"Bara sama Bella sudah putus, Ma," jawab Bara datar.
Kirani terlihat terkejut dan ingin memotong ucapan Bara, tapi Bara langsung menyambungnya, "tapi, sekarang Bara sedang ngincer seseorang Ma. Namanya Rani, dia lebih cantik dai Bella. Lebih sholehah lagi."
Kirani tersenyum. Senyuman yang ya …. Sudahlah, namanya juga anak muda, gonta ganti pasangan juga tak apa yang penting nanti sesudah menikah Bara bisa setia.
Kirani tidak ingin kalau anaknya menuruni sifat ayahnya, karena berkuasa jadi dia semena-mena. Kirani ingin Bara dan Adrian itu berbeda.
"Ya udah, Mama doain deh. Pokoknya yang terbaik aja buat kedua anak Mama ya."
"Aamiin, makasih Ma." Bara pun memeluk Kirani dan membuatnya kaget.
Begitulah Bara, kalau dia sedang ingin dimanja-manja sama ibunya.
Anak lelaki terkadang lebih ingin diperhatiin, akan tetapi mereka lebih banyaknya gengsi.
Hanya satu dua anak yang bisa terbuka pada ibu mereka dan berani memeluknya, selebihnya mereka-mereka akan lebih so terlihat mandiri dan menghadapi apa pun yang menimpa mereka tanpa pernah berani bercerita pada orang tua.
***
"Ya udah Asih, kalau ada apa-apa aku akan lindungi kamu. Tenang saja! Oh ya, kamu udah nge-save nomor aku belum? Kan kita satu grup whatsaap para istri Juragan," kata Gisella pada Asih di depan pintu kamar istri sah ketiga suaminya itu.
Asih diam sejenak sebelum berkata, dia memang dimasukkan ke grup itu tapi karena belum kenal jadi tiada satu pun dari nomor para selir yang Asih simpan, hanya Monika dan Kirani saja serta ketiga anak tirinya karena memang Asih juga dimasukkan ke grup whatsaap seluruh keluarga Jajaka Purwa.
Padahal, banyaknya orang di sini bisa jadi ramai kalau semuanya tidak bersitegang.
Tapi sayangnya, karena terdapat kubu-kubu dan mereka saling bersaing jadi tidak mudah akur dan rasa solidaritas pun tidak terasa.
Kecuali, solidaritas dari mereka-mereka yang ingin bersekongkol saja meski Asih tidak tahu orang-orang mana yang berteman dan orang -orang mana yang musuh.
Melihat dari ekspresi setiap istri pada saat Famella dibunuh pun, seolah tidak ada yang peduli padanya dan bahkan terlihat semuanya senang karena salah satu musuh berat mereka musnah.
Asih bisa melihatnya, karena kalau ada selir yang mungkin sangat dekat dengan Famella, pastinya dia akan histeris jika temannya dibunuh seperti itu.
"Iya Mba Gisella, nanti saya save. Sebelumnya terima kasih ya," balas Asih dengan sopan seraya menganggukkan kepalanya.
"Iya, masuk gih sana duluan!" suruha Gisella. Asih pun menurut, dia kemudian membuka pintu kamarnya dan melambaikan tangan pada Gisella dan setelah itu menutupnya.
Setelah Asih hilang dari pandangna, Gisella pun tersenyum mneyungkit di ujung bibir.
Senyuman penuh dengan rencana, Asih begitu lugu dan sangat mudah dia manfaatkan demi rencana-rencana spektakulernya hnaya demi keuntungan pribadi.
Mana mungkin kan Kirani memihak Asih? Dia tentunya sama seperti yang lain.
Tidak ridho jika ada istri baru apalagi masih bau kencur seperti Asih dan statusnya istri sah pula, harga diri para selir pun terasa terinjak-injak.
Menurut mereka Asih bodoh karena telah memberanikan dirinya untuk masuk ke sini, dan seharusnya dia mengikuti jejak Nengsih yang lebih berani untuk bunuh diri daripada melanjutkan hidupnya tersiksa di sini.
Nengsih sudah bisa membayangkannya saat itu, tapi Asih? dia salah satu contoh yang nekat masuk neraka.
Gisella pun kembali meneruskan langkahnya untuk pergi ke kamar suaminya—Jajaka Purwa.
Diketuknya pintu lelaki yang sudah mirip dengan sosok Yang Mulia Raja itu olehnya.
TOK! TOK! TOK!
"Juragan, ini saya … Gisella," ucap Gisella mendekatkan bibirnya ke pintu.
Jajaka Purwa yang sedang tersenyum-senyum mengingat romansanya tadi bersama Asih pun dikejutkan oleh suara orang yang memang disuruhnya masuk ke kamar.
"Ya, buka saja!" titah Jajaka Purwa.
Gisella pun membuka pintu, dia melihat Jajaka Purwa sedang berbenah diri. Dia menyimpan bantal dipinggangnya untuk dijadikan sandaran.
