"Ternyata kamu datang juga Asih, ayo duduk!"
"Terima kasih." Asih pun duduk di antara mereka.
Memunggungi penjaga perpustakaan yang duduk dekat lawang pintu dan masih bisa melihat ke arah mereka.
"Aku bawa jajanan buat kalian. Bukan aku ngerendahin, tapi anggap saja ini sebagai tanda perkenalan." Asih menyimpan plastik di meja dan mengeluarkannya satu persatu.
Masing-masing kebagian satu minuman dingin dengan rasa yang berbeda, masing-masing satu roti cokelat, dan juga gorengan pisang yang Asih simpan di tengah-tengah.
"Asih, kamu tidak perlu repot-repot," ucap Hasan terlihat tidak enak.
Fira menoleh pada Hasan, wajahnya tidak seterkejut tadi. Ada raut yang mungkin seperti tidak menyangka dengan sikap Asih yang masih baik padanya di saat Fira memerlakukan Asih dengan kasar.
Jika orang itu tidak setulus dan sekuat Asih, mungkin mereka akan menjauhi Fira dan boro-boro kasih Fira jajanan yang ada perasaan dendam yang berkobar.
Asih melempar senyuman pada Fira, mengisyaratkan agar dia segera menyantap jajanan pemberiannya.
Hasan dan Asih sudah mengunyah, sedang Fira masih terlihat berpikir.
"Ayo, Fir. Dimakan! Aku sengaja beli ini untuk kalian. Maaf kalau hanya –"
"Kamu seharusnya tidak usah repot-repot, Asih," balas Fira memotong.
Hasan dan Asih pun terkejut, nada bicara Fira barusan sungguhlah lembut. Tidak serampangan seperti preman sekolahan. Yang biasa keluar dari mulut seorang FIra.
Apa Fira kesambet? Asih bahkan jadi berpikir yang tidak-tidak padanya.
Aneh, bukan?
Tapi, Hasan tersenyum. Dia tahu kalau Fira sekarang mulai bisa menerima Asih.
Bukan karena Asih sudah memberinya jajanan, pasti karena kegigihan Asih untuk terus berbuat baik pada teman sebangkunya.
"Aku tidak repot kok, Fir." Asih mencoba menjelaskan masksud tulusnya.
"Maafkan aku Asih," ucap Fira, dia kemudian menangis. Hasan langsung mengelus-elus punggungnya.
Asih menohok pada Hasan, dia sangat kebingungan. Hingga tumpahlah cerita masa lalu Fira.
Dia menceritakan semuanya dan Hasan membenarkan. Dari mulai menjadi bahan bullyan, suruhan, dan beragam hal tidak mengenakkan dia terima sampai semua orang terkejut karena keberanian Fira melawan Bella dengan jurus silatnya.
Fira pun berani melawan setiap orang yang merendahkan. Memang, itu menjadikan semua orang jadi takut padanya, tapi tetap saja, semuanya tidak akan menjadi putih bersih.
Fira justru semakin dijauhi semua orang, mau dia jadi orang pengecut, mau dia jadi orang berani tetap saja.
Tidak ada yang mau berteman dengannya karena sistem penindasan begitu mengakar di kelas.
Perundungan terhadap kaum-kaum lemah seringlah terjadi. Beda cerita dengan Hasan, dia anak pintar.
Hanya saja, kepintaran Hasan tidak dihargai oleh teman-teman sekelasnya karena Hasan termasuk orang yang biasa-biasa saja.
Dia bukan anak orang kaya, sama seperti Fira. Jadi, setelah mendapat banyak sindiran … Hasan jadi lebih banyak diam dan tidak menunjukkan kepintarannya di kelas.
Dia tidak berani mengacungkan tangan, tidak berani menampilkan presentasi dengan baik, dan juga tidak berani untuk mengisi jawaban di depan papan tulis kalau bukan guru yang menyuruh dirinya.
Akibat diasingkan, keduanya merasa senasib sepenanggungan, Hasan dan Fira pun jadi lebih dekat karena mereka adalah orang yang jarang ke kantin dan sering menghabiskan waktu di kelas dan juga di perpustakaan.
Asih pun memeluk Fira, tapi tidak dengan Hasan karena Hasan laki-laki dan dia pun tidak menangis.
"Kalau mau nangis, tumpahin aja," ucap Asih.
Hasan terkejut, Asih tidak melarang Fira untuk menangis tapi dia justru dengan ikhlas menjadi sandaran temannya untuk menumpahkan keperihan yang selama ini dia rasakan, yang awalnya hanya Hasan seorang yang menjadi pendengar dan teman bicaranya saja. Sekarang, Asih menjadi bagian dari mereka.
"Maafkan aku, bukan maksudku Asih. Aku bukan membencimu, aku hanya tidak ingin kamu diasingkan jika berteman dengan aku Asih. Maaf." Fira sangat menyesal.
Asih pun menyeka air mata Fira dengan memancarkan senyuman teduh agar temannya itu tidak terus-terusan menyalahkan dirinya sendiri.
