Lagi-lagi Bara melihat raut wajah menantang dari Asih. Dia semakin berani bahkan di hari kedua Asih sekolah, bagaimana kelanjutan setelahnya?
Mungkin Asih akan benar-benar menjadi sosok ibu tiri yang cerewet. Tidak. Bara tidak boleh memberi Asih peluang untuk itu.
"Salahlah, lo harus disiplin. Gue aja yang gini-gini masih disiplin. Reputasi tuh penting, itu akan nurun ke anak lo nanti. Lo kan bakal ngelahirin –" ucapan Bara menggangtung, "adik tiri gue," sambungnya dengan membisik ke telinga Asih.
Asih melotot, lama-lama si Bara memang ngeselin banget pikirnya.
"Oh pantesan, memang sih buah enggak jatuh ke atas tapi ke bawah," ledek Asih.
"Maksud lo?" Bara tidak mendapat koneksi. Loading.
"Maksudnya, sifat Ayah kamu nurun ke kamu," balas Asih dengan wajah polos tapi ucapannya semakin tajam saja.
Asih pun membalik badannya untuk pergi lebih dulu, tapi dia merasa ada yang belum dia sampaikan pada Bara. Ada yang tertinggal.
"Oh ya," ucapnya membalik badan lagi, "dan inget, aku enggak ingin punya anak dari Ayah kamu."
Asih pun pergi, dia berlari kecil dan sesekali melihat Bara ke belakang. Bara masih mematung, serasa ada perasaan aneh yang dia rasakan.
"Ini gue sama Ibu tiri gue sendiri, kan?" Bara berpikir. "Kacau hidup gue, beda rasa gini lagi."
Bara merasa mereka hanya teman yang saling bertengkar, kalau di sekolah boro-boro ingat si Asih ibu tirinya.
Walaupun dia ingat juga rasanya beda, karena Asih setara dengan yang lainnya. Memakai baju seragam.
***
Asih menunggu supir menjemputnya di depan gerbang seperti kemarin. Seperti kemarin juga, teman-teman yang lewat menyapa Asih.
Tapi kali ini Bella yang dibonceng Alfred tidak menyapanya, seperti ada raut malu di wajah Bella.
Tapi Asih tidak peduli itu. Hasan dan Fira juga sudah lewat tadi berbarengan bersama Asih menuju gerbang.
Asih curiga kalau hari ini juga pak Dadang telat menjemput. Apakah suaminya itu juga akan ikut lagi? Kelewatan sih menurut Asih kalau dia tiap hari menjemput dirinya.
Asih pun membuka handphone-nya, mengecek kabar dari pak Dadang.
Saat itu juga, Bara yang di parkiran masih dikerumuni teman-temannya yang takjub melihat mobil Bara melihat Asih yang menunggu dari kejauhan.
Satu persatu mencoba duduk di jok mobil, terlihat kampungan menurut Bara –tapi ya … gituh-gituh juga mereka-mereka adalah teman-teman recehnya yang solid.
'Biarin dia nunggu, Asih enggak tahu emang kalau hari ini dia pulang sama gue?' gumam hati Bara.
Dia pun tersenyum senang melihat Asih yang menunggu pak Dadang, terlihat dia sangat gelish.
Tapi di saat bersamaan juga, ada pesan whatsaap masuk.
Dari 'SUAMI'.
Jajaka Purwa sendiri yang menuliskan namanya seperti itu. Sungguh menggelikan dibaca oleh Asih.
Jangan-jangan di kontak si Jajaka Purwa menuliskan nama Asih dengan sebutan 'ISTRI KETIGAKU'. Ah, itu tidak bisa dipercayai oleh Asih. Dia bangkotan lebay.
"Asih, hari ini saya sama Dadang sibuk. Jadi sekarang kamu bareng sama Bara," tuturnya dalam pesan itu.
"Bara?" Asih terkejut.
Dia harus bersiap-siap lagi tahan napas duduk di samping anak itu. Tadi pagi saja saat banyak polisi, dia berani ngebut.
Apalagi sekarang? Di siang hari begini.
Mungkin kecepatannya diatur seperti anjing edan, atau mungkin seperti kecepatan motor pembalap Rosi?
"Ayo cepet masuk!" Bara datang dengan mobilnya, sungguh mengagetkan Asih.
Naik jangan? Asih berpikir berkali-kali. Tapi lagi-lagi dia tidak punya pilihan.
Aha!
Tiba-tiba terbesit suatu rencana. Asih pun segera naik.
Saat dia membuka pintu, masih saja sulit dibuka.
Wajah Asih tampak gelisah, tapi Bara kali ini menertawakannya.
Kemudian pintu itu terbuka otomatis. Asih menatapnya sinis karena Bara menjahilinya sekarang.
Tapi Asih harus tetap sabar agar Bara menuruti kemauannya. Asih tersenyum, Bara merasa aneh karena itu.
Asih duduk pun tersenyum lagi dengan memasang wajah imut. Senyuman yang dulu selalu disukai pacarnya—Dandi.
"Lo sinting?" tanya Bara tiba-tiba.
