Chereads / Asih Tanpa Kasih / Chapter 22 - Kecepatan di Luar Batas Normal

Chapter 22 - Kecepatan di Luar Batas Normal

Bara tidak terima dengan redaksi kata ayahnya barusan, jika seperti itu Bara terkesan menjadi Bodyguard bayaran, tapi Bara tidak ingin membantah.

Dia sudah cukup senang diberikan mobil mahal lebih cepat dari kakak-kakaknya –karena menurut aturan, Bara bisa mendapatkan mobil ketika dia sudah kuliah, sama seperti Adrian dan Hana yang mendapatkan hadiah mobil saat hari pertama masuk kuliah.

Monika tersenyum, Bara tahu ibu tirinya senang sekali kalau Bara dijadikan suruhan ayahnya untuk menjaga Asih di sekolah.

Tapi tetap saja, rasa iri masih terpancar di wajahnya dengan jelas. Ibu tiri yang selalu membanggakan anaknya—Hani itu memang harus dipanasi terus agar hidupnya nelangsa, pikir Bara.

Mereka sarapan seperti biasa, hingga sesudah selesai semuanya pun keluar. Bara sangat bangga memperlihatkan mobil putih barunya itu.

Sangat terlihat berkelas dan masih kinclong.

Dia dengan angkuhnya langsung naik ke mobil setelah menyalami ayah dan kedua wanita yaitu ibu kandung dan ibu tirinya kecuali Asih.

Adrian juga ikut pergi menaiki mobilnya sendiri yang juga masih tetap bagus, dia juga menyalami ayah dan ibu kandung juga ibu tirinya—Monika dan juga melewati Asih seperti Bara.

Lagi pula Jajaka Purwa tidak memperbolehkan tangan Asih untuk disalami kedua anak lelakinya, jadi Bara dan Adrian pun tidak perlu merendahkan dirinya di hadapan Asih.

Saat Adrian sudah melaju duluan, Bara diberhentikan oleh ayahnya.

"Tunggu dulu!" cegahnya.

Semua orang terkejut, apalagi Bara yang ingin buru-buru menyiap kakaknya Adrian yang sudah melaju lebih dulu.

"Asih, hari ini kamu ikut dulu sama Bara. Pak Dadang akan mengantar saya ke perkebunan Teh hari ini," ucapnya.

Asih dan Bara saling beradu pandang. Mengingat kembali sindiran Bara semalam, Asih sangat malas sekali jika harus semobil dengan anak tirinya yang tidak sopan itu.

Bara pun juga sama halnya, dia tidak ingin mobil barunya itu dinaiki oleh Asih. tapi apa boleh buat, keduanya akhirnya harus berada satu mobil.

Asih pun menyalami tangan Jajaka Purwa dan juga kedua istrinya karena usia Asih lebih muda dari mereka dan sebagai penghormatan pada yang lebih tua.

Monika masih dengan sikap dan wajah juteknya, berbeda dengan Kirani yang berusaha mencuri perhatian Asih, terutama juga sang suami.

Dengan senyuman ramah, Kirani berucap sambil memegang bahu Asih.

"Hati-hati ya Asih, semangat belajarnya." Monika tersenyum sinis, dia sangat tahu jurus licik Kirani.

Asih pun mengangguk. "Assalamu'alaikum." Tak lupa dia memberi salam juga.

"Wa'alaikumsalam," balas yang lain serempak.

Hanya Asih satu-satunya orang yang mengucap salam di rumah besar itu, jarang sekali terdengar dan bahkan tidak ada yang pernah mengucap salam di sini.

Jangankan mengucap salam, salat saja tidak ada yang melakukannya, terkecuali beberapa karyawan saja.

Orang yang lancar ibadahnya di sini, bisa dihitung jari.

Asih kemudian mendekati mobil Bara. Dia sangat kesusahan membuka pintu mobil.

Bara tersenyum dengan tatapan merendahkannya. Dia kemudian membantu Asih, dia membukakan pintunya dari dalam.

Asih malu, karena dia juga baru kali ini naik mobil mewah. Asih pun duduk dengan rasa canggung yang bertumpuk segunung.

Tatapan tajam Bara begitu menusuknya, seakan sekujur tubuh Asih membeku oleh serangan es yang sangat runcing-runcing seperti pedang.

Seperti juga telah diberikan pada seorang penjahat yang siap berlaku apa saja padanya.

"Aku berangkat," teriak Bara sembari melajukan mobilnya.

"Hati-hati, Anak mama." Kirani melambaikan tangannya pada Bara.

Monika yang berdiri di sampingnya membelalakkan mata tidak suka.

Kirani sungguh tidak peduli, dia masih anteng melihat bokong mobil mewah anaknya yang sudah hampir lenyap dari pandangan.

Setelah itu semua kembali masuk ke dalam rumah dan Jajaka Purwa bersiap pergi ke perkebunan teh.

Sebenarnya mudah baginya untuk membayar lagi supir, tapi Jajaka Purwa tidak ingin melakukan itu dan bahkan dia berencana untuk memindah alihkan transportasi Asih dengan Bara dan hanya sesekali saja dijemput oleh supir.

