"Maaf Asih, aku baru punya kuota hehe. Kemarin hanya baru kebaca pesan kamu saja, sedangkan saat aku ingin membalasnya ehhh … kuotanya sekarat. Maaf ya. Oh iya Asih, gimana di sana? Kamu enggak menderita kan? Kuharap kamu bahagia, oh iya juga gimana rasanya kamu kenal sama kedua anak tiri tampanmu itu Asih? Ceritain dong!" tulis pesan balasan Neneng yang terlihat antusias.
Asih kemudian menahan gambar icon microphone untuk melakukan voice note.
"Aku di sini, ya seperti yang bisa kamu dan orang lain tebak aja Neng. Bagaimana hidup menjadi istri muda? Kamu pasti tahu rasanya. Ya begitulah Neng, punya anak tiri yang seumuran sama usianya di atas aku … rasanya aneh aja. Apalagi sama Bara, udah kayak Tom and Jerry." Asih mengkerutkan wajahnya, mengingat kembali ucapan dan tindakan Bara pada dirinya sendiri. "Neng … aku ingin tanya kabar kak Dandi. Apa dia sudah bekerja sekarang? Apa dia nanyain aku Neng?" Asih merasakan kesakitan di hatinya. "Oh iya sama satu lagi, kalau ada apa-apa tentang keluarga aku jangan lupa beritahu aku ya Neng."
KLIKKK!
Gambar microphone itu pun dilepas Asih dan seketika terlihat warna hijau memutar, artinya pesan sedang dikirim (loading) tapi tak lama pesan juga berhasil terkirim.
"Hmmm, aku rindu kak Dandi. Apa dia akan menepati janjinya ya?" Asih menaruh handphone-nya dan segera menelungkup badannya dengan selimut.
Seketika, terbesit adegan tadi bersama suaminya sendiri yang membuat Asih justru ngeri.
"Apakah kak Dandi masih akan menerima ketidakperawananku? Kuharap, dia akan menepati janjinya. Aku masih menunggu kamu Kak."
***
Adrian sudah menjemput Andara di pinggir jalan. Sekarang, perempuan itu sudah duduk di jok mobilnya.
Adrian sangat canggung, hari ini dia ingin sekali menatap Andara terus karena perempuan itu berdandan begitu cantik.
Gaun berwarna navy selutut, tanpa rompi dan dengan dada terbuka itu sungguh terlihat menggoda.
Rambut Andara pun terurai, seliweran parfum juga mendominasi aroma harum di dalam mobil.
Aroma yang kemarin malam juga sudah akrab di hidung Adrian.
Terendus oleh hidungnya yang menjelajahi wajah Andara dan sekujur tubuhnya.
"Hem hem." Adrian berdeham dulu sebelum memulai orbolan. "Andara …," panggil Adrian padanya.
"Iya, Tuan?" tanya Andara sambil menoleh ke samping, di mana Adrian sedang fokus menyetir dan sesekali menoleh pada jalanan dan juga menatap padanya.
"Mmm." Adrian ragu. "Ibumu sakit sejak kapan? Terus ayahmu?" tanya Adrian penasaran.
Andara tersentak mendengarnya. Tapi Andara pikir, tidak ada salahnya dia bercerita pada Adrian. Adrian terlihat baik, Andara juga sebenarnya merasa nyaman dekat dengan Adrian.
Hanya saja, Andara tidak begitu yakin kalau Adrian benar-benar menyukainya. Lagipula, pertemuan mereka tidaklah di kondisi yang tepat, Andara mengira Adrian sudah sering membeli seorang perempuan.
Karena Andara juga baru kali ini memberikan tubuhnya untuk bisa dinikmati seorang lelaki dengan bayaran setelahnya, kalau tidak terpaksa Andara juga tidak ingin menjerumuskan dirinya sendiri.
Andara sangat terpaksa demi menolong pengobatan ibunya, dia juga harus cuti kuliah dan sedang mencari pekerjaan penuh.
Pekerjaan paruh waktu tidak bisa membantu perekonomian Andara, dan terlebih sudah tidak ada sang ayah yang menanggung kebutuhan mereka.
"Ibu sakit sudah cukup lama, tapi semakin parah setelah ayah meninggal dunia," balas Andara sambil tersenyum.
Kegetiran nampak jelas di wajahnya. Adrian yang mendengarnya pun ikut iba, serasa dia juga telah berdosa meniduri seorang perempuan yang menjadi pulang punggung keluarga.
Tapi, terbesit prasangka aneh di kepalany Adrian. Apakah jangan-jangan?
"Maaf sebelumnya Andara, tapi sudah berapa lama kamu jadi perempuan bayaran?" tanya Adrian bersamaan dengan salivanya yang dipaksa turun ke bawah.
