Famella--sang istri siri itu hanya bisa menunduk di samping selingkuhannya bernama Sandi.
Sandi adalah salah satu anak buah Jajaka Purwa yang masih muda. Jadi selama ini mereka berdua berhubungan di belakang Jajaka Purwa bahkan sampai sering sekamar.
Karena jarang berkunjung ke rumah belakang, Jajaka Purwa jadi tidak mengetahui perselingkuhan yang sudah berlangsung selama dua tahun itu.
Famella adalah selir termuda yang dinikahi siri olehnya, tercantik pula. Pantas kalau Sandi juga jatuh hati padanya.
Jajaka Purwa mendekati dua tersangka yang sekarang kedua tangan mereka sudah diikat ke belakang agar tidak bisa melakukan perlawanan.
Jajaka Purwa menghampiri mereka dengan langkah pelan dan terdengar nyaring dari suara sepatu yang dipakainya.
Tidak ada siapa pun yang berani berbisik-bisik di situasi seperti ini, mereka sudah paham apa yang akan terjadi berikutnya.
Apalagi, slier yang sangat disukai Jajaka Purwa telah melanggar aturan –sebuah pengkhianatan besar yang tidak akan mudah dimaafkan dan taruhannya adalah nyawa yang melayang.
Satu langkah lebih dekat, Jajaka Purwa pun berhenti di depan mereka. Keduanya begitu bergetar ketakutan, dan Famella mulai menangis.
Jajaka Purwa kemudian jongkok dengan kaki kanan lebih tinggi, dia langsung mencengkeram rahang istri sirinya itu dan kemudian ….
"Cuih!" Jajaka Purwa meludahi wajahnya.
Semua orang di sana terkejut dan juga merasa jijik, miris sekali Famella diperlakukan seperti itu.
Famella semakin menangis tersedu-sedu, menahan tangis yang seharusnya menjerit, dadanya naik turun karena begitu tegangnya.
Meskipun dia tahu resiko apa jika dia berkhianat, tapi tidak ada yang bisa menghalangi seorang istri kesepian.
Meskipun Jajaka Purwa paling sering mengunjunginya, tetap saja … para istri siri hanya jadi pelampiasan. Tidak semua tergarap dalam satu bulan oleh si Tuan Tanah.
Ketidakadilan dalam memuaskan istri-istrinya pulalah yang menjadi penyebab perselingkuhan Famella terjadi.
Sandi lebih bisa memuaskannya, lebih perhatian dan tentunya juga mencintai Famella.
"Berani-beraninya kau menyelingkuhiku, hah? Sudah syukur kau kuberi barang-barang mewah dan semua fasilitas di rumah ini, kurang apalagi?" Jajaka Purwa menatap Famella dengan penuh kebencian.
Pikirannya pun terhempas ke setiap malam yang dilalui bersama perempuan itu, tidak bisa dipikirkan olehnya kalau selama ini malam indahnya juga bercampur bekas lelaki lain. Menjijikkan.
"Apa kamu selama ini peduli pada saya? Hah? Kamu hanya ingin meniduri saya saja, dan setelahnya? Apa? Saya tidak bisa merasakan kehangatan seorang suami dari Anda, Jajaka Purwa!" Famella melawan ucapan lelaki yang masih jadi suaminya itu dan menatap balik matanya yang seperti Elang mengintai mangsanya.
PLAK!!!
Bersamaan dengan tamparan itu, Asih dan Bara datang.
Asih tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi Bara tentunya sudah dapat menebak.
Bara sudah tahu perselingkuhan Famella dengan Sandi, tapi selama ini Bara hanya bungkam dan tak ingin ikut campur.
"Jangan jauh-jauh dariku," ucap Bara.
Asih menoleh dengan penuh pertanyaan, apa yang telah dilakukan selir itu hingga dia ditampar seperti tadi?
Dan siapa lelaki yang diikat bersamanya? Asih masih memperhatikan kejadian yang menurutnya sebuah penganiayaan itu.
Jika selir suaminya salah, maka harusnya mereka mengobrol dengan cara damai dan pikiran dingin jika menurut Asih, tapi berbeda dengan sistem yang berlaku di rumah itu.
Ketika ada yang berkhianat, mereka harus lenyap dari muka bumi ini.
Tadi, saat mereka baru sampai –penjaga gerbang sudah memberitahu kalau Asih harus menyaksikan hukuman yang akan diberikan pada Famella hari ini.
Bara yang sudah tahu hukuman berat akan menimpa Famella dan Sandi, berikut Bara tahu kalau Asih tidak tahu menahu dengan aturan ketat di rumah ini, akhirnya Bara pun ikut dengan Asih.
Dia harus mendampingi Asih yang pastinya akan syok nanti.
"Dasar perempuan murahan! Banyak sekali alasanmu." Jajaka Purwa bahkan meludahi Famella beberapa kali.
