Chereads / Asih Tanpa Kasih / Chapter 34 - Ditebas

Chapter 34 - Ditebas

Samurai masih mengambang di udara, begitu membuat ketegangan di depan mata kepala meraka yang harus menjadi saksi bisu.

Semuanya sudah terbiasa, hanya Asih seoranglah yang akan melihat hukuman ini pertama kali di hidupnya.

Samurai itu dengan cepat mengayun, tidak sampai tiga detik. Begitu cepat.

Semua tidak bisa melihat saat sayatan itu melayang di awali sisi kiri Sandi dan ….

"Tidak!" Asih menjerit bersamaan sayatan itu terayunkan dan tergeletaklah dua kepala dengan lumuran darah begitu banyak.

Bara menarik Asih hingga dia berada di pelukan anak tirinya sendiri. Mata Asih terpejam, dan dia pun menangis histeris.

***

"Asih! Asih bangun Asih!" Kirani menyadarkannya.

Monika hanya acuh sambil menatap benci Asih yang sedang pingsan. Asih belum sadarkan diri sampai sekarang, sudah lewat isya dan seragam sekolah Asih pun masih belum diganti.

Jajaka Purwa tidak ada, dia sedang mengurung diri di kamarnya. Meskipun masih banyak istri yang masih dia miliki, tetap saja dia tidak bisa begitu mudah menerima pengkhianatan Famella.

"Nyonya Monik sama Nyonya Kirani bisa pergi saja, biar Irah yang jagain Nyonya Asih," ucap Irah, pembantu khusus untuk melayani Asih.

Monika pun setuju. "Okelah gituh aja, lagipula si Asih cuman pingsan doang. Besok dia juga bangun. Ayo Nenih, kita pergi!" ajak Monika pada pembantu khususnya.

"Siap, Bunda Monik," sahut Nenih menguntit.

Sunarti pun mencolek Kirani, mengajak majikkannya juga pergi dari kamar Asih karena ada Irah yang menjaga.

"Ayo, kita juga pergi aja Sunar!" ajak Kirani sama.

"Nah gituh dong Nyonya, hehe. Sunarti juga uda ngantuk."

"Iya, ayo! Irah, kamu jagain Asih ya." Kirani hanya pura-pura peduli saja hari ini, dia tidak ingin suaminya tahu kalau Kirani mencuekkan istri baru suaminya.

"Iya, Nyonya," balas Irah seraya membuntuti mereka keluar agar setelah semuanya keluar, Irah bisa menutup pintu. Irah pun menyelimuti Asih.

Disentuhnya kening Asih dan didekatkannya telunjuknya di dekat lubang hidung Asih.

Irah takut kalau majikkan mudanya tiba-tiba juga mati, tapi alhamdulillah … hembusan napas Asih masih terasa.

Wajah saja kalau Asih syok melihat dua kepala yang jatuh setelah ditebas Jajaka Purwa. Mungkin Asih belum tahu betapa kejam suaminya itu, dia juga masih muda. Sungguh nasib yang sangat buruk bagi Asih.

Tiba-tiba pintu terbuka, Irah pun refleks menoleh.

"Tuan muda, Bara? Ada apa Tuan? Apa ada yang perlu Irah bantu?" Irah dengan sigap mendekat.

Tapi Bara mengangkat tangannya, tanda tak usah repot-repot.

"Aku hanya ingin tahu, dia udah siuman belum?"

Melihat Bara yang sengaja datang ke kamar, Irah jadi menaruh curiga padanya.

Mengkhawatirkan Asih? atau lebih dari itu, jatuh cinta pada ibu tirinya sendiri? Ahhh, pikiran pembantu khusus itu jadi buruk pada Tuan mudanya sendiri.

"Seperti yang Tuan muda lihat, nyonya Asih masih tidur."

"Irah, jangan bilang siapa-siapa aku ke sini, ya?"

"Memang kenapa Tuan Muda?" tanya Irah semakin curiga.

"Enggak apa-apa, aku hanya takut semua orang salah paham. Kalau begitu, aku pergi dulu."

"Siap Tuan muda, dijamin rahasianya terjaga." Irah menggerakan tangannya di depan mulutnya sendiri seperti meresleting baju dan kemudian mengacungkan jempol setelahnya.

"Oke, jagain Nyonya lemah jantung itu." Bara sambil menunjuk Asih dan kemudian memegang gagang pintu, buat apa dia nungguin Asih sampai terbangun, entah sampai kapan.

"Hahah, siap Tuan Muda tergantengku."

"Eits, gombal kamu."

"Hihihi." Irah tertawa genit sambil menggoyang-goyangkan badannya karena salah tingkah.