Dadang menjemput Asih agar tidak ada yang curiga kalau Asih sudah bersuamikan ayah teman sekelasnya sendiri--Bara.

Tapi dengan cara baru juga lebih efisian.

Dengan cara seperti itu juga, Bara tidak akan banyak main dengan gengs motornya yang tidak pernah disukai ayahnya, Jajaka Purwa.

Asih dan Bara saling diam. Asih sangat takut karena Bara mengemudi dengan kecepatan yang cukup membuatnya khawatir menubruk pengendara lain demi menyusul Adrian.

Mereka sepertinya dengan sengaja mengadu kecepatan di jalan raya.

Hingga hampir saja mobil Bara menyerempet, membuat Asih seakan-akan hampir mati.

"Awas, itu …. Hati-hati!" Asih menjerit, dia menutup matanya.

Jantungnya serasa copot dan ritmenya kemudian semakin cepat setelahnya.

Beberapa menit berlalu tapi mobil masih berjalan, terdengar susulan tawa Bara yang menggelegar.

Kemudian Asih membuka matanya kembali, dilihatnya Bara tengah bersandar sembari menertawakan Asih dengan mengemudikan mobil sebelah tangan saja dan tangan kanannya dia sandarkan di bahu kaca.

Asih mengontrol napasnya, ingin sekali dia memaki Bara tapi Asih urungkan niatnya itu karena dia tidak ingin mencari masalah dengan anak tirinya. Sindiran semalam sudah cukup bagi Asih.

"Ekspresi lo kayak mau mati aja. Takut mati emang?" tanya Bara dan kembali menyetir dengan kedua tangannya.

Matanya kembali fokus ke jalanan untuk menyusul mobil Adrian yang masih berada di depannya.

"Masih mending mati," ucap Asih sedikit meninggi, Bara pun meliriknya penuh dengan perasaan benci dan sama sekali tidak merasa bersalah.

Seorang Asih bisa membalas perkataannya dengan begitu berani, dia belum tahu siapa Bara, pikir lelaki itu.

"Kalau cacat gimana?" tanya Asih kemudian.

Asih terdengar marah, matanya melotot penuh kekhawatiran dan rasa cemas yang diperlihatkan oleh raut wajahnya yang pucat.

"Diam lo! Jangan ngeremehin kemahiran mengemudi gue, walaupun baru punya mobil gue udah bisa pake mobil. Enggak kayak lo, buka pintunya aja enggak bisa," ledek Bara sambil kembali menambah kecepatan laju mobilnya.

Asih kemudian kembali berpandangan ke depan, memalingkan wajahnya ke sisi kaca mobil sebelah kirinya.

Menurut Asih, percuma saja berdebat dengan Bara … lelaki itu tidak akan mengalah.

Dia tidak jauh beda dengan ayahnya. Asih juga sudah pasrah jika mobil yang dia tumpangi nantinya kecelakaan, Asih berharap dia mati saja agar hidup yang penuh penderitaan ini bisa dia akhiri.

Saat di depan sudah terlihat persimpangan jalan, Bara semakin mempercepat laju mobilnya lebih dari tadi.

Disusulnya Adrian, hingga mereka menjadi satu garis horizontal. Wajah Adrian terlihat jelas di samping Asih, meskipun kaca mobilnya ditutup … wajahnya masih bisa terlihat.

Adrian mengemudi sangat cepat, dilihat juga wajahnya masih tetap kalem.

Adrian tidak melihat ke samping, di mana Asih sedang melihatnya di dalam mobil Bara.

Kemudian, mereka berpisah karena beda jalur. Asih dan Bara ke kanan, sedang Adrian ke jalur kiri jalanan.

Asih masih tidak menyangka dirinya ditakdirkan mempunyai dua anak tiri yang sengklek menurutnya, sama-sama emosian tapi yang satu lebih dingin seperti pembunuh misterius sedangkan Bara terlihat seperti pemberontak.

Asih mendengus sebal, dia kemudian membuka tasnya. Mengambil handphone-nya untuk melihat jam.

Karena Bara ngebut, waktu masih menunjukan jam enam lebih tiga puluh menit. Masih pagi, sedangkan mereka lima menit lagi juga sampai.

Hemat waktu tiga puluh menit, karena kemarin Asih tiba satu jam lebih lima menit untuk sampai di sekolah Bara.

Asih bisa tahu itu karena melihat jam di ruang kepala sekolah saat dirinya pergi ke ruangan tersebut bersama Jajaka Purwa kemarin.

Baru subuh tadi Jajaka Purwa memberinya handphone agar mudah berkomunikasi. Tapi, perjalanan sudah seperti sakratul maut pikir Asih.

Jantungnya berdetak tidak karuan, pikirannya juga berkeliaran ke mana-mana. Takut menabrak orang dan terancam kecelakaan, nanti bisa-bisa juga ditangkap polisi karena melanggar aturan lalulintas.

"Cepat keluar!" Bara menyuruh Asih dan menatapnya dengan sorotan tajam penuh benci.