Langit masih menangis, percikan percikan kesedihan menyebar ke sana dan ke sini. Dibawah gumpalan awan hitam itu masih banyak orang orang yang melawannya. Menggunakan kendaraan roda empat menerobos tangisan langit. Sunyi, sepi, namun hangat. Tangan kananku erat memegang roda kemudi. Pandanganku fokus ke depan, namun sesekali melihat ke arah Lulu yang tertidur lelap. Untung saja aku menemukan ponselnya di atas speedometer mobil ini. Dengan akal yang belum lenyap, aku mengunakan alamat yang Lulu beri nama 'rumah' di peta ponselnya ini.
Sesekali terhenti di perintah lampu lalu lintas. Aku kembali bertanya pada diriku sendiri.
"Kenapa aku disini?"
Tentu saja tidak ada yang menjawabnya, aku tersenyum sendiri melihat Lulu, dan melanjutkan perjalanan ini dalam sunyi.
"Besok aku masakin kamu ya pas ultah...," Kalimat Lulu itu mengambil perhatianku sepenuhnya. Namun hanya sejenak, karena ternyata ia sedang mengigau.
"Huh? Masak?" Tanyaku berbisik karena tak ingin membangunkan gadis yang tertidur lelap di sampingku ini.
"Kenapa kamu selalu pilih Elaine dari pada aku!" Lulu melanjutkan budaya bicara sendiri saat tertidur lelap.
Ya walau begitu, aku tak menganggap itu semua omong kosong. Justru kalimatnya saat ini adalah kalimat yang paling jujur yang keluar dari mulut orang sepertinya.
Senyum tipis di wajahku ini mengiringi sisa perjalanan. Peta yang ada di ponsel Lulu ini mengarahkan kami ke arah sektor Haru. Bagian selatan pulau besar ini. Aku sangat terkejut betapa jauhnya jarak yang harus ditempuh Lulu untuk ke rumah sakit tadi, karena angka di map ini menunjukan jarak 110KM. Dan waktu terus berputar, meredakan amukan awan hitam yang tadi menyelimuti.
Begitu mobil ini melewati perbatasan antar dua sektor. Hujan yang dari tadi menemaniku itu juga lenyap. Digantikan cahaya oranye matahari yang ingin melambaikan tangannya. Jam di ponsel Lulu sudah menunjuk ke pukul 17:00. Namun perjalanan ini masih setengahnya. Menyusuri jalan yang berliku dan menanjak. Pemandangan sore ini begitu indah, pepohonan di kanan dan kiri menyegarkan mataku. Kendaraan yang jarang sekali berpapasan membuatku sedikit lengah.
Sesekali aku memperhatikan Lulu yang masih tertidur pulas sedari tadi. Aku sedikit khawatir karena sang surya sudah mengorbankan cahayanya untuk bulan. Malam telah tiba, dan setelah sekian lama empat roda kendaraan ini bergulir. Akhirnya aku bisa menghentikan laju mobil ini di depan halaman luas di pinggir jalan. Ku pastikan bahwa peta ini tidak salah menunjukan arah, sekali, dua kali. Aku yakin ini adalah tempat yang dimaksud olehnya. Saat ku lihat ke kanan, memang di sana ada sebuah rumah. Rumah itu terletak sekitar dua puluh meter dari jalan raya, terdapat jalan setapak kecil seperti bekas roda mobil.
Aku pun memutuskan untuk menuruti bimbingan jalan itu. Dan akhirnya sampai di depan teras rumah tingkat dua yang minimalis tersebut. Setelah ku matikan mesin, sepi pun kembali menghampiri. Tak ada suara nyanyian jangkrik karena ini masih musim semi.
"Heh?! Natsukiiii!!!!!!!!"
Pekik Lulu sangat keras sampai gendang telingaku hampir pecah. Aku mengerutkan dahiku sembari bertanya.
"Loh kenapa?"
"INI BUKAN RUMAH YANG AKU MAKSUD!!!" Teriaknya menyalahkanku.
"Lah tapi kata peta di hapemu...," kutunjukan layar ponselnya untuk memperkuat argumenku.
"Hih!!! Ya bener ini rumahku! tapi...," wajahnya yang penuh emosi seketika ditelan oleh diam.
"Kenapa?" Aku masih sangat bingung.
"Ya uda deh kamu lupa!!!" Nadanya kembali mengeluarkan emosi.
Lulu melepas sabuk pengaman yang memeluknya lalu keluar dari kereta kuda modern ini.