KRIK KRIK KRIKKK ….
Senyuman Asih ternyata tidak berefek pada Bara.
Asih pun cemberut. Mobil mereka sudah melaju keluar dari lingkungan sekolah.
"Mmmm kita mampir dulu boleh?" tanya Asih ragu. Apa memang bisa anak tirinya itu ditawar? Asih masih punya nyali untuk itu.
Bara mendeliknya, menerawang maksud Asih yang terdengar merayu.
"Apa lo? Lo ingin ngegoda gue? Ngajak gue ke cafe gituh?" Bara terlalu pede, tapi Asih menyikapinya biasa. Seolah dia juga tidak merasa takut berada di samping Bara saat ini.
"Enggak, aku ingin bertemu Ibu sama Ayah aku. Boleh?" Wajah polos Asih kembali ditampakkannya.
Bara menelan ludah, matanya berkedip-kedip. Asih mungkin rindu dengan orang tuanya, apalagi sekarang dia menjadi istri ayahnya Bara yang setiap tindak tanduk Asih pasti diintai dan dibatasi.
Bara berpikir berat, tidak ada salahnya juga karena rumah Asih memang tidak jauh dari rumah mereka sekarang.
"Gue bisa aja nganterin lo ke rumah orang tua lo, tapi …." Bara menyipitkan mata, sudah pasti dia tidak akan mudah dipintai pertolongan.
"Tapi apa?" Asih bertanya.
Apa pun yang dipinta Bara jika Asih sanggup, pasti diwujudkannya.
Asih juga ingin bertemu Nengsih, ada yang ingin dia tanyakan soal Dandi.
Bara menutup mulutnya, membuat pipinya mengembang bulat. Gaya yang songong itu terlihat jelas. Yes, hatinya bersorak. Asih bisa diperdaya oleh Bara.
"Ada syaratnya, gue bahkan enggak akan bilang ke Ayah kalau lo pergi ke sini tanpa izin dia."
Asih mambalik badannya antusias.
"Katakan!" Asih serius, Bara pun suka dengan sesuatu yang adil … ada timbal balik, simbiosis mutualisme.
***
Di perkebunan, Jajaka Purwa sedang menunjukkan bentangan tumbuhan Tehnya pada perwakilan dari perusahaan konsumennya yang baru.
Dia adalah Hanantyo.
Mendengar perkebunan milik Jajaka Purwa yang sedang melejit dengan kualitas bagus, dia pun tergerak hati untuk membeli di sini.
Jajaka Purwa sangat senang sekali, usahanya semakin berkembang. Dia sempat berpikir kalau ini semua adalah berkat dari Yang Maha Kuasa karena menikahi Asih.
Asih memberinya hoki. Tidak sia-sia Jajaka Purwa menikahi gadis di bawah umur.
"Saya sedang menggeluti usaha kosmetik, dan Teh adalah salah satu bahan alami yang banyak dipilih," tuturnya begitu pasti dan sangat penuh harapan.
Jajaka Purwa tertawa menggelegar, gaya seorang bapak-bapak pebisnis. Dia begitu senang mendengar ajakkan kerja sama dari rekan bisnis barunya—Hanantyo.
Lelaki itu terlihat begitu pintar dan yang pastinya dia lebih kaya dari Jajaka Purwa.
Bisnisnya juga sangat banyak dan dijual ke berbagai negara, rata-rata ke Rusia, Inggris sampai ke Amerika.
"Saya, khususnya begitu sangat berterima kasih karena Anda telah percaya pada kami," balas Jajaka Purwa.
Di sampingnya, Koswara yang memegang tanggung jawab di perkebunan hanya tersenyum saja menyimak pembicaraan majikkannya dengan calon konsumen baru.
"Kita saling percaya sajalah dan bisa dipercaya tentunya, agar kerja sama terus berlanjut. Bukan begitu?"
"Nah itu, pasti akan saya usahakan untuk lebih meningkatkan kualitasnya untuk Anda."
"Satu lagi, nanti mungkin kalau anak angkat saya—Dandi sudah paham betul dengan bisnis di Kalimantan, saya akan tugasi dia di sini. Bukan hanya Teh yang bisa saya beli, tapi juga sayuran yang lain termasuk beras. Semua kita ekspor dengan mutu tinggi keluar negeri."
"Baik, saya akan sangat senang sekali dan sangat berterima kasih."
Di saat keduanya masih asik berjalan-jalan, sesekali mereka penggarap dan mengobrol, membahas hal kecil –tiba-tiba Dadang menghampiri Jajaka Purwa.
Jajaka Purwa menohok padanya. Wajah Dadang tampak begitu cemas, napasnya pun terengah-engah karena berlari-lari menghampiri Jajaka Purwa yang berjalan cukup jauh dari mobil yang terparkir.
Dadang tahu kalau di saat seperti ini majikannya tidak suka ditelpon dan lebih senang jika dihampiri langsung.
"Ada apa?" tanyanya pada supirnya—Dadang, "sebentar ya," pamit Jajaka Purwa pada Hanantyo dan Koswara untuk menjauh dari mereka beberapa langkah.