Chereads / Asih Tanpa Kasih / Chapter 30 - Rekan Hanantyo

Chapter 30 - Rekan Hanantyo

Hanantyo pun mengangguk dengan senyuman.

Jajaka Purwa bertanya, "ada apa, Dang?"

Dadang berbisik pada majikannya, lelaki yang umurnya hampir sama dengan Jajaka Purwa itu membeberkan informasi yang sudah dia terima dari Ucup dan Nanang.

"Begitu Juragan." Setelah selesai, dia pun menghindarkan mulutnya dari telinga Jajaka Purwa.

Dilihatnya raut wajah si Tuan Tanah berubah total. Kumisnya pun melejit lebih tinggi dari biasanya.

Panas yang cukup terik menambah emosinya semakin mendidih pula.

Tangannya mengepal, apa yang sudah didengarnya memang membuat Jajaka Purwa geram segeram-geramnya.

Dia harus buru-buru pulang untuk menyelesaikan semua itu.

Tapi karena saat ini ada rekan bisnisnya, Jajaka Purwa harus bisa memberi alasan yang tepat dan juga harus ada yang mendampingi Hanantyo di sini, selain Koswara. Ada yang lebih kompeten untuk menjadi tour guide-Nya.

"Kau pergi duluan Dang, nanti aku menyusul."

"Baik Juragan." Dadang pun pergi lebih dulu.

Jajaka Purwa kemudian menghampiri Koswara dan Hanantyo yang tengah mengobrol.

Ditepuknya bahu Hanantyo olehnya, Jajaka Purwa pun mulai beralasan –dia tidak mungkin menceritakan tentang masalah yang tengah terjadi di rumah besar bak istananya itu.

Itu akan menjadi point negatif dan bisa jadi menggagalkan kerja sama bisnis mereka.

"Mmm," decaknya, "Tuan Hanantyo … sebelumnya saya minta maaf untuk hari ini karena saya tidak bisa mnegantar Anda berkeliling sampai selesai."

"Memang ada apa, Teman? Apakah ada masalah?" tanya Hanantyo dan alisnya mengangkat sambil tersenyum pada bawahan Jajaka Purwa, Koswara yang juga tidak tahu apapun.

"Sedikit ada hal yang harus dibereskan," balas Jajaka Purwa dengan wajah yang cukup meyakinkan kalau memang tidak ada masalah yang cukup besar, "oh iya, Koswara." Jajaka Purwa menoleh pada lelaki putih berbadan lebih pendek darinya dan tanpa kumis. "Panggil saja anakmu, si Jajang untuk menjelaskan lebih lanjut pada Tuan Hanantyo."

Koswara pun langsung mengangguk. "Baik Juragan, saya akan panggil Jajang segera." Koswara pun langsung mengeluarkan handphonenya berniat menelpon Jajang.

Jajaka Purwa menepuk punggung Koswara dua kali. "Oke, bagus. Ya sudah, saya tinggal dulu ya Tuan Hanantyo."

"Ya, silakan. Semoga beres."

Jajaka Purwa pun pergi. Usai sudah aktingnya menjadi orang ramah, sekarang taringnya akan keluar untuk mencabik-cabik Famella—selirnya yang sudah berbuat cukup jauh.

Melihat majikannya datang, Dadang pun langsung membuka pintu mobil untuknya.

Di saat itu juga, dari kejauhan Jajang melihatnya.

"Tumben Juragan nyuruh saya setengah hari menemani rekan bisnisnya. Mau ke mana dia?" gumam Jajang yang berjalan menuju lokasi ayahnya.

Koswara sudah menelpon Jajang untuk segera datang, dan kebetulan dia juga sedang berada tidak jauh dari tempat itu.

Bukannya Koswara tidak bisa menjelaskan seluk beluk perkebunan, hanya saja Jajang lebih kompeten dari segi Bahasa.

Anak muda bisa lebih meyakinkan rekan kerja agar tidak lepas dari bisnis kerja samanya. Apalagi pengetahuan Jajang juga luas meskipun dia hanya tamatan SMA.

Jajang juga mengurusi ekspor, jadi untuk relasi di perkebunan dia lebih bisa mudah menalar. Kalau Koswara … maklum, dia sudah berumur.

Hanya sebagian pekerja yang dia hafal dan kadang itu pun juga lupa nama dan wajah ketukar.

Data-data di perkebunan juga tidak semuanya dia bisa urus tanpa bantuan Jajang, termasuk gaji yang disetor ke pegawai setelah direkap admin.

Di dalam mobil, Jajaka Purwa menelpon Ucup. Diletakkannya handphonenya ke telinga.

"Iya, Juragan," jawab Ucup dari ujung sana.

"Ikat kedua pengkhianat itu, dan kumpulkan semua istri-istriku. Termasuk Nyonya barumu, Asih," tegasnya.

"Nyonya Asih dan Bara belum pulang Tuan."

"Apa? Sudah sejam lebih bukan? Ke mana mereka?"

***

Bara mengantar Asih pergi ke rumahnya sebentar. Mereka berdua kemudian turun dari mobil.

