"Ayahmu," ucap Asih begitu kaget, "bagaimana ini? Aku harus beralasan apa? Bara, cepat!" Asih begitu cemas, tapi tidak menular pada Bara.
Bara memasukkan kedua tangannya ke saku celana dengan tatapan mata dia layangkan ke mata hari. Begitu cool, tapi begitu sombong menurut pandangan Asih.
"Lo mau dibantuin lagi sama gue? Harus ada bayarannya lagi dong."
Tanpa berpikir, Asih langsung menyetujui. "Iya."
Bara nyengir kuda. "Oke. Bilang aja kita tadi telat karena temen-temen gue pada nyobain mobil baru gue."
Handphone masih berbunyi, seperti bunyi loonceng besar di atas Menara dan menggema ke mana-mana –penuh ketegangan.
"Serius?" tanya Asih tidak percaya kalau alasan itu bisa dipakainya.
"Serius, gue udah tahu siapa suami lo. Orang dia Ayah gue."
Asih menelan salivanya, bersiap untuk mendapatkan bentakkan dari sang suami jahat itu.
Dipilihnya gambar telepon hijau, dan terlihatlah hitungan waktu di layar.
Diletakkannya pula handphone itu di kanan telinga Asih. wajah Asih meringis, dia takut kalau suara cempreng suaminya terdengar dan menyakitkan telinga. Bara yang sedang melihatnya pun jadi tertawa.
'Sebegitu takutkah lo pada ayah gue, Asih?' gumam Bara di hatinya sambil memperhatikan Asih.
"Kalian masih di mana? Kenapa belum sampai?" tanya Jajaka Purwa.
"A-a-aku," jawab Asih terbata-bata. Bara memelototinya untuk tidak menimbulkan kecurigaan lelaki tua di ujung telepon sana. "Aku masih di jalan, sebentar lagi sampai.
Tadi teman-teman Bara nyobain mobil baru Bara, mereka kagum jadi kami terlambat pulang.
"Benar itu, Bara?" tanya Jajaka Purwa mencari-cari suara putranya.
Bara pun berteriak, "benar Yah. Otw pulang, masih di jalan."
"Ya sudah, hati-hati."
KLIK!
Dia langsung menutup sambungan panggilan secepat kilat.
Ternyata benar apa yang barusan diucapkan Bara kalau ayahnya tidak akan marah jika alasannya seperti yang Bara ucapkan.
Jelas, karena kalau teman-teman Bara memuji Bara, otomatis pujian itu juga untuk orang yang membelikan mobil itu. Jika Bara sombong, Jajaka Purwa lebih sombong.
Jika Bara sejahat Setan, ayahnya itu adalah Iblisnya. Begitulah perumpamaan mereka.
Asih menurunkan handphonenya dari telinga, wajahnya mengerut. Bara heran melihatnya.
Padahal alasan mereka cukup berhasil dan tidak membuat Jajaka Purwa curiga sedikit pun.
"Kenapa lo? Enggak percaya ucapan gue?" tanya Bara.
Asih menggeleng. "Bukan."
"Lalu?"
Asih mendongakkan wajahnya, mereka berdua saling tatap kembali.
"Tidak ada. Ayo cepat kita pergi!" ajak Asih pada Bara. Kali ini, giliran Asih yang memegang tangan anak tirinya.
Bara tidak menolak, dia justru diam membisu. Apa Asih tidak sadar kalau dia telah memegangi tangan Bara? Bara tidak menepisnya sama sekali hingga keduanya sampai di depan rumah Neneng.
"Nah ini rumahnya, deket kan? Jadi enggak perlu naik mobil."
"Iya deket, tapi enggak perlu gusur-gusur tangan gue juga." Bara sinis. Matanya menipis, menatap penuh ketidaksukaan.
"Kamu juga sering tarik-tarik aku, kan?" Asih membalik pertanyaan. Bara juga akhirnya kalah telak.
Sampai seseorang dari rumah itu keluar, padahal Asih belum mengetuk pintu apalagi mengucap salam. Anak si pemilik rumah, yang Asih cari-cari.
"Asih!" teriak Neneng dengan matanya yang langsung menumpahkan air mata haru.
Bagaimanapun, keduanya sudah sangat lengket. Tidak bertemu beberapa hari saja sudah kepikiran, keduanya saling merindukan satu sama lain.
Air mata Asih pun tumpah juga. Keduanya saling memeluk erat beberapa saat.
Bara kembali bergumam, 'cewek emang lebay ya. Untung gue cowok, kalau bertemu dengan teman, gue enggak perlu tuh pelukan selama itu sambil mewek. Dia kira dia baru pulang dari perbatasan apa? Ikut kubu militer mana si Asih? haru-haru segala.'
Neneng sadar kalau Bara melihat mereka dengan sinis, tatapan yang menurutnya begitu menakutkan.
