"Aku … ingin kamu tidak melayani lelaki lain selain aku." Adrian menatap perempuan itu, Andara pun sama.
Dia justru lebih ke-terkejut mendengar ucapan Adrian.
Maksudnya apa? Apa yang ingin disampaikan Adrian sebenarnya? Melihat Andara kebingungan dan suasana terasa tegang, Adrian pun menyambung ucapannya kembali.
"Maksudku, layani aku saja. Ya? Andara? Aku akan bayar kamu sekaligus kutanggung semua biaya rumah sakit dan mungkin suatu hari nanti … aku akan menikahimu." Adrian serius soal itu.
Andara semakin syok mendengarnya. Apakah lelaki yang berani menyetubuhi tubuhny aini serius dengan ucapannya atau tidak?
Tapi, kenapa dia masih ingin menyetubui Andara? Andara tidak bisa berpikir jernih, tapi dia memang sedang butuh dana untuk biaya rumah sakit.
Lagipula jika menyetujui kesepakatan dengan Adrian sangatlah enak, Andara tidak perlu menjual tubuhnya ke setiap lelaki. Hanya pada Adrian seorang saja.
"Gimana Andara? Kamu mau? Aku juga bisa membantu kuliahmu lagi, aku janji. Aku akan perjuangin kamu, kamu baru cuti kan? Beasiswamu masih bisa selamat, dan jangan pikirin biaya hidup. Semua aku tanggung, aku serius Andara."
Andara menatap Adrian yang sesekali pandangannya berpaling ke jalanan. Dia seolah menemukan ketulusan, meskiupun rasanya ucapan Adrian merendahkan Andara.
Tapi apa yang harus dipikirkan lagi? Demi kesehatan ibunya dan demi kuliahnya tetap berjalan, dan sekaligus demi rasa di hatinya yang baru bersemayam.
Adrian seperti mempunyai magnet tersendiri yang menarik persetujuan Andara untuk tidak mengatakan jawaban selain 'IYA'.
Mengenai perkuliahan, Andara juga mengira kalau Adrian tahu itu dari Beno –mungkin dia menceritakan identitas Andara sebelum Adrian berani membayarnya semalam waktu itu.
Hanya saja mengenai Andara yang masih perawan, Beno bungkam mungkin tadinya Adrian memang hanya ingin membeli wanita professional, bukan pemula seperti Andara.
"Iya, Tuan. Aku setuju."
Adrian pun tersenyum, Andara pun juga begitu. Keduanya seperti merasakan keajaiban tersendiri.
Hati mereka yang pernah mengalami musim kemaru panjang seakan diguyur hujan dan sangat terasa sejuknya.
Ditambah pengharapan tanah akan subur dan tumbuhlah banyak tumbuhan-tumbuhan hijau. Bunga-bunga juga bisa bermekaran. Sungguh indah, tinggal menanti musim semi saja.
'Apakah harus begini jalan jodohku?' tanya Andara dalam hati. Ia terasa yakin kalau Tuhan memberinya Adrian untuk menemaninya sampai nanti. Jodoh bisa datang kapan saja kan? Tanpa dia duga, meskipun jalan pertemuannya harus kotor. Setidaknya masih ada kesempatan untuk membersihkannya nanti.
***
Pagi harinya, di hari senin seperti biasa … Asih bersiap untuk sekolah. Tapi tidak dengan Bara.
Kirani pun, hari ini harus bersiap-siap pergi ke sekolah memenuhi undangan pihak sekolah untuk membicarakan kasus perkelahian Bara dengan Alfred.
Bara juga tidak sarapan bersama, dia lebih memilih untuk menonton televisi di kamarnya. Dalam keadaan kucel karena belum ingin mandi, dia hanya mengemil cemilan kacangnya dan beberapa kwaci.
Sungguh nikmat, itulah yang dirasakan Bara. Seminggu ke depan tidak akan ada pembelajaran, ini sungguh surga dadakkan.
Ya … meskipun tidak dipungkiri juga kalau Bara juga malu. Seorang King di skors lagi? Apa kata penggemar? Ya, tapi Bara tidak peduli. Bara tidak merasa dia salah, yang salah sepenuhnya adalah Alfred.
TOK! TOK! TOK!
Bara menoleh ke pintu setelah suara ketukkan itu terdengar.
"Siapa?" teriaknya dan kemudian kembali mengunyah kacang.
"Gue, Adrian," jawab Adrian di luar.
"Nggak dikunci." Bara heran, ada apa kakaknya mengetuk pintu kamar Bara? Biasanya dia langsung pergi ke meja makan.
Adrian pun masuk, memasukkan kepalanya saja dan kedua kakak beradik itu saling tatap.
