apa apa kok!" Ucapku mengelus kepalanya lembut.
Perlahan kami pun berjalan, dan berhenti di depan pintu kamar apartemen milik Ela ini. Ku putar kenop pintu warna emas itu dan membuka gerbang ke kamar Ela. Cahaya terang mendobrak keluar dari ruangan itu. Aku menutup jalannya sinar itu ke mataku menggunakan lengan kanan. Lambat launcahaya itu berkurang, dan aku bisa melihat jelas sebuah buku besar, terbuka dengan halamannya yang bersinar. Tergeletak di atas ranjang merah muda Ela, buku sihir yang bersinar seperti cahaya matahari di pagi hari itu seolah memanggil kami untuk mendengar ceritanya.
"Ela?" Aku menoleh ke arahnya yang mengcengkeram lenganku kuat.
"Hunmm..., biarin aja kali ya... udah ayok pergi ajah!" Ela memalingkan pandangan dari buku seolah tak ingin melihatnya lagi untuk selamanya.
"Ela..., ya uda tunggu di sini aku yang liat aja!" Aku berusaha melepas cengkeraman tangannya itu.
"Hmm...," Ela tidak mau, dan tidak akan pernah membiarkan aku pergi.
Aku mengurunkan niat dan menggenggam tangannya dengan kedua milikku. Kehangatan ini, aku harap bisa menenangkan hatinya, walau sedikit, Tapi aku tak ingin ia terlalu khawatir akan masa depan yang sudah pasti.
"Ayok liat bareng!" Aku membimbingnya mendekat ke arah ranjang, dan cahaya yang keluar dari buku itu meredup sehingga terlihat beberapa kalimat d halaman tersebut.
'Hari ini 10 April 2016, tepat pada saat ini juga. Kehancuran akan dimulai, penyihir bulan sudah terbangun. Tokoh utama menyadari kekuatannya yang sebernarnya yaitu -=-=-=-=-'
"Maksudnya?" Aku bertanya kebingungan saat melihat tulisan itu.
Penyihir bulan, kehancuran, hari ini. Aku masih belum mengerti apa yang buku penyihir itu ingin sampaikan pada kami. Dan juga siapa tokoh utama yang dimaksud, aku semakin pusing ketika tahu kalau kalimat di buku itu belum selesai.
"Ya enda tau! Udah ayo tinggal aja!" Ela melepas tanganku dan pergi melangkah ke pintu keluar.
"Hmm?" Aku yang telah usai memandangi buku sihir itu pun ingin menutupnya.
Tangan kananku meraih sampul belakang buku itu. Namun belum sampai menyentuhnya dengan ujung jari, sesuatu membekukan tubuhku, dan pandanganku menjadi gelap.
"Natsuki!!! Tolong!! Aku ga bisa nahan ini lagi!! Maafin aku! Aku bukan cewek yang kuat... maafin aku selalu ngerepotin kamu!!"
Bwush!!! Bruakk!!!
Setelah suara teriakan Ela yang samar samar itu selesai masuk ke dalam otak ku. Energi yang kuat menghempaskan diriku ke belakang. Membuat punggung ku terbentur tembok kamar Ela. Bunyi bising itu membuat Ela kembali berlari masuk ke dalam menghampiriku.
"Natsuu!!! Apa aku bilang!! Tinggalin aja buku sialan itu!! Gara gara aku kamu jadi begini kan?!" Elaine berteriak ketakutan dan kekawatiran juga menyertai kalimatnya itu.
"Ga apa apa Ela..., tenang aja ya!" Ujar ku kembali berdiri seolah tidak terjadi apa apa.
"Tenang tenang palamu! Lha kamu aja sampe gitu!" Nada tingginya itu membuatku tersenyum tipis. Hatiku entah kenapa juga ikut merasa aneh. Tentang kalimat Ela, bukan Ela yang di sampingku, namun Ela yang dimaksud oleh buku itu.
Kalau itu memang masa depan..., ah... aku tidak ingin memikirkan hal itu berlebihan.
"Ssstt, uda yak!" Aku menyegel kedua bibirnya dengan jari telunjuk.
"Aku ga apa apa! ayok makan malem!" Aku menggandengnya keluar dari mimpi buruk itu.
Aku harap Natsuki di masa depan bisa menyelamatkan Ela, walau dia bukan diriku lagi. Tapi cintaku pada Ela akan terus membara di hati ini. Tak peduli siapa yang akan memiliki tubuh ini. Pada akhirnya aku yakin, cinta ini abadi.