Baru saja Bara membuka pintu, Asih langsung terbangun dan menjerit.

"Jangan!" Wajahnya sangat pucat, keringan dingin pun terlihat.

Asih memang trauma, kasihan sekali dia. Sekujur tubuh Asih terlihat menggigil, Irah dan Bara pun mendekat.

"Nyonya," panggil Irah sembari mengelus-elus punggung Asih.

Asih kembali menangis, Bara dan Irah pun saling tatap satu sama lain.

"Bi Irah, aku takut." Asih memeluknya dengan erat.

Dielusnya rambut Asih yang bercampur dengan keringat itu, Bara juga bingung harus bagaimana.

Reaksi Asih itu normal, untuk orang yang baru melihat darah yang sangat banyak dan pembunuhan yang disengaja pastinya akan sangat trauma.

"Asih, lo harus terima kenyataan sekarang . Jangan manja!" tegur Bara, dia sengaja membentak Asih agar mentalnya lebih kuat.

Kalau bersikeras mempertahankan mentalnya yang lemah, Asih tidak akan bisa bertahan di sini.

"Kamu kejam!" balas Asih dengan nada getar dan susulan sesenggukan.

Irah terkejut mendengarnya, apalagi Bara.

"Apa lo? Yang bunuh mereka ayah gue, suami lo. Kenapa lo jadi tuding gue? Lo nggak waras, Asih?" Bara emosi.

"Sama aja, kamu enggak cegah ayah kamu buat enggak ngelakuin itu. Itu dosa berat Bara," balas Asih masih sambil merengek.

"Terserah lo! Yang jelas gue enggak ikut campur atas tindakan ayah gue. Lo harus paham! Nyesel gue nengok lo ke sini." Bara pun pergi dan menutup pintu dengan kasar, sangat keras.

"Bi Irah, aku takut Bi … bagaimana kalau nanti aku yang dibunuh sama dia? Bagaimana Bi?" Asih sangat takut sekali.

Serasa berada di tempat psikopat, dia bisa kapan saja menjadi target pembunuhan selanjutnya.

"Tenang Nyonya, kalau Nyonya Asih enggak bikin kesalahan pastinya tidak akan dapet hukuman kayak tadi kok. Tenang ya." Irah berusaha menenangkan.

Asih masih gemetaran, tangisannya pun tidak berhenti-henti. Siapa orang yang enggak takut dibunuh secara mengenaskan seperti tadi?

Tentunya semua orang juga enggak mau, membayangkannya saja sudah mengerikan apalagi menjadi orang yang dibunuh tersebut. Asih tidak bisa membayangkannya.

***

Semalam pun, Jajaka Purwa tidak mengunjungi Asih. Di tengah dirinya emosi, dia juga tahu kalau Asih pasti akan ketakutan melihatnya. Maka Jajaka Purwa memutuskan untuk tidak berkunjung.

Pagi ini, sebelum ke meja makan … Asih masih berdiam di kamarnya dengan setumpuk lamunan kemarin.

Jajaka Purwa juga masih belum berkunjung, Asih masih takut … ingin sekali dia kabur dan menyudahi nasibnya.

Tapi, Asih juga tidak bisa senekat almarhumah kakaknya Nengsih. Melakukan percobaan bunuh diri adalah suatu dosa, Asih masih cukup waras untuk menimbang-nimbang.

Asih bahkan belum mengabari Neneng kemarin, jadi mumpung ingat Asih pun meraih handphonenya yang dia letakkan di meja.

Membukanya dan mencoba mengetik pesan meski masih gemetar. Asih tidak mungkin langsung bercerita sepagi ini, dia pun hanya melayangkan pesan pemberitahuan kalau yang memberi pesan itu adalah dirinya.

Asih tidak memajang foto whatsaap, jadi harus memberi perkenalan dulu pada orang yang dikirimi pesan olehnya.

"Neng, ini nomorku," tulisnya singkat tanpa basa basi atau tambahan apa pun.

Saat sudah terkirim, tiba-tiba pintu kamarnya langsung terbuka. Betapa terkejutnya Asih kalau yang datang adalah Bara.

Asih sudah mulai terbiasa dengannya, tapi hari ini dia keterlaluan sekali. Membuka kamar ibu tirinya sendiri tanpa mengetuk pintu, teramat lancang.

Bagaimana kalau Asih sedang di posisi yang tidak mengenakkan? Bara seperti tidak pernah diajarkan sopan santun saja.

Mentang-mentang dia Tuan muda di sini, dan Asih orang baru, jadinya Bara merasa berkuasa. Di dalam hati, Asih menceloteh –mengumpat-ngumpat lelaki itu.

"Ka-kamu, ngapain ke sini?" tanya Asih terbata-bata.