Siapa orang yang tidak tahu pada Bara di kampung itu? Semuanya sudah kenal kali sebelum dikenalkan juga.
"Tuan muda, Bara. Ayo masuk-masuk ke dalam!" Neneng menyambut, tapi Asih menolaknya.
Bara pun heran, bukannya Asih memang ingin menemui temannya itu untuk mengobrol?
"Tidak perlu, Neng."
"Kenapa? Ayo masuk dulu, kebetulan Ibu sama Bapak lagi ke ladang."
"Enggak makasih, kami tidak bisa lama-lama. Tadinya aku juga pengen ketemu ibu sama ayah, tapi mereka tidak ada di rumah. Ke mana ya?" Asih berharap kalau temannya bisa memberitahu.
Tapi ternyata tidak, Neneng hanya menggelengkan kepalanya.
"Yakin enggak mau masuk? Kalau begitu aku bawakan air dulu ya, tunggu!" Neneng berniat masuk ke dalam rumahnya tapi ditahan oleh Asih.
Bara hanya menjadi saksi mereka berdua yang berdebat soal perkara kecil. Masuk rumah atau tidak?
"Enggak perlu Neng, aku harus langsung pulang. Aku boleh minta nomor handphonemu?" Asih pun mengeluarkan handphonenya, Neneng menatap tak percaya. Handphone Asih Iphone keluaran terbaru.
"Asih, ini handphone kamu?"
Asih tersenyum, sekilas dia menatap Bara yang berdiri di belakangnya.
'Mungkin si Neneng itu terkejut karena handphone si Asih mahal. Dasar orang kampung!' ledek Bara di hatinya.
"Iya, ayo cepet masukkin! Nanti aku hubungi kamu."
Neneng langsung mengetikkan nomor handphonenya. "Ini!"
"Baik terima kasih Neng, aku harus cepet pulang ya. Sampai bertemu lagi nanti, kita ngobrol di telepon."
"Sekarang?" Neneng tidak percaya kalau pertemuan mereka harus sangat singkat.
Asih mengangguk, dan langsung Neneng peluk sahabatnya itu.
"Aku akan merindukanmu."
"Aku juga."
Perlahan mereka saling melepaskan pelukan dan Asih pun pergi bersama Bara. Bara jalan lebih dulu dari Asih, dengan ke Cooll- lan yang dia perlihatkan.
Bara tahu kalau dari kejauhan, para warga yang melihat pastinya membiacarakan ketampanannya, dan mobil barunya.
Jadi, jangan sampai Bara tampak tidak bergaya. Kan enggak banget kalau penampilannya udah oke, berseragam SMA cerminan anak muda dengan memakai kacamata hitam tapi jalannya bungkuk? Dikira kakek-kakek balik ke SMA dong.
"Kang Roni?"
Roni berpapasan dengan Asih dan Bara. Dia cemburu melihat Asih bersama Bara, meskipun Roni tahu kalau Bara adalah anak tiri Asih.
Tapi, ketika lelaki dan perempuan berjalan bersama pastinya tanggapan pasti akan berbeda.
Apalagi keduanya memakai seragam sekolah, seperti anak muda yang pacaran.
"Asih? Udah beberapa hari enggak ketemu. Gimana kabar kamu?" Senyuman mengembang di bibir Roni.
Dia ingin menyalami Asih, tapi segera ditepis oleh Bara.
"Ayo cepat kita pergi! Ayah pasti nungu di rumah," ucapnya sambil menarik tangan Asih.
Ada perasaan kesal, benci bercampur marah pada Bara. Tapi Roni tidak bisa bertindak apa-apa.
"Kang Ron, Asih duluan ya!" Asih pamit.
"Iya, Asih. jangan lupa tersenyum tiap hari!" Roni membuat gerakan bibir senyum mengembang dengan kedua telunjuknya yang ditempatkan di tiap ujung bibir lelaki itu sendiri.
Asih pun tertawa, tapi Bara tidak suka melihatnya.
"Cepet masuk!" titah Bara dengan kasar seraya melepas tangan Asih.
Asih hanya menampakkan wajah cemberut dan langsung masuk ke dalam mobil.
Mobil Bara pun langsung melaju, melewati Roni yang masih berdiam di sisi jalan. Di dalam mobil Asih tersenyum padanya, Roni pun begitu.
Hati Roni sangat nelangsa, sudah tidak ada harapan untuknya bisa bersama dengan Asih. rasa suka itu pun harus dikubur Roni dalam-dalam.
Mungkin, lama-lama juga Asih akan terbiasa dengan kehidupan barunya. Walaupun Roni sedikit khawatir kalau hidup Asih di sana tidak bahagia, banyak kemungkinannya yang akan membuat hidup Asih menderita. Pastinya begitu, pikir Roni.