Bara menatap Adrian aneh dengan buku setengah terbuka karena ingin memasukkan kwaci ke mulutnya, Adrian menyeringai karena sejak malam minggu dia baru pulang malam senin karena menemani Andara di rumahnya dan juga menengok ibu Andara di rumah sakit.
"Lo cari-cari gue ya kemarin? Maaf gue sedang dibuk," ucap Adrian, "kenapa lo nyari-nyari gue? Mau nyusu lo? Atau mau duit?" tanya Adrian karena Bara masih menatapnya sinis.
"Habis ke mana lo emang? Main enggak ngajak-ngajak, gue suntuk di rumah."
Adrian pun masuk, dan melangkah mendekati adiknya—Bara.
"Alah … masa seorang ketua gengs kesepian, buat apa bikin gengs kalau gituh?" Adrian meledek.
"Ah lagi males gue," jawab Bara ketus dan kembali melihat televise, tontonan lawak luar negeri.
Tiba-tiba, Adrian sadar kalau wajah Bara terdapat banyak luka lebam.
"Tunggu dulu, lo kenapa?" tanya Adrian sambil menilik-nilik wajah Bara.
"Nah itu, keasyikan main sama temen-temannya sampai keadaan adiknya sendiri pun enggak tahu.
Adrian tertawa, "hahahaha, gue udah tahu paling lo berantem kan? Nggak salah lagi."
"Ya, itu juga." Bara membenahkan posisi duduknya. "Ditambah lagi ayah nyiksa gue."
"Lah, kenapa?" Adrian semakin terkejut.
Bara tersenyum. Senyuman yang membuat Adrian jijik karena terlihat seperti banci, Adrian yang melihatnya pun mengernyit.
"Karen ague udah nonjok istri barunya."
"Apa? Si Asih? Lo nonjok dia? Lo gila, Bar? Emang dia buat salah sapa sampai lo berani mukul cewek. Parah lo!" Adrian sangat tidak setuju, meskiun mereka sama-sama sepakat tidak menyukai kehadiran Asih –tapi Adrian masih bisa berpikir waras untuk memukul seorang perempuan.
Toh Asih menikah dengan ayahnya pun memang karena Asih terpaksa.
"Dia salah karena so jadi pahlawan ngehalangi pukulan gue ke si Alfred, gila nggak tuh Kak?"
Mulut Adrian terbuka. "Gila sih, hahah. Tapi ada apalagi lo sama si Alfred? Masih ngarepin si Bella?" tanya Adrian menggoda adiknya.
"Enggak, sudi najis gue balikkan sama si Bella yang udah selingkuh."
"Terus?"
"Si Alfred pokoknya bikin emosi gue terpancing mulu."
Adrian hanya mengangguk-nganggukkan kepalanya saja.
"Jadi gue enggak bakal sekolah selama seminggu," ucap Bara lagi.
"Diskorsing?"
"Heem."
"Apa urusannya sama enggak sarapan?" Adrian merasa kalau Bara sungguh aneh.
"Males gue ah." Bara kemudian meindah-mindahkan acara televisi ke channel lain.
Tiba-tiba, suara ketukkan pintu terdengar lagi.
TOK! TOK! TOK!
"Siapa?" tanya Adrian dan Bara serentak.
Kemudian, lelaki berkepala botak muncul sambil tersenyum menunjukkan gigi yang tidak putih itu.
"Eh Kang Ucup, kirain siapa … ada apa?" tanya Bara.
"Anu Tuan-Tuan muda, kata Juragan … Tuan Bara disuruh nganterin Nyonya Asih sama Nyonya Kirani ke sekolah," jawab Ucup sambil cengengesan, dia tahu bagaimana sikap Bara.
Ucup tidak ingin kena semburan amuk si Tuan Mudanya yang temperamental seperti Bara, karena dia tidak akan pernah tahu kapan kepala Bara meletus karena emosi.
"Apa?" Bara terkejut. "Sialan! Gue harus jadi supir si Asih?"
"Mama juga disuruh ke sekolah?" tanya Adrian.
"Heem," balas Bara ketus.
"Saya cuman menyampaikan titah Juragan, Tuan Bara. Saya pamit." Ucup mengangguk sopan dan setelah itu dia pergi sesudah Bara mengiyakannya.
Bara semakin kesal, apalagi sekarang kakaknya—Adrian terus menertawakannya.
"Ya udah, turuti aja daripada mobil lo disita ya kan? Ayo sarapan dulu!" ajak Adrian. Adrian pun berlalu pergi sambil tertawa.
"Mandi aja gue belum. Ahhh, sial hidup gue apalagi semenjak ada si Asih. Kacau!" Bara setengah mengamuk uring-uringan di kamarnya sendiri sambil mengacak-acak rambutnya.
***