Sudah Asih duga kalau Fira tidak berniat menjauhi Asih seperti kemarin. Dia hanya ingin Asih berbaur dengan yang lainnya agar Asih juga tidak dijauhi seperti nasib yang menimpa Fira dan Hasan yang sudah hampir dua tahun ini hanya berteman berdua saja.
Apa-apa berdua, sudah seperti sepasang kekasih saja.
"Tak apa," balas Asih tertawa dan Hasan mengikuti.
Begitu lucunya wajah Fira ketika dia menangis. Seperti anak kecil yang kebingungan ditinggal ibunya di pasar.
Banyakkan kasus anak kecil yang ditinggal orang tuanya di tempat ramai? Ya, ekspresi Fira tampak seperti itu, penuh kebingungan sambil menangis.
Hanya saja, tidak ada yang akan meninggalkan Fira karena justru sekarang temannya bertambah satu dengan Asih.
Hasan seolah menjadi Arjuna satu-satunya yang bernyanyi, 'Enaknya dalam hati, kalau beristri dua.'
Bukan hanya bayangan semata, Hasan memang bernyanyi seperti itu sambil menggigit gorengan pisang sampai dia sadar kalau itu bukanlah tindakan seorang pelajar.
"Eh, lupa, kunyah dulu makanannya," kata Hasan yang tadi bernyanyi sambil memeragakan bermain gitar dengan visualisasi khayalannya.
Di saat Asih dan Hasan tertawa, Fira melihat keduanya seperti video slow motions yang sedang diputar. Fira memperhatikan mereka dengan begitu seksama, baru kali ini Hasan terlihat riang.
Tidak biasanya. Fira yang beberapa menit lalu sudah menerima Asih bergabung, seakan seperti mendadak berubah pikiran seketika tapi tidak dia utarakan ketidakenakkannya melihat tingkah Hasan yang berubah itu.
Hasan begitu welcome pada Asih, apa jangan-jangan mereka? kalau iya, tidak akan ada kemungkinan Fira bisa menjadi kekasih Hasan, kan? Lelaki pasti akan memilih perempuan yang lebih cantik.
Tiba-tiba, Hasan pun berhenti tertawa. Lamunan Fira pun teralihkan pada sosok lelaki di belakang Asih.
Asih menohok pada Hasan dan Fira, seperti bertanya, 'ada apa?' sampai suara itu pun terdengar.
"Asih!" panggil seseorang di belakang Asih.
Suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya. Melihat kedua ekspresi wajah Fira dan Hasan yang ketakutan, Asih semakin yakin kalau seseorang yang berada di belakangnya adalah …."
Asih menoleh ke belakang.
"Ayo kita masuk kelas, emangnya kamu mau jadi anak baru yang telat masuk?" tanya Bara dengan lirikan mata pada Asih seperti orang yang sudah mabuk, padahal bukan.
Itu hanya tatapan pura-pura perhatian saja pada Asih. Apa katanya tadi? Dia memedulikan reputasi Asih yang masih anak baru di sini? Asih enggak salah dengar, kan? Tidak, dia tidak salah dengar.
"Mmm, aku ke kelas ya. Fir, San," ucap Asih pamitan, dia terlihat sangat malu.
Dia seperti diperlakukan kayak anak usia Taman Kanak-kanak, yang harus diperintah dan ditakut-takuti seperti itu.
Hasan dan Fira mengangguk, bukan karena mereka tidak ingin keluar perpustakaan. Mereka juga akan menyusul setelah Bara dan Asih pergi duluan.
Asih berdiri, dan masih tersenyum kikuk pada keduanya. Bara yang merasa gerak Asih terlalau lamban pun langsung menarik kembali pergelangan tangan Asih untuk yanag ke sekian kalinya.
Ditarik oleh Bara, Asih masih bisa mendadahi kedua temannya. Mereka kemudian melewati beberapa murid yang juga masih betah di sana, dan tentunya mereka juga melewati penjaga perpusatakaan.
"Mari Bu Rebeca." Bara pamit padanya sambil melempar senyum.
Si penjaga yang masih muda itu pun membalasnya, dan melihat penuh keheranan, mengapa Asih ditarik-tarik oleh Bara dengan paksa?
Asih juga tak lupa tersenyum pada si penjaga, meskipun senyumannya amat sekilas saja. Bara begitu cepat membawanya pergi.
"Lo gimana sih, jadi anak baru ngeyel," cerocos Bara sambil terus menarik-narik Asih dengan kecepatan langkahnya setelah berhasi keluar dari perpustakaan.
Asih seperti ditangkap oleh seorang Polisi.
Asih hanya diam, matanya membelalak tidak suka. Nih, anak tiri kok jadi ngatur-ngatur ya kan? Serasa dia Bapaknya Asih saja.
"Heh, lo denger enggak?" tanya Bara lagi dan menarik tangan Asih ke depan. Mereka berhenti di tengah jalan.
Asih pun menjawab, "Emangnya kenapa? Salah?"