Ya … dia memang sudah tua. Sangat terlihat cocok jika bersandar seperti itu pikirnya, sebenarnya juga … Gisella ingin sekali dia cepat-cepat untuk mati agar Gisella pun tercucur oleh sebagian kekayaan suaminya itu dan bisa hidup bebas nantinya.
"Sini, tidurlah duduklah di kasur!" titah Jajaka Purwa lagi padanya.
Apa dia juga akan mengajak Gisella bermalam? Pikiran Gisella sudah senang saja, dia bahkan sekarang memakai baju tidur yang mudah dibuka dan berwarna merah yang melambangkan gairah yang disukai oleh Jajaka Purwa.
Tapi tidak, Jajaka Purwa tidak terlihat tertarik. Lagipula memang lelaki itu tidak bilang ingin mengajak bermalam sekarang dan hanya butuh informasi saja dari Gisella.
Tapi, Gisella tetap mencoba. Tidak ada salahnya kan? Gisella juga sudah lama tidak mendapat sentuhan dari suaminya, dia juga butuh itu meskipun dia tidak mencintai Jajaka Purwa, Gisella hanya mencintai hartanya dan memanfaatkan kewenangannya.
Gisella pun duduk, dia terus menebar pesona. Mengaitkan rambut panjang ikalnya ke samping telinga, melihat suaminya dnegan penuh pesona. Masih berharap.
"Bagaimana?" tanya Jajaka Purwa seraya tangannya meraih rokok vape di meja di samping kasurnya.
Seketika asap-asap rokok pun menghiasai ruangan. Tapi, aromanya sama-sama mereka sukai. Itulah pecandu.
Gisella tersenyum. "Selama ini baik-baik saja Suamiku," balas Gisella, "oh ya, mungpung saya ke sini apakah Juragan ingin dipijit?"
"Tidak usah," balas Jajaka Purwa sambil menatap Gisella dengan kerlingan mata menggoda.
Gisella tertawa kecil.
"Oh ya enggak apa kalau sekarang Juragan sudah tidak butuh lagi pijatan saya, tapi … kalau bermalam?" tanyanya penuh pengharapan dan digigitnya bibir merah merona itu oleh dirinya sendiri.
Jajaka Purwa pun menyemburkan asap rokok itu perlahan, terlihat beggitu menikmati.
"Tidak perlu juga, saya lagi senang melakukan itu dengan istri saya. Dia lebih menggoda, kalau kaliankan sudah saya nikmati bertahun lamanya. Sudah enggak penasaran, kalau si Asih masih fresh, masih malu-malu dan belum berpengalaman dan harus saya ajarkan dulu. Saya juga baru tahu kalau jadi guru di ranjang itu sangatlah menarik dan saya sangat menikmatinya," celetuk jawaban pedas dari mulut Jajaka Purwa.
DEGGG! Hati Gisella seperti dicabik-cabik, sangat sakit.
'Kurang ajar! Beneran pirasatku kalau si Tua Bangka ini sedang kesemsem sama si Asih. Gila, pelet apasih yang digunain anak kencur itu? Pantes saja tadi si Monika juga terlihat sebegitu bencinya pada dia,' gumam hati Gisella.
"Kalau semuanya memang baik dan itu benar, kamu boleh pergi Gisella. Selamat mimpi indah," kata Jajaka Purwa seolah mengusir secara halus.
Sesingkat itu? Jika hanya singkat seperti ini mengapa Jajaka Purwa sampai menyuruhnya datang? Di hanphone juga bisa, pikir Gisella merasa dipermainkan.
Jauh-jauh dia ke sini, rumah ini kan cukup besar. Perlu berjalan cukup jauh juga untuk kembali ke kamarnya di gedung belakang.
Tapi, Gisella tidak ingin membantah atau memprotes. Dia lebih menurut saja.
"Iya Suamiku, kamu juga selamat beristirahat ya." Gisella mendekatkan wajahnya ingin mencium pipi Jajaka Purwa, tapi si lelaki tua itu menolaknya dengan angkuh.
"Aku sedang tidak ingin dicium dirimu, ini bekas ciuman Asih tadi," ucapnya tanpa berpikir Gisella akan sakit hati atau tidak.
'Sial! Kampret sekali lelaki buluk ini, mentang-mentang sedang kasmaran ke istri barunya. Untung lo kaya ya, kalau enggak lo udah gue ludahi tahu,' gumam Gisella lagi di hatinya, dia sangat kesal tapi wajhanya berusaha menampakkan ketidakterpengaruhan.
"Hmmm, baik kalau begitu Juragan. Aku pergi sekarang." Gisella pun menyerah untuk menggoda suaminya dan berlalu pergi keluar setelah Jajaka Purwa menganggukkan kepalanya.
***
Di kamar, sebelum tertidur pulas –Asih membuka handphone-nya sebentar dan ternyata, Neneng sudah membalasnya.