Para tetangga yang melihat sangat penasaran dan sebagian bahkan memfoto mobil putih Bara yang begitu mengkilat.

"Si Asih sudah jadi orang kaya ya."

"Iya, enak lagi masih boleh sekolah. Di sekolahin di kota apalagi."

"Coba kalau dulu almarhumah Nengsih nggak bunuh diri, pasti dia sudah jadi Nyonya besar di sana."

Warga yang melihat pun saling bergossip, ada yang turut bahagia karena sekarang Asih dan keluarganya terangkat derajatnya oleh si Tuan tanah.

Finansial mereka tercukupi, sangat lebih dari cukup. Ada juga yang iri, dan berkata yang tidak-tidak soal Asih.

TOK! TOK! TOK!

Diketuknya pintu rumahnya yang tertutup.

"Assalamu'alaikum." Asih mengucap salam.

Bara bersandar di mobilnya sambil melipat kedua tangannya dan memakai kacamata hitam yang tadi pagi sudah disimpan di mobilnya.

Niat Bara berjaga-jaga kalau nanti dia main keluar agar tampil lebih bergaya dan melindungi matanya dari sinar matahari yang panas.

"Ada, orang tua lo?" tanya Bara, tapi wajahnya dia palingkan ke area lain.

Bara melihat-lihat lingkungan yang sangat berbeda jauh dengan kota tempat kesehariannya bermain-main dengan teman-temannya.

Lingkungan di dekat rumah Asih masih banyak rumah-rumah bilik, dan sebagian sudah ada rumah yang cukup besar dengan tembok.

Ada lapangan, banyak pohon pisang dan ada kebun-kebun milik warga. Sekelebat bayangan di pikiran Bara, andai suatu hari nanti kampung itu akan setara dengan kota.

Gedung-gedung menjulang diselipi cafe agar lebih terkesan menciptakan lingkungan yang menarik bagi para penikmat tongkrongan.

Kampung 24 jam nonstop dengan hiruk pikuk dunia malam. Maka nama Bara akan terkenal sebagai penggagas ide brilliant itu. Kampung yang berevolusi, pikirnya.

'Khayalan anak orang kaya beda,' gumam Bara di dada.

Asih bergumam, "sepertinya mereka tidak ada di rumah. Ke mana ya?"

"Jika tidak ada berarti lain kali saja, ayo cepet pulang nanti ayah gue marah ke lo." Bara berpikir lagi dengan ucapannya barusan. "Eh, bisa jadi justru ke gue karena gue yang bawa mobil. Pura-pura mogok nggak mungkin, orang masih baru juga." Mata Bara menyipit.

Asih pun menjauh dari pintu dan berjalan mendekati Bara. Dia kembali tersenyum, Bara justru membuang wajahnya ke arah lain.

Sekarang Bara tahu, jika Asih tersenyum seperti itu pastinya ada sesuatu yang ingin dia pinta.

"Aku ingin bertemu temanku dulu sebentar, kamu diam dulu di sini ya nanti aku balik lagi kok. Ya, mau ya?" Asih mencoba bernegosiasi karena mana mungkin dia mengajak Bara ke rumah Neneng?

Apalagi membahas soal Dandi, pastinya Bara juga akan membocorkan hal itu pada ayahnya nanti.

Tapi Bara tidak mau disuruh-suruh. Bara juga curiga dan takut kalau nanti Asih kabur dan Bara terkena imbasnya.

"Enak saja, enggak mau. Gue ikut!" Bara menolak.

Asih bingung, apa dia harus bawa Bara ke rumah Neneng? Tapi kalau tidak hari ini, kapan lagi? sulit diketahui pasti Asih bisa keluar kapan lagi selain ke sekolah.

"Baiklah, tapi jalan kaki." Asih pun berlalu meninggalkan Bara lebih dulu.

Bara terkejut. What? Jalan kaki? Anak seorang Juragan Tanah jalan kaki? Sudah bawa mobil mewah lagi, Asih meledek dirinya.

"Hei lo mau ngerendahin gue, Asih? Sini lo! Gue enggak mungkin jalan kaki."

Bara menyusul Asih dan kemudian.

"Awww!" jerit Asih kesakitan karena Bara menarik tangannya. Bagian siku dia cengkeram sangat kuat.

"Naik mobil, cepat! Lo mau ngerusak reputasi gue?" Wajah Bara begitu dekat dengan wajahnya.

Mata Bara tidak terlihat karena terhalang kacamata hitam. Bibirnya begitu nampak jahat, ada kemarahan yang jelas terpampang.

Tapi, entah mengapa keduanya malah terdiam dan seolah terhipnotis dengan kehangatan sinar matahari yang menyinari mereka dan tiba-tiba keduanya tersentak.

Bunyi getaran handphone terdengar, itu bukan milik Bara tapi milik Asih. Bara dan Asih sama-sama risih. Bara pun melepaskan cengkeraman tangannya.

Asih merogoh handphone yang tersimpan di saku kiri bajunya, sebelum dia scroll sudah tampak pilihan dilayar.

Antara menekan gambar telepon berwarna merah atau yang berwarna hijau.