Aku kembali bangkit lagi untuk yang kesekian kalinya. Rasa sakit yang menggema di seluruh badan ini tidak bisa menghambat ku untuk berdiri. Aku masih memiliki tanggung jawab, aku harus menyelamatkan Elaine, ini semua salahku ini semua ulah ku. Elaine, dia pasti ingin membuktikan bahwa dia tidak lemah, dan dia sudah berubah. Bukan lagi Elaine yang dulu, yang tidak bisa apa apa. Dan selalu mengandalkan Natsuki untuk melindunginya.
"Elaine!! Kamu bukan anak lemah lagi...," Gumam ku mengusap darah biru yang sedari tadi menetap di pelipis ini.
Satu langkah kaki kanan, diikuti dengan sepasang langkah kecil. Maju perlahan, tidak perlu terburu buru. Aku menatap tajam dan dalam ke mata merah penuh amarah itu. Di sekeliling tubuh Elaine yang melayang itu terdapat lingkaran cahaya yang terbang seperti kaset yang berputar pada tempatnya. Berisi tulisan aneh bentuknya, bukan berasal dari bahasa manusia di dunia. Petir merah menyala terkadang dimuntahkan oleh lingkaran itu. Tentu saja sasarannya adalah diriku.
Akan tetapi kata gentar sudah terhapus dari perpustakaan kepalaku. Kaki ini tidak berhenti maju ke depan. Berusaha menghampiri takdir yang hilang. Sesekali aku tersambar listrik berisi jutaan voltase. Walau terjatuh, aku tetap bangun kembali, dan tetap berjalan sedikit demi sedikit. Perlahan lahan waktu ini memakan jarak, sepuluh meter adalah sisanya.
"Elaine...,"
Lingkaran mantra itu menyemburkan petir yang sangat kuat. Ku gunakan kedua lenganku yang membentuk huruf x ini untuk menahannya. Aku mengeratkan gigiku, menahan dorongan ke belakang yang hebat ini. Satu sentimeter, hanya itu jarak yang menyeret ku ke belakang. Aku tak mau mundur lagi, maka dari itu aku akan menggunakan baju besi di tubuhku ini untuk yang terakhir kalinya. Ku hentakan kaki kananku ke depan, meremukkan tanah di sana. Diiringi dengan cahaya biru keluar di sela sela armor besi yang sudah lecet dan rusak tak karuan ini.
Ledakan Listrik!!!
Booomm!!!!
Gelombang listrik bertegangan tinggi menghempaskan serangan Elaine ke langit. Membuat tubuhnya yang melayang itu terpental mundur dan jatuh bergulir di tanah basah ini. Gaun yang ia kenakan itu penuh dengan cairan hitam menempel. Aku berdiri terdiam, memandangi satu persatu bagian dari armor besi hitam ini jatuh ke bawah. Meninggalkan aku sendiri dengan seragam SMA ku ini. Tetes demi tetesan hitam mulai membercak di kemeja putihku ini. Pandanganku lurus ke depan, terus memperhatikan Elaine.
Dia masih bisa membangkitkan tubuhnya dan berdiri tegak. Sinar di retakan retakan yang keluar di tubuhnya mulai menghilang. Pertanda baik atau buruk, aku masih belum paham. Seketika aku menyadari bahwa kami tak hanya sendirian di sini. Ada Akume yang siap menerkam ku dari belakang. Dengan sigap aku membungkukkan badan, menghindari cakaran makhluk itu. Saat aku berusaha membalas serangannya, aku membatalkan aksi ku, karena serangan tanganku ini hanya akan menembus badannya yang terbentuk dari asap merah.
Alih alih membalas, aku melompat dan berguling menuju pedang Elaine yang menancap di tanah itu.
Srakk!!! Pyar!!!
Ku cabut pedang besar itu, dan mengayunkan bilahnya ke arah kristal yang bersinar di dalam kepala Akume itu. Menghancurkan batu merah bersinar itu menjadi kepingan debu kecil. Setelah aku hancurkan otaknya itu, tubuh Akume tadi menguap menjadi asap hitam lalu menghilang begitu saja.
"Huff..., huf...,"
Aku berhenti sejenak menghela nafas. Mengabaikan dadaku yang kembang kempis ini, aku kembali melanjutkan aksi ku, membantai beberapa Akume yang tersisa di tengah hujan hitam ini. Sesekali aku melirik ke arah Elaine yang hanya berdiri diam menatapku tajam dengan mata merah bersinar. Satu, lompat, lari, tebas. Dua, lompat, menghindar, tusuk. Tiga, lompat ke udara, ayunkan pedang, lalu berputar layaknya gasing membantai tiga Akume sekaligus.
Semakin banyak Akume yang aku bantai, udara di tempat ini semakin buruk. Kabut merah mulai merajai tempat ini. Hujan berair hitam itu juga tak membantu menghilangkan kabut merah itu sama sekali. Aku terus berusaha mengeliminasi Akume yang mengelilingi tempat ini, supaya aku bisa fokus kepada Elaine. Beberapa menit berlalu, kabut merah itu semakin tebal, pandanganku sedikit kabur, terkadang hanya terlihat pancaran merah dari bola mata Elaine. Dan juga cahaya dari batu kristal yang berada di dalam kepala Akume.
Krak!! Bwush!!!
Aku mecahkan kristal Akume terakhir yang aku lihat. Menghabiskan seluruh sisa tenaga yang ada di tubuh ini. Melihat lurus ke masa depan yang penuh dengan kabut.
"Huh?"
Beberapa detik kemudian aku dilanda kebingungan karena hal aneh yang dilihat mataku. Kabut merah yang menyelimuti medan perang ini perlahan kabur ke satu arah. Pelan, namun pasti, akhirnya terlihat Elaine yang mengangkat tangan kanannya ke atas. Layaknya penyedot debu, semua asap merah itu menuju ke atas tangannya, berkumpul membentuk sesuatu yang aku tak tahu. Terdiam menancapkan pedang ini ke tanah. Aku berusaha mengatur nafasku yang tak beraturan ini sembari menganalisa apa yang terjadi.
"Humm?" Aku menyipitkan mataku sedikit.
Asap asap yang berkumpul di atas tangan Elaine itu membentuk sesuatu yang panjang dan runcing di satu ujung saja. Setelah semua kabut itu berkumpul, barulah terlihat jelas benda yang ingin Elaine bentuk adalah sebuah tombak. Gagang tombaknya berwarna hitam kemerahan, seperti darah yang sudah kering. Aku semakin dibuat bingung karena ada satu Akume lagi yang mendekat dan berhenti di samping kiri Elaine. Tubuhnya langsung menguap jadi kabut seperti teman temannya, dan bergabung masuk ke gagang tombak. Lalu kristal merah yang melayang itu meruncingkan diri, menyatu di ujung tombak. Dengan begitu kristal tadi melengkapi bagian senjata Elaine sebagai mata tombak yang tajam.
"Ohh...," Aku kembali mengangkat pedang di kananku bersiap menghadapi masa depan yang akan menghantam.