BRUK!
Mintaka dan Misaki jatuh tepat di ruangan sebelumnya.
Dengan cepat Mintaka menarik kerah kemeja Misaki, dengan menggeram mata biru Mintaka berubah merah, dia seperti ingin meledak saat mengingat kejadian yang baru saja mereka alami.
Kalau saja terlambat beberapa detik, Misaki, entah apa yang terjadi padanya.
"Apa yang kamu lakukan?" bentak Mintaka pada Misaki.
Itu adalah sikap pertama kali Mintaka lakukan kepada Misaki setelah tak terhitung waktu mereka bersama selama ini.
Bukan tanpa alasan Mintaka membentaknya dengan keras.
Misaki seperti sayur yang sayu, tubuhnya sungguh sangat lembek seperti jeli.
Bukannya merasa bersalah, Misaki justru menyeringai dengan wajah yang tertunduk rambutnya sangat berantakan berbeda dengan penampilan Misaki sebelumnya.
Bahkan setelah jas warna biru yang harganya sangat mahal dan setelah jas itu dipesan oleh Rosie sebulan yang lalu khusus untuk acara malam ini, tapi pakaian itu sekarang tidak berbentuk sama sekali.
Ada banyak noda lumpur di sana sini, dan bahkan bahannya compang camping.
Sungguh mengenaskan.
Jika Rosie melihatnya yakin dia pasti histeris, betapa pakaian itu sangat dijaganya dengan hati-hati.
"Aku hanya …" jawab Misaki dengan suara pelan.
Mintaka alisnya naik saat dia bisa merasa bahwa Misaki sedang tidak berusaha bunuh diri, kan?
Mengingat itu Mintaka langsung memukul Misaki.
BANG!
BRUK!
Tubuh Misaki terpelanting jatuh tepat mendarat di lantai merosot dari dinding, dia hanya tersenyum tidak peduli sama sekali dengan keadaan dirinya sekarang.
Mintaka melangkah dengan tatapan dingin menghampiri Misaki lalu dia berkata dengan pandangan sangat marah, "Aku tidak pernah menyangka bahwa bahkan sisi manusiamu masih tertinggal, kamu tahu, sampai kapan pun aku tidak akan membiarkanmu mati begitu saja. Karena itu sama saja kamu membunuh adik bungsuku. Misaki, jangan gila, apa kamu lupa dengan tujuanmu datang ke negeri ini. Aku bahkan bisa membunuh sejak dulu kalau saja aku tidak berjanji pada ayahku untuk selalu menjagamu."
Mintaka berjongkok di depan Misaki, dia menekan dada Misaki dengan tangan kanannya.
Misaki seketika merasakan kalau jantungnya terasa sakit dan itu mengalir ke seluruh tubuhnya, lalu tenggorokannya terasa tercekat.
Wajahnya yang pucat sepucat kertas semakin tidak berwarna sama sekali.
Tapi Misaki masih berusaha tersenyum menjilati darah yang mengalir di sudut bibirnya.
"Aku hanya ingin mati dengan cepat kalau kamu ingin membunuhku, bunuh saja dengan cepat." Kata Misaki.
"Jangan bodoh! Aku hanya menyalurkan tenagaku agar lukamu segera sembuh." Ucap Mintaka setelah dia menarik tangannya dari dada Misaki.
"Apa yang kamu lakukan di sana?" tanya Misaki saat dia mengulurkan tangannya lalu membantu Misaki bangun.
Misaki tidak menjawab, dia menarik jas miliknya yang sudah tidak berbentuk lagi dan berkata, "Apa kamu tahu, kalau Rosie melihat pakaian ini aku rasa dia akan pingsan di tempat, bagaimana dia berusaha mendapatkan pakaian ini sebulan yang dengan terbang ke Paris untuk mendapatkannya, aku tidak bisa membayangkannya."