Pemandangan yang membuat orang seperti Asih ingin sekali marah dan mencegah tindakan suaminya, kalau bisa Asih laporkan ke polisi.
Kalau bisa, tapi nyatanya tidak bisa. Asih pun hanya menjadi saksi kekejian di hadapannya.
Setelah membuat Famella menangis dan terlihat sangat murahan dan tak berdaya, kemudian Jajaka Purwa mengarah pada Sandi yang sedari tadi hanya diam saja.
Lelaki itu pasti merayu penuh gombal hingga Famella terkena bujuk rayuannya, dia tidak begitu tampan, hanya pipinya yang cubbi dan mata sipit serta kulitnya yang putih.
Jajaka Purwa sangat menyalahkan Sandi dari perselingkuhan yang terjadi ini, bagaimana bisa dia berani melawan sang majikkannya sendiri? Dan menggoda istrinya? Sungguh lancang sekali.
BUKGGG!!!
Bukan sekedar tampara, yang dilayangkan Jajaka Purwa pada Sandi. Tapi tonjokkan beruntun yang dilayangkan bertubi-tubi.
"Dasar, anak buah lancang! Berani-beraninya kau meniduri istriku. Rasakan ini." Jajaka Purwa terus memukulinya sampai darah dari hidung, kepala, sampai mulut keluar.
Tidak ada yang berani mencegah pukulan itu.
Asih meringis melihatnya, Bara di sampingnya pun memperhatikan reaksi Asih yang masih belum terbiasa.
Sandi tertawa, meskipun sudah babak belur dia terlihat baik-baik saja. Seolah puas ketika Jajaka Purwa mengeluarkan kemarahannya.
"Aku hanya kasihan pada istrimu, dia begitu cantik dank au hanya datang untuk bermalam saja," ucapnya semakin membuat kemarahan.
"Cukup Sandi! Kau hanya akan memperparah keadaan." Famella menasehatinya dengan tangisan yang masih belum reda, dan justru malah bertambah.
"Biarkan saja Famel, meskipun kita mati … kita akan mati bersama dan terbebas dari kejahatannya." Sandi masih menantang.
Semua orang semakin was-was dengan hukuman yang akan diberikan pada mereka.
"Kurang ajar!" Jajaka Purwa semakin geram. Kepalanya seperti terasa copot karena ledakan emosi yang begitu meninggi. "Nanang!" panggilnya pada anak buahnya.
"Iya, Tuan?" Segera Nanang menjawab.
"Bawakan senjata samuraiku," titah Jajaka Purwa.
Semuanya tercengang, termasuk kedua tersangka yang sudah tak bisa melawan lagi. desas desus kekhawatiran pun mulai terdengar ribut.
"Ya Allah, apa yang akan terjadi?"
"Si Sandi nantang sih, terima resikonya."
"Apa akan ada pertumpahan darah lagi?"
"Puas saja, biarkan si Famella itu mati."
Asih kemudian bertanya pada Bara. "Apa yang akan ayahmu lakukan?"
Bara menanggapinya dengan santai dan kedua tangannya dimasukkannya ke dalam saku celana.
"Lihat saja nanti! Jangan sampai kebawa mimpi."
"Maksudnya?"
Bara tidak menjawab, dia hanya diam saja dan kembali fokus ke tontonan.
Tidak butuh waktu lama, Nanang pun datang dengan membawa samurai yang begitu panjang dan terlihat mengkilat itu.
Begitu tajam untuk merobek kulit hanya dengan sayatan pelan tanpa perlu tenaga kuat apalagi tenaga dalam.
"Ini Tuan." Nanang menyerahkannya dan langsung diterima oleh Jajaka Purwa.
Si Tuan tanah itu kemudian berdiri. Beriringan semua mata tertuju pada samurai di tangannya. Diangkatnya samurai itu, Sandi dan Famella tak bisa mengontrol rasa takut mereka.
Meski berani melawan dengan ucapan, tetap saja jika maut sudah terlihat di hadapan mereka … siap orang yang tidak takut?
Asih begitu cemas, dia tergerak untuk mencegah dan mulai melangkahkan kakinya. Tapi Bara dengan sigap langsung menarik tangan Asih.
"Lepas! Kau tidak lihat Ayahmu?" Asih menunjuk pada lelaki yang memegang samurai itu.
"Gue punya mata, lo belum tahu sih … kalau lo melawan, lo sendiri yang terkena tebasan itu. Bodoh!"
Mata Bara melotot pada Asih, tapi Asih masih berontak.
Namun, semua orang tidak melihat ke arahnya dan hanya fokus pada dua tersangka yang sebentar lagi akan dilenyapkan.
"Lepaskan!"
"Diam, Asih! Lo keras kepala banget. Makanya gue ikut ke sini karena gue tahu pasti lo nekat."