Andara sebenarnya enggan untuk jujur, tapi lagi-lagi dia tidak ingin menyembunyikan apa pun dari Adrian. Dia memilih untuk mengutarakannya.
"Sebenarnya, aku baru semalam menjual tubuhku pada lelaki Tuan." Andara menunduk. Sungguh malu rasanya.
"Yang benar, Andara?" Adrian tercengang. Berarti dia dan Andara sama-sama baru kali ini mencoba.
"Tapi, apa benar kamu belum melakukannya lagi dengan siapa pun?" tanya Adrian masih penasaran.
Dia ingin melihat binar di mata Andara dengan jelas, maka akan tampak Andara jujur atau bohong padanya.
"Iya, aku jujur dan aku pun belum melakukannya lagi dengan lelaki lain Tuan. Tapi, jika kamu ingin memesanku lagi sekarang aku bersedia." Andara tiba-tiba menangis, Adrian pun menghentikan laju mobilnya ke pinggir jalan.
"Kamu kenapa Andara?" Tak kuasa Adrian melihat seorang perempuan menangis. Seperti halnya Bara, dia pun sama. Sama-sama merasa tidak enak jika seorang perempuan menangis di hadapannya, apakah Andara menangis karena Adrian salah bertanya? "Maafkan aku Andara kalau aku salah bertanya padamu." Adrian menyesal.
"Tidak Tuan." Andara menyeka air matanya. "Sebenarnya saya tidak mau menjual diri, saya sangat tahu kalau ini adalah dosa besar. Tapi saya butuh biaya untuk pengobatan ibu di rumah sakit, saya ingin ibu saya tertolong."
Adrian pun menyeka air mata Andara yang masih terus terjun. Tatap mereka pun saling bertemu.
Tatapan yang sangat membuat canggung dan membuat keduanya juga merasakan kegetaran yang sangat aneh.
"Aku bukan melarangmu menangis, tapi aku takut kalau aku yang membuatmu menangis. Maafkan aku."
"Tidak Tuan," sergah Andara. "Saya hanya merasa diri saya hina, tapi saya juga terpaksa."
Adrian pun menyandarkan tubuhnya ke jok mobil, menghela napas panjang.
"Aku juga jujur, sebenarnya aku juga pertama berhubungan dengan seorang perempuan yaitu denganmu."
Andara terkejut, berarti dugaannya salah. Tapi kenapa?
"Lantas mengapa Tuan berani?" Andara menatap Adrian dengan penuh rasa kecewa, tapi biar begitu pun juga Adrianlah yang menyelamatkan ibunya Andara.
Adrian tertawa, "ahahaha. Aku sendiri bingung Andara. kehidupanku seperti di neraka, rasanya begitu sepi dan tersiksa. Entah itu di keluarga, entah apalah yang lainnya. Jadi, aku ingin mencoba hal baru hingga Beno menawariku dirimu. Dia tidak bilang kalau kamu belum disentuh orang lain, kukira kamu sudah professional." Sunggingan senyum terlihat di bibir Adrian.
Sampai pada akhirnya mereka sama-sama terdiam, mencoba menelaah perasaan masing-masing.
Adrian pun kemudian menyalakan kembali mobilnya dan melaju lagi ke jalanan, lima menit berselang … Adrian mencoba lagi membuka suara.
Menghangatkan kembali suasana yang tadi mendingin setelah tahu kalau ternyata masing-masing dari mereka adalah perawan dan perjaka yang baru saling mencoba di tengah background mereka yang satu terpaksa karena ada yang harus diselamatkan sedang yang satunya hanya merasa terluka dengan skenario kehidupan.
"Andara," panggil Adrian tanpa menoleh.
"Ya, Tuan?" sahut Andara sedikit tegang.
"Bisakah aku meminta sesuatu darimu?" Adrian menatapnya sekilas karena pandangannya harus tetap melihat jalanan.
"Apa Tuan?" tanya Andara.
Meski ragu, tapi Adrian sangat yakin kalau Andara adalah perempuan baik-baik dan harus Adrian pertahankan.
Walaupun keduanya telah melakukan kesalahan da berniat mala mini pun melakukannya lagi, Adrian merasa ada yang aneh di hatinya.
Perasaan yang sangat memuncak, bukan melulu perihal bermalam dengan gairah romansa akan tetapi ada hati yang selalu rindu dan itu sangat berbeda.
Berada dekat Andara membuat Adrian tenang dan lupa kalau hidupnya penuh dengan nelangsa. Adrian percaya ini bukan suatu kebetulan, tapi suatu takdir.
Adrian dan Andara adalah dua insan yang dipertemukan oleh takdir yang Tuhan mereka tuliskan. Tidak ada yang salah.