Misaki sudah melepas semua pakainnya yang compang camping lalu dia membuangnya ke dalam tong sampah yang ada di ruangan itu.
Mintaka sudah kembali dengan di tangan kanannya tergantung setelah pakaian lain yang juga sudah dia persiapkan untuk Misaki.
Misaki menoleh lalu mengambil pakain itu dari tangan Mintaka.
"Seleramu cukup bagus juga, meski warnanya sama tapi aku rasa Rosie pasti akan mengetahuinya dengan cepat juga." Ucap Misaki sambil memakai pakaian itu dengan cepat menutupi tubuhnya yang setengah telanjang.
"Mengapa kamu selalu memikirkan orang lain, pikirkan saja dirimu sendiri." Sahut Mintaka, dia sangat tidak menyukai sisi manusia Misaki yang tidak dia miliki.
Misaki bukan lagi sosok pemuda yang bertubuh kurus dan seperti orang penyakitan, dia sekarang menjadi sosok yang berbeda.
Semua tubuhnya berotot dan sangat kekar dan juga terawat dengan baik. Sangat berbeda dengan ketiga sahabatnya itu yang memiliki kulit warna wajah yang pucat, Misaki tetap sama seperti dulu.
Itulah mengapa dia selalu beralasan kosmetik yang dia pasarkan di perusahaannya adalah maha karya terbaik membuat kulitnya tetap awet muda dan semua orang menyukainya.
Siapa yang tidak mengenal Misaki Himura, pemilik perusahaan kosmetik terbesar di Jepang untuk saat ini.
"Apa kamu melihatnya?" tanya Mintaka.
Dahi Misaki berkerut saat Mintaka bertanya kepadanya.
"Siapa yang kamu maksud?"
"Gadis itu … bukankah kamu sudah menunggunya selama ini. Apa kamu akan segera menemuinya?"
Misaki tersenyum kecil lalu dia menjawab dengan satu tangan berusaha dia masukkan ke jas.
"Aku rasa tidak perlu terburu-buru, aku tidak yakin apa benar dia orangnya."
"Bagaimana kalau memang benar. Apa kamu ingin melakukannya?"
"Melakukan apa?" tanya Misaki berpura-pura bodoh atas pertanyaan Mintaka.
"Misaki-chan, kamu sudah berjanji pada ayahku."
"Aku ingat, jangan membuatku merasa bersalah."
"Tapi … aku merasa sisi …"
"Kenapa kamu selalu membahas itu lagi itu lagi."
"Aku melihatnya berdasarkan fakta, apa kamu tidak ingat kejadian tadi di lorong bawah tanah bandara. Kalau itu aku, aku langsung akan membunuhnya. Apa kamu juga tidak melihat sendiri bagaimana Damian membunuh vampir muda itu, dia bahkan tidak berniat melukaimu. Kenapa kamu memburunya?"
"Aku pikir dia akan menyerang gadis itu."
"Lalu apa yang terjadi?"
"Ada banyak Orionis di sana." Jawab Misaki.
"Orionis? Apa kamu yakin itu mereka?"
"Hm … apa yang mereka lakukan di sana?" tanya Mintaka.
"Mana aku tahu."
"Misaki, berjanjilah padaku untuk tidak berurusan dengan mereka."
"Aku tidak bisa berjanji."
"Misaki."
Mintaka membuang gantungan pakaian dengan cepat dan gantungan pakaian itu jatuh tepat di tempatnya seperti semula dengan gerakan slow motion.
"Ayahku selalu mengatakan kita jangan berurusan dengan para Orionis." Kata Mintaka.
"Kalau mereka sudah sampai di sini itu berarti semua bangsamu mungkin juga sudah berada di sini, apa karena gadis itu?"
"Mungkin. Hanya saja aku belum mengetahui alasan apa gadis itu berani datang ke sini."
"Tapi Damian …" Misaki mengerutkan dahinya menatap Mintaka.
"Kamu bukan tandingannya, sekarang dia sudah berada di Standard 10 dan itu jaraknya jauh darimu."
"Apa seperti itu?" kata Misaki wajahnya dipenuhi seringai jahat saat dia mengatakannya.
"Tapi aku punya senjata yang bisa melumpuhkan bangsa kalian." Misaki menyeringai.
"Jaga mulutmu." Mintaka menarik Misaki mendorongnya ke dinding.
"Jangan pernah mengatakan hal itu di mana pun kamu berada." Ancam Mintaka.
"Apa kamu takut?"
Misaki semakin tersenyum senang melihat Mintaka terlihat cemas.
"Itu bukan untuk kami tapi untuk seseorang jika waktunya tiba." Jawab Mintaka.
"Tuan … apa kalian selamanya akan tetap di sini?" seseorang datang melihat Mintaka dan Misaki.
Keduanya langsung berpura-pura, Mintaka membenarkan jas Misaki lalu berkata, "Ayo kita turun, saatnya bintang bersinar kita menampakkan wajahnya malam ini." Ucap Mintaka dengan tersenyum canggung.
Misaki membenarkan jasnya yang memang sudah rapi sambil menunduk dia tersenyum.
Di dalam taksi yang ditumpangi Veeneta dan Rigel, keduanya setelah berdebat tentang mereka harus menggunakan transportasi apa sampai ke apartemen mereka.
Rigel akhirnya memutuskan menggunakan taksi setelah selama kurang lebih sepuluh menit mereka berdiskusi.
Veeneta hanya berpikir jika dia menggunakan taksi itu artinya dia harus membayarnya berdua dan harga taksi di bandara ke Tokyo itu tidak murah.
Veeneta duduk menempelkan wajahnya ke kaca menatap keluar sambil berpikir, uang jatah bulanan miliknya terpotong banyak dengan dia menggunakan taksi ini.
Tidak mungkin dia tidak membayarnya, kan.
Bagaimana pun mereka berdua naik bersama itu artinya ongkos taksi harus dibagi bersama.
Veeneta tidak suka berhutang budi pada siapa pun, apa lagi dengan pemuda yang baru saja dia kenal.
Sopir taksi sejak tadi melirik ke kursi penumpang melihat kedua pemuda dan pemudi duduk saling berjauhan.
Meski sebagian orang di sini sangat acuh tapi melihat pemandangan tidak biasa ini juga membuatnya sedikit ada yang aneh.
Kalau mereka berteman pasti ada percakapan.
Kalau mereka saudara kandung pasti ada percakapan juga bukan.
Ini … sunyi dan … keduanya bahkan sejak masuk dan duduk tidak saling memandang satu sama lain.
Membuat sopir taksi merasa heran tapi lalu akhirnya dia berpikir, itu bukan urusannya.
'Apa kau akan terus seperti ini?' serigala dalam tubuh Rigel mengajaknya bicara.
Rigel diam saja, dia tidak ingin membuat orang curiga.
'Tuan, di belakang mobil ini aku rasa ada seseorang yang mengikuti kalian sejak keluar dari bandara.' Kata serigala lagi.
Rigel dengan cepat menoleh ke kaca belakang.
Mata tajamnya bisa melihat sebuah mobil di belakangnya.
Dahinya berkerut, lalu dia menekan jam digital di pergelangan tangan kanannya.
Dengan cepat dia mengirim pesan menekan angka satu yang berarti, 'keadaan darurat.' Kepada semua kawanannya.
Rigel melirik gadis yang ada di sisi kanannya yang sedang asyik dengan dunianya sendiri.
Tubuh Veeneta terlihat kecil duduk di sudut dengan jaket yang terlihat kebesaran di tubuhnya.
'Dia bahkan tidak peduli kalau Tokyo saat ini sangat panas dan masih memakai jaketnya.' Ucap Rigel dalam hati